Mohon tunggu...
Rinawati Acan Nurali
Rinawati Acan Nurali Mohon Tunggu... Editor - Suka jalan, siap mendengarkan, suka. Suka-suka.

Sebagai warga yang baik, selalu ingin berbagi setidaknya lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Do'a

25 Januari 2022   19:09 Diperbarui: 25 Januari 2022   19:15 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imam baru saja selesai melafalkan kata salam sebagai penutup sholat Isya. Para jamaah pun bersalaman dan bergegas keluar dari mesjid--menuju rumah masing-masing. Akupun berlari menuju teras mesjid bersama tita temanku. Rumah kami berdekatan. Maka jika kami kemesjid, kami selalu bersama-sama. 

Sepanjang perjalanan kami berdua bermain tebak-tebakan, dan saling kejar. Aspal tergenang air yang baru jatuh dari langit, membuat tanah menjadi bubur merah dan licin. Tita berlari-lari menuju rumah. Aku pun begitu juga. Tiba-tiba suara jeritan dari seberang rumah terdengar. Aku bergegas keluar dan melihat, apa yang terjadi. 

Dan nampak kepala manusia berada didalam got. Kudekati untuk melihat lebih jelas. Lampu neon yang bergantung ditiang penyangga pagar, membuat jelas penglihatanku dimalam yang gelap itu. "Tita. Kamu kah itu?" suara cegukan terdengar dari dalam got. Ibu tita juga ikut keluar. Melihat sosok putih yang berada didalam got, yang dalamnya hanya sebatas betis orang dewasa. Namun lebarnya cukup untuk seekor kerbau berbaring didalamnya. 

Sosok itupun berdiri, dengan seluruh badan yang dipenuhi dengan lumpur got. "Kan ibu sudah bilang, kalau pulang jangan lari-lari. Sudah tau jalanan licin masih saja suka lari-lari. Lihat, itu akibatnya anak tidak dengar apa yang ibunya bilang". Tita yang kedinginan juga kesakitan hanya menangis karena terjatuh dari jembatan kayu. 

Aku hanya melihat tita, menangis dan dimarahi ibunya. Rasanya ingin tertawa saat dia berada didalam got, namun takut karena ada ibunya yang berdiri tepat didepanku. "erina pulang yah, ini sudah malam" ucap ibu tita kepadaku. Akupun hanya mengangguk dan melihat tita berjalan dengan sedikit pincang menuju rumahnya.

 Akupun balik menuju rumah. Kulihat nenek sudah menantiku didepan pintu. Dengan berlari-lari kecil aku masuk kerumah. "Tita kenapa?" tanya nenek yang menungguku didepan pintu. "jatuh didalam got nek" jawabku. "ah, jadi apa yang luka?" jawabnya lagi. "tidak tau nek, erina tidak tanya. Dia langsung masuk rumah, dan erina disuruh pulang sama mamanya. Katanya sudah malam, jadi erina tidak sempat tanya lagi". Ucapku dan berlalu menuju dapur, di ikuti nenek.

Malam itu, diruang tengah banyak keluarga yang sedang berkumpul. Aku yang baru pulang dari mesjid, berlalu dan mencari makanan yang ada dimeja dapur. 

"itu mukena, buka dulu" tegur nenek yang berada dikursi. Aku yang mendengar itu bergegas menuju kamar dapur dan melepaskan mukena dan sarung yang aku pakai, seolah ucapan itu telah tersistem dalam kepala tanpa perlu memerintah berkali-kali langsung saja terlaksana. 

"nek, kenapa ramai sekali rumah?" tanyaku, sambil memandang ruangan yang dipenuhi pria dan wanita. " ada doa malam ini" ucap nenek singkat. Aku hanya melirik dan mengiyakan meski aku sebenarnya tidak begitu mengerti apa tujuan dari doa itu. Ku buka nampang makanan yang dimeja, segera ku ambil piring dan menyendok nasi. " sendok mu, jangan kasih kena piring eee" pinta nenek. 

"eh bagaimana caranya, sendok tidak kena piring?" tanyaku penasaran. Aneh sekali, bagaimana bisa makan tanpa harus sendok kena piring, itu bukannya mustahil. Pikirku. "boleh dikena tapi jangan sampai bunyi keras-keras" ucap nenek lagi. "ada apa memang, sampai harus begitu? Perasaan biasanya tidak seperti ini" gerutuku. Nenek hanya tersenyum melihatku yang kesal.

Diruangan itu terdengar suara-suara yang merapalkan mantra. Terdengar cepat,  kadang juga terdengar lambat. Kadang keras, juga hampir tak terdengar. Seperti ada suara tangis, gendang juga bau dupa yang mengudara. 

Aku yang penasaran segera kuselesaikan makanku, dan kubiarkan saja piring diatas meja. Belum juga kutelan makanan yang ada dimulutku, bergegas  kuberjalan menuju ruang tengah yang dipenuhi manusia itu. Kulihat manusia yang berkain putih dikelilingi orang-orang yang berada diruangan itu. Manusia berkain putih sedang berbaring, seluruh tubuhnya ditutupi kain putih. Dari kaki hingga kepala. 

Tak ada yang nampak satu dari sekian anggota tubuhnya. Rasa penasaranku semakin tinggi. Aku ikut bergabung dengan mereka yang duduk melingkari manusia berkain putih itu. Entah siapa manusia yang berkain putih itu, akupun tidak tahu. Sebab seluruh badan ditutupi kain putih. 

Seorang lelaki tua, dengan rambut yang dipenuhi uban putih dan jenggot yang juga memutih duduk tepat di belakang kepala simanusia berkain putih itu berbaring. Dengan tangan kanan yang memegang dupa dan membakarnya didalam prapen (tempat pembakar dupa), sembari berkomat-kamit. Mulutnya tak henti-henti bergerak. 

Si bapak tua itu terus bekerja. Perempuan setengah tua, yang juga memakai kerudung putih duduk disebelah kiri sibapak tua itu, dengan memegang dan memainkan gendang. Gendangnya mirip seperti bedug. 

Dikaki simanusia berkain putih itu ada piring yang berlapiskan kain putih. Didalam piring terisi pinang, sirih, rokok, gambir, dan tembakau. Disebelah kanan piring, ada loyang. Dan disebelah kiri ada segelas air putih. Aku yang duduk diantara ibu-ibu ang mengelilingi manusia putih itu hanya memperhatikan mereka.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh didapur. Bibi Erna segera bergegas melihat apa yang terjadi. Seekor kucing hitam sedang memporak-porandakan dapur. "jangan biarkan kucing itu masuk keruangan ini, usir dia cepat" ucap bapak tua itu, yang berhenti dari pekerjaannya merapal mantra. 

Ibu yang berada disampingnya masih terus memainkan gendang yang ada ditangannya. Ibu-ibu yang mengelilingi manusia berkain putih itu, panik dan bergegas masuk dapur---lalu keluar lagi. "anakku, orang yang pasang jampi-jampi ini sangat kuat" kata bapak itu, yang berbicara  dengan bibi tertuaku. 

Bibiku terlihat lemas, dan pucat. Dengan tangan yang memegang ikatan tasbih. "jadi bagaimana bapak, apa yang harus kita perbuat?" tanya bibiku. Bapak itu sejenak diam, tunduk menatap lantai hitam. Seperti hitamnya malam yang dingin saat itu. 

Angin kencang berhembus. Suara daun mangga bergemerisik diantara udara dingin malam. " kita coba saja dulu, tapi kalian banyak-banyak baca doa dan kuatkan imannnya kalian. Kata bapak tua itu lagi. Bibi dan para orang-orang yang ada diruangan itu mengangguk. "anak, kamu duduk didepan sini" pinta bapak tua itu lagi. "jangan lupa ambil loyang itu" sambil menunjuk loyang yang ada dikaki simanusia berkain putih itu. 

Bibi mengambil loyang itu, dan memangkunya seperti seorang bayi. Bapak tua itu lalu melanjutkan rapalan doanya. Ibu yang memainkan gendang itu semakin cepat memukul gendangnya. Seperti telah diinstruksikan, untuk mengubah gendre lagunya. Asap bara semakin tebal, bau kemenyang semakin menyengat berhembus diruangan  menembus langit-langit. keluar melewati lubang-lubang rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun