Mohon tunggu...
rina yunitapanjaitan
rina yunitapanjaitan Mohon Tunggu... Sebagai Ahli Teknologi Laboratorium Medis , Lulusan Universities jenderal achmad Yani Cimahi

Saya orang yang terbuka dan mudah bergaul, tapi juga suka merenung sendiri sesekali. Hobi saya termasuk membaca buku, menonton film, dan menulis storytelling telling blog, dan media di akun saya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Trilogi Bayangan. Resonasi Rimba Yang Tersisa

23 September 2025   12:37 Diperbarui: 23 September 2025   12:45 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di  kerinbunan remang hutan, di mana cahaya menetap laksana darah senja yang menggantung antara bumi dan langit, tiga fragmen hidup bergerak di lorong-lorong sunyi yang nyaris hancur. Arga, si harimau. Sari, si orangutan. dan Ganesha, sang gajah tua. 

Arga, sang harimau sumatera, menyusuri lorong-lorong sunyi yang dibangun oleh bayang-bayang pohon purba. arga mengendus udara, mencari mangsa sekaligus menandai wilayahnya. Belangnya yang berputar-putar seperti tinta alam, menjadi semacam mantra yang menandai eksistensinya di antara retakan hutan yang menjerit. Daun jatuh menulis sejarah yang tidak dibaca, Akar menjerat tanah menahan rahasia yang pecah, Cahaya menetes tinta senja yang melukai bayang.

Hutan ini, dulu simfoni kehidupan yang utuh, kini hanyalah fragmen-fragmen kerisauan. Suara deru mesin pembalak memecah keselarasan alam. aroma tanah basah yang dulu harum dengan kehidupan kini tertutupi debu dan luka. Arga bergerak dalam kesadaran terselubung, seakan memahami bahwa setiap jejak cakarnya di tanah adalah catatan duka yang tidak terbaca oleh manusia.

Ia tidak hanya berburu, ia menapak di antara bayangan eksistensi yang kian memudar. Suara angin di kanopi menjadi nyanyian ratapan, daun-daun yang gugur menari seperti kesedihan kolektif yang tak terucap. Ia adalah metafora dari kepunahan yang bergerak pelan, yang tak menunggu simpati, tapi menuntut kesadaran.

Di langit yang terbelah oleh senja, burung-burung berlarian seperti huruf yang tercecer, sementara Arga mengartikan kesunyian sebagai narasi. narasi yang tidak diucap, tetapi dihirup oleh akar, lumut, dan darah bumi yang menciut. setiap tarikan napas arga adalah serpihan yang merintih menjadi huruf-huruf yang terlempar dari naskah alam yang lapuk.

sedangkan di bagian hutan lain, sari-si orangutan menggantung diantara bumi dan langit, memeluk cabang cabang seperti memeluk fragmen dirinya sendiri. Tangan-tangannya yang panjang bukan sekadar anggota tubuh, tetapi pena yang menulis epistol kepada dunia yang lupa membaca. Setiap gerakannya adalah simfoni dari kesendirian, melodi sunyi yang hanya dimengerti oleh angin dan daun yang jatuh tanpa tujuan.
Dulu hutan penuh dengan teman-temannya. Kini, banyak cabang yang kosong, bayang-bayang teman yang hilang menempel di setiap sudut pohon. Sari menatap jauh ke arah pepohonan yang runtuh, dan hatinya memadat, berat. Ia ingat suara tawa anak-anak orangutan yang kini hanya tinggal gema, ingat aroma buah matang yang kini semakin langka, dan ingat malam-malam ketika hujan menimpa dengan ritme yang menghibur.

sari turun berjalan di atas cabang yang basah, mengamati tunas-tunas kecil yang menembus tanah, daun-daun yang baru muncul, suara burung yang kembali menambah nada di simfoni hutan. Ia tersenyum, senyum yang hanya bisa dimengerti oleh rimba—dan tahu bahwa meski dunia manusia bising dan sering lalai, ada celah harapan bagi dirinya, bagi teman-temannya, bagi seluruh hutan yang rapuh namun menolak padam.

Di bawah, di dataran yang retak, seorang gajah tua. Ganesha menapaki tanah yang mengerut di bawah kaki-kakinya yang berat. Suara gemuruh langkahnya adalah bahasa purba, gema yang memanggil kenangan rimba yang hampir hilang. Belalai yang menari-nari di udara bukan sekadar alat, melainkan kuas yang melukis duka di udara yang berdebu.

Ganesha menatap ke kejauhan, melihat Arga bergerak di bawah bayang dan Sari melambai di pepohonan. Ia merasakan fragmen kehidupan mereka, menghubungkan semuanya dalam resonansi hutan. Ia tahu, mereka sama-sama rapuh, sama-sama menjadi saksi perubahan yang tak selalu bisa mereka pahami. Tapi ia juga tahu bahwa kekuatannya, meski lambat dan berat, bisa menjadi penopang—menjadi gema yang menandai keberadaan rimba, menandai keberadaan mereka semua.

Mereka bertiga bergerak sebagai triad sunyi. Arga adalah gerak, Sari adalah melodi, Ganesha adalah gema. Bersama-sama, mereka membentuk resonansi rimba—fragmen kehidupan yang menempel di tanah yang menangis, di kanopi yang menahan bisu, di sungai yang menelan refleksi langit. Mereka menulis epistol kepada dunia yang lupa membaca, bisikan yang tersisa ketika manusia menutup telinga dan mata. Mereka bukan sekadar makhluk. mereka adalah orkestra sunyi, fragmen epik, trilogi kepunahan yang bergerak, menuntut kita untuk mendengar rimba sebelum rimba menutup matanya selamanya.

Bahaya yang mereka hadapi bukan hanya dari alam, tetapi dari manusia. perusakan habitat, perburuan, dan polusi yang menipiskan keseimbangan ekosistem. Namun, di tengah kehancuran, ada celah harapan. Tunas kecil muncul dari retakan tanah, daun baru melambai di pepohonan yang tersisa, dan suara langkah serta napas ketiganya memanggil manusia untuk mendengar. Fragmen kehidupan ini mengingatkan kita. menjaga hutan bukan sekadar melindungi pohon atau satwa, tetapi memahami bahasa alam dan meresponsnya dengan tindakan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun