Ia menambahkan bahwa mitos ini juga berbahaya karena pada banyak kasus kekerasan, korban harus memenuhi standar "ideal" agar tidak di-rekviktimisasi. Selain itu, mitos ini juga melanggengkan budaya "victim blaming" dan melindungi pelaku kekerasan.Â
Neeraja Sanmuganathan , Sexual Assault Clincian dari University of Notre Dame, Australia mengatakan, seringkali para korban kekerasan seksual mengalami goldiloks dilemma. Yaitu sebuah kondisi dilematis di mana korban dipaksa untuk mampu menjelaskan situasi secara precisely right, tidak kurang, dan tidak lebih. Korban diharuskan mempunyai ingatan yang jelas tentang kekerasan yang terjadi, harus terbukti melakukan perlawanan, dapat melaporkan kejadian sesaat setelah kekerasan berlangsung serta dalam keadaan sadar atau tidak mabuk sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat.
Tentu, ketika korban tidak bisa memenuhi kriteria yang sudah disebutkan sebelumnya. Ia akan mengalami satu bentuk ketidakadilan. Betapa korban akan merasa "sendirian" ketika pengalamannya tidak dipercaya hanya karena tidak bisa memenuhi kriteria - kriteria nir- empati tersebut ( Konde.co, 10 Januari 2024 ).Â
Di sisi lain kita juga sering menggunakan himbauan - himbauan moral yang biasanya bernuansa agama sebagai upaya untuk menyelesaikan kasus ini. Biasanya, himbauan - himbauan ini lebih ditujukan kepada perempuan agar mengatur cara berbusana, tidak boleh pulang malam hari, atau bepergian dengan berjalan kaki ke tempat - tempat tertentu.Â
Sialnya, pada saat yang sama kita gagal memberikan pengetahuan kepada "para pelaku" yang biasanya adalah sebagian besar berasal dari kaum laki - laki untuk memperbaiki cara pandang mereka tentang perempuan. Cara pandang sebagian besar laki - laki terhadap perempuan itu selalu berkutat pada "ketubuhannya" bukan pada "value."
Selain itu, laki - laki juga tidak diajarkan untuk mengelola dorongan hasrat yang ada pada dirinya.Bahkan, mungkin tidak punya kesadaran untuk mencari pengetahuan agar mampu untuk mengelola dorongan hasrat tersebut. Lantas, setelah membaca deretan penjelasan panjang sebelumnya. Kita pun bertanya, sebenarnya apa penyebab semua hal itu bisa terjadi ?Â
Akar PersoalanÂ
Pertama - tama kita harus menyadari bahwa istilah dan konsep kekerasan seksual merupakan pengetahuan baru bagi warga Padangsidimpuan. Atau mungkin bisa dikatakan bahwa sebagian besar warga pernah mendengar istilah ini tetapi enggan untuk mempelajarinya secara lebih mendalam.Â
Misalnya, jika ada pertanyaan; apakah anda mengetahui akar kekerasan seksual itu ada budaya patriarki? Saya bisa menduga kalau sebagian besar warga akan menjawab tidak tahu. Atau jika pertanyaannya adalah apakah anda mengerti tentang apa itu budaya patriarki? Saya bisa menduga sebagian besar warga akan menjawab tidak mengerti.Â
Kebodohan ini yang kemudian membuat cara pandang sebagian besar warga tidak berubah terhadap perempuan. Mari kita ambil contoh di dalam kehidupan sehari- hari. Sebagian besar dari kita mungkin pernah melakukan "cat calling" kepada seorang perempuan.Â