Mohon tunggu...
Rinda IsninaWK
Rinda IsninaWK Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa yang mencoba menulis

Enjoy it😉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Sama Seperti Dulu

28 Mei 2020   20:11 Diperbarui: 28 Mei 2020   20:12 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ramadhan kali ini memiliki suasana yang berbeda dari biasanya. Sepi, sunyi, dan jika ingin keluar dari rumah harus berhati-hati. Bukan karena ada hal yang menakutkan terlihat tetapi, lebih dari itu.. kita tengah berhati-hati pada virus yang tak terlihat. Memakai masker dan rajin cuci tangan adalah suatu hal yang wajib dilakukan akhir- akhir ini.
Virus corona menjadi topik hangat di setiap tayangan berita di dunia. Virus yang terus memakan korban jiwa setiap harinya dan juga tentang kegigihan para tenaga medis untuk berjuang menyembuhkan para pasiennya.
Dan itu adalah apa yang ayahku lakukan. Ia seorang dokter di sebuah rumah sakit dan saat ini berada di garis depan untuk melawan corona.
Ayahku yang memang jarang dapat pulang ke rumah kali ini menjadi tidak pernah pulang ke rumah karena harus selalu siaga pada pekerjaannya.
Walau begitu, aku sangat lah bangga padanya. Pada ayahku yang tetap mencintai keluarga dan tetap gigih dalam menjalankan pekerjaannya.
"Ayah jangan lupa sahur," aku dan ibuku tengah melakukan panggilan video di sela kami memakan hidangan sahur.
"Tentu, lihat sepiring nasi ada di tangan ayah sekarang," kamera menghadap apa yang ayahku sebutkan sembari kekehannya yang terdengar. Aku dan ibu tersenyum. Kami tetap melakukan sahur bersama meskipun Ayah berada jauh disana.
.
.
Pagi ini sekolahku mengadakan pembelajaran secara online, setelah selesai dengan pelajaran yang kuterima, aku menemui ibu di dapur.
"Ingin membantu ibu?" Tanya ibu lembut padaku.
Aku mengangguk riang dan mencuci tangan sebelum melakukan apa yang ibu instruksikan.
Kami tengah membuat sebuah kue untuk ulang tahun ayah. Bermaksud akan merayakannya bersama nanti setelah berbuka lewat panggilan video jika mungkin.
Kami selesai saat jam menunjukkan pukul setengah dua siang. Memilih bebersih dan melaksanakan Shalat.
Kue yang kami buat telah tersimpan di dalam lemari pendingin dan juga lauk untuk berbuka nanti yang berada dalam mesin pemanas agar tetap hangat.
Aku dan ibu tertidur setelah sebelumnya berbincang.
.
.
Di jam empat, aku terbangun. Melihat sekeliling kamar dan tak kudapati ibu. Memilih mandi lalu Shalat sebelum akhirnya keluar kamar dan mendapati ibu yang tengah menata hidangan di meja makan.
"Ibu," panggilku pelan.
Ibu menoleh dan tersenyum lembut.
"Sudah bangun? Ayah tadi memberi pesan jika mungkin memiliki waktu luang saat berbuka nanti. Gantian sama dokter yang lain," ibu menjelaskan membuatku berbinar senang.
Aku membantu ibu menyiapkan beberapa hal dan juga menata kue untuk ayah dan meletakkan lilin di atasnya.
Beberapa menit lagi waktu berbuka, dan kami tengah menanti telepon dari ayah.
Seperti inilah rutinitasnya...karena memang aku dan ibu tidak ingin mengganggu ayah yang mungkin saja tengah menangani pasien.
Hingga azan berkumandang bahkan aku dan ibu telah menyuap makanan kami, ayah belum kunjung menelepon. Membuatku cukup sedih dan kecewa, tetapi aku harus mengerti. Pekerjaan ayah bukanlah pekerjaan yang dapat ditinggal begitu saja.
Lilin yang tertancap belum kunyalakan dengan api, setidaknya kuenya masih baik- baik saja.
Kami telah selesai dan sedang memberesi bekas piring kami sebelum dering ponsel ibu menginterupsi.
Dengan senangnya aku dan ibu melihat ponsel dengan nama ayah sebagai penelpon.
Cepat- cepat kami menyalakan lilin dan bersiap menerima panggilan video itu, memberi kejutan.
"Kejutan! Selamat ulang tahun ayah!" Teriakku dan ibu berbarengan.
Ayah disana tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ayah juga meminta maaf terlambat menelepon karena ada pasien yang datang ke UGD. Tidak masalah, kami harus saling mengerti keadaan masing- masingkan? yang terpenting masih dapat berkomunikasi dengan Ayah itu lebih dari cukup.
.
.
.
Tiga hari ini, terhitung dari setelah ulang tahun Ayah, kami belum berkomunikasi kembali.
Ibu dan aku cukup khawatir karena bagaimanapun Ayah tengah berada jauh dari kami.
Hingga ponsel ibu berdering dengan nama ayah di layar.
Ibu menerima panggilan penuh senyum. Menjadikannya mode loudspeaker.
"Halo ayah," sapa ibu pelan.
"Halo, maaf ya.. Ayah tidak memberi kabar beberapa hari ini," suara Ayah terdengar bergetar, seperti suara seorang yang tengah demam.
"Ayah sakit?" Ibu bertanya dengan raut khawatir.
Kekehan Ayah terdengar sebelum beliau menjawab,
"Tidak, hanya kelelahan saja. Tapi sekarang sedang istirahat kok,"
Ibu menghela napas pelan,
"Jaga kesehatan Ayah, dokter itu menyembuhkan pasiennya bukan menjadikan diri sendiri pasien," omelan ibu ditanggapi ayah dengan tawa.
"Oh, kenapa Sisca tidak bersuara?" Ayah memanggil namaku, membuatku terkesiap.
"Halo Ayah, baik- baik oke.. kami rindu Ayah," ucapku lirih.
Ayah terdiam beberapa saat sebelum menjawab,
"Ayah juga rindu Sisca dan Ibu, tunggu Ayah pulang. Sekarang Ayah harus bekerja lagi, Ayah tutup ya?"
Setelah kami mengiyakan, panggilan terputus.
Aku menatap Ibu yang kini juga menatapku, kami saling melempar senyum sebelum akhirnya berpelukan. Ya, kami sangat merindukan ayah.
Hingga satu minggu lamanya, kami tak mendapat panggilan apa pun dari Ayah. Khawatir tentu saja, ingin menyusul ke rumah sakit tapi itu tidaklah mungkin karena pemerintah bahkan memerintahkan agar sebisa mungkin tinggal di rumah. Jadi yang dapat aku dan ibu lakukan hanya berdoa dan meminta hal baik pada Tuhan.
Sore harinya, setelah selesai menyiapkan hidangan berbuka, aku dan ibu bersantai di ruang keluarga sembari menonton televisi. Menatap layar yang kini menampilkan berita tentang topik yang akhir- akhir ini selalu muncul, corona.
Menatap prihatin para tenaga medis yang bahkan kelelahan. Hingga pada suatu berita yang jujur saja membuatku geram. Beberapa pasien berbohong akan kondisinya yang ternyata positif terkena virus corona. Lebih- lebih lagi, mereka menyebabkan beberapa anggota medis yang ada ikut tertular.
Menurutku itu sungguh keterlaluan, kenapa tidak jujur saja dan segera mendapat penanganan? Bukankah dengan begitu kasus yang ada tidak terus bertambah.
Wajahku mengerut tidak suka sebelum akhirnya kurasakan usapan pelan di pipiku.
"Jangan cemberut, nanti tidak cantik lagi," Ibu mengatakannya sambil tersenyum lembut.
Pukul tujuh malam, aku dan ibu bersiap untuk Shalat. Tetapi sebelum hal itu terlaksana, dering ponsel ibu menginterupsi.
Ibu terduduk di lantai begitu saja sesaat setelah mengangkat panggilan, tubuhnya gemetar.
Dengan langkah cepat aku memeluk ibu, menanyakan apa yang terjadi berulang kali meskipun ibu tetap diam.
"Sisca, Ayahmu.. hiks" Ibu mulai menangis.
"Ayahmu ikut terinfeksi corona karena ada pasien yang tidak jujur saat diperiksa, juga.. sekarang Ayah dalam kondisi yang tidak baik karena sebelumnya memang kesehatannya menurun," Ibu menjelaskan dalam satu helaan nafas setelah mengusap kasar air matanya.
Responsku? tak beda jauh dengan ibu. Aku hanya terdiam dengan pelukan yang semakin erat pada ibu. Kenapa mereka sejahat itu? Kenapa harus tidak jujur? dan kenapa Ayah tak memakai APDnya dengan benar?
Kira- kira itulah yang mengelilingi pikiranku saat ini.
Aku dan Ibu berpelukan sambil menangis, dalam hati berdoa agar Ayah cepat sembuh.
Tapi nyatanya, Tuhan memiliki rencana lain. Dua hari setelah berita mengejutkan itu, aku dan ibu mendapat berita yang lebih menyakitkan. Ayahku, dia meninggalkan kami untuk selamanya. Ayah kembali ke sisi sang pencipta, meninggalkan duka yang dalam untuk aku dan Ibu.
Bahkan saat pemakamannya, aku dan ibu menangis tersedu. Ayah telah dimakamkan di makam keluarga di hadiri oleh beberapa rekan kerjanya. Kami hanya harus mengikhlaskan dan mendoakan yang terbaik untuk Ayah agar ditempatkan di tempat yang baik di sisi-Nya.
Ya, Ramadhan kali ini memang sangat berbeda. Tak ada lagi senyum Ayah, tidak ada lagi dekapan hangatnya. Hanya berharap, semoga apa yang tengah terjadi saat ini cepat berlalu. Dan kumohon, jangan lagi berbohong dan berakibat mencelakai yang lain.
Terus terang saja dan patuhi apa yang pemerintah anjurkan, karena bukan hanya diri sendiri namun seluruh negeri juga berduka dan harus bersatu untuk melawan corona.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun