Mohon tunggu...
Rinandita Wikansari
Rinandita Wikansari Mohon Tunggu... Associate Professor in Applied Psychology | Industrial Psychologist | Coaching MSMEs for Global Market | Developing Future-Ready Workforce

Aktif mengajar, meneliti, dan menulis seputar soft skills, kepemimpinan, hingga strategi adaptif di dunia kerja modern. Tertarik untuk menulis mengenai dinamika kehidupan akademik, dunia kerja, hingga refleksi psikologis dalam kehidupan sehari-hari—berbasis data, pengalaman, dan pendekatan yang humanis. Berdaya lewat ilmu, berdampak lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Berkualitas: Hak Anak, Tanggung Jawab Kita Semua

23 Juli 2025   13:27 Diperbarui: 23 Juli 2025   13:27 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan adalah hak anak (Sumber: unsplash.com/id/@heller_mario)

Hari Anak Nasional bukan hanya seremoni tahunan, tapi momentum penting untuk menelaah kembali: sudahkah setiap anak di negeri ini mendapatkan hak dasarnya, terutama dalam hal pendidikan? Di tengah kesenjangan akses, kurikulum yang sering kali belum ramah anak, serta tekanan akademik yang kian tinggi, bagaimana seharusnya kita mendidik---tanpa melupakan bahwa anak bukanlah mesin belajar, melainkan individu utuh yang berhak tumbuh, berkembang, dan bahagia? 

Setiap tanggal 23 Juli, bangsa Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Momentum ini tidak sekadar menjadi seremoni tahunan, tetapi pengingat moral kolektif bahwa anak-anak---yang saat ini masih bergantung dan dibentuk oleh sistem---adalah pemegang masa depan bangsa. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi salah satu hak anak yang paling krusial, namun juga paling kompleks untuk diwujudkan secara merata dan bermakna.

Hak Anak: Antara Regulasi dan Realita

Secara hukum, hak anak atas pendidikan telah diakui secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 9 menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat dan bakatnya. Konvensi Hak Anak PBB yang telah diratifikasi Indonesia pun menegaskan hal serupa. Namun pertanyaan pentingnya adalah: apakah hak itu telah terwujud secara nyata dalam kehidupan anak-anak Indonesia, terutama mereka yang berasal dari kelompok rentan?

Dalam praktiknya, ketimpangan akses pendidikan masih menjadi tantangan besar. Anak-anak di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), penyandang disabilitas, atau dari keluarga miskin seringkali mengalami hambatan struktural dalam meraih hak belajarnya. Pandemi COVID-19 sempat memperparah situasi ini, ketika jutaan anak kehilangan akses terhadap pembelajaran daring karena tidak memiliki perangkat digital dan koneksi internet yang memadai.

Pendidikan Inklusif: Bukan Sekedar Masuk Sekolah

Pendidikan bukan hanya tentang duduk di ruang kelas. Pendidikan yang menghargai hak anak adalah pendidikan yang inklusif, adaptif, dan memerdekakan. Pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi anak untuk tumbuh sebagai individu yang kritis, kreatif, dan bahagia---not just literate, but empowered. Sayangnya, sistem pendidikan formal kita masih terlalu menekankan pada hasil ujian, bukan proses belajar. Anak-anak kerap menjadi korban dari sistem yang seragam dan kaku, yang tidak memberi ruang pada keunikan dan kecepatan tumbuh masing-masing anak. Inilah yang menjadi titik penting bahwa pendekatan pendidikan yang berbasis hak anak (child rights-based approach) perlu lebih diperkuat.

Pendidikan sebagai Investasi Kemanusiaan

Menjamin hak pendidikan anak bukan hanya kewajiban negara, tetapi tanggung jawab moral seluruh elemen masyarakat. Keluarga adalah sekolah pertama, guru adalah pelayan nilai, dan komunitas adalah ekosistem belajar. Masyarakat yang sadar hak anak akan lebih sensitif terhadap praktik-praktik yang merampas masa kecil anak, mulai dari perundungan di sekolah, eksploitasi kerja anak, hingga perkawinan usia dini. Kita tidak bisa lagi melihat pendidikan semata sebagai investasi ekonomi, tetapi harus sebagai investasi kemanusiaan. Mendidik anak bukan sekadar menyiapkan tenaga kerja masa depan, tetapi membangun generasi yang mampu hidup secara bermakna dan berkontribusi pada peradaban.

Menuju Pendidikan Ramah Anak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun