Mohon tunggu...
Rinandita Wikansari
Rinandita Wikansari Mohon Tunggu... Associate Professor in Applied Psychology | Industrial Psychologist | Coaching MSMEs for Global Market | Developing Future-Ready Workforce

Aktif mengajar, meneliti, dan menulis seputar soft skills, kepemimpinan, hingga strategi adaptif di dunia kerja modern. Tertarik untuk menulis mengenai dinamika kehidupan akademik, dunia kerja, hingga refleksi psikologis dalam kehidupan sehari-hari—berbasis data, pengalaman, dan pendekatan yang humanis. Berdaya lewat ilmu, berdampak lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lelah Menghadapi Si Playing Victim

18 September 2025   09:25 Diperbarui: 18 September 2025   09:25 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Ephraim Mayrena di Unsplash (Sumber: https://unsplash.com/id/@jexm)

Menetapkan Batasan (Setting Boundaries)
Kita boleh peduli, tapi tidak harus selalu terjebak dalam drama. Menetapkan batasan bukan berarti egois, melainkan bentuk perlindungan diri.

  • Berfokus pada Fakta
    Alih-alih larut dalam narasi emosional, kita bisa mengajak untuk melihat fakta konkret. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Bagaimana kronologinya?" Dengan begitu, percakapan menjadi lebih objektif.

  • Tidak Memberi Penguatan Negatif
    Dalam teori belajar, setiap perilaku yang mendapat penguatan (reinforcement) cenderung diulang. Jika setiap keluhan selalu diberi perhatian berlebihan, pola itu akan semakin kuat.

  • Mengarahkan ke Solusi
    Psikologi membedakan emotion-focused coping (larut dalam perasaan) dan problem-focused coping (mencari jalan keluar). Mengarahkan individu ke jalur kedua bisa memutus siklus keluhan tanpa akhir.

  • Antara Empati dan Rasionalitas

    Namun kita juga perlu berhati-hati. Tidak semua orang yang terlihat seperti korban palsu benar-benar sedang playing victim. Ada individu yang memang sungguh mengalami penderitaan nyata. Bedanya, mereka biasanya terbuka terhadap solusi, tidak menutup diri dari tanggung jawab, dan tidak mengulang narasi korban secara berlebihan. Di sinilah peran emotional intelligence menjadi penting. Kita perlu bisa membedakan kapan harus berempati penuh, kapan harus menetapkan batas. Kita boleh menolong, tapi kita juga berhak menjaga diri.

    Menjadi korban sejati adalah kenyataan pahit yang butuh dukungan. Tetapi playing victim adalah pola perilaku yang, bila dibiarkan, akan menguras energi dan merusak relasi. Dan rasa lelah yang muncul saat berhadapan dengan orang seperti ini adalah wajar. Dari rasa lelah itu, kita belajar bahwa empati tidak boleh membutakan, dan kepedulian pun ada batasnya. Dengan kesadaran psikologis, kita bisa menjaga keseimbangan: tetap manusiawi, tetapi tidak kehilangan diri sendiri.

    Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun