Mohon tunggu...
Rina Darma
Rina Darma Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Strategi Mendorong Minat Generasi Muda Menjadi Petani Milenial

10 November 2021   05:04 Diperbarui: 14 November 2021   10:26 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sawah, ilustrasi Pertanian (SHUTTERSTOCK.com/JET ROCKKKK) 

Saya bukan petani milenial tapi anak petani tradisional. Kalau ditanya apakah mau meneruskan profesi orang tua? 

Jika saya menjawab iya, maka saya akan menjadi petani tapi bukan petani saja, namun dengan embel-embel milenial. Sehingga, saya akan disebut petani milenial. Sebab, usia saya masih dalam rentang generasi milenial.

Dengan saya memutuskan merantau usai kuliah sudah menunjukkan apa jawaban saya. Jangankan saya, orang tua pun tak menyarankan jadi petani. Jadi petani (tradisional) itu berat!

Berangkat pagi, lantas dibakar terik mentari. Rehat saat tengah hari. Pergi lagi saat matahari mulai bergerak di angka dua, kadang sebelumnya. Menikmati senja di alam terbuka. Terlelap setelah isya. Esok. Begitu lagi siklusnya.

Apakah cita-cita bapak menjadi petani? Saya rasa tidak. Awalnya itu adalah "keterpaksaan" karena ketiga anak-anaknya mulai sekolah makin tinggi. 

Ia butuh sampingan dari pekerjaan utamanya untuk menafkahi keluarga. Mulai dari petani penggarap lahan hingga layak disebut petani. Sekarang, usai pensiun bapak mengabdikan dirinya untuk sawah.

Dalam ingatan saya sewaktu masih kecil, bapak dan ibu jarang mengeluh soal sawah. Kami anaknya tidak tahu masalah orang tua. 

Saat kami ikut ke sawah sepulang sekolah, yang saya tahu hanya senang-senang alias bermain. 

Tugas kami hanya membantu menyebar benih jagung atau kacang dan saat panen cabe. Pekerjaan yang ringan saja. Isinya kami hanya bercanda.

Menanam padi secara tradisional (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Menanam padi secara tradisional (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Belakangan, mereka mulai mengeluh cari tenaga kerja susah. Tenaga kerja sekarang "ngregani" alias sudah mematok harga. 

Bapak paling kesulitan mencari "wong tandur" atau orang yang menanam padi dan "wong rembang" atau orang yang memangkas tebu siap panen. Karena, pekerjaan itu tidak bisa dilakukan sendiri. Yang masih bisa dilakukan sendiri ya dilakukan sendiri. 

Bahkan pernah "wong rembang" itu benar-benar berasal dari Rembang padahal sawah ada di Klaten. Jaraknya lebih dari 170 kilometer. 

Terbayang kan, susahnya mencari pekerja untuk memanen tebu di Klaten. Rembang itu berat karena selain memangkas tebu harus memikulnya juga ke atas truk untuk diangkut. Hanya orang-orang "potok" atau kuat dan "butuh" pasti yang mau.

Keluhan yang sering saya dengar berikutnya adalah pupuk. Seingat saya sewaktu remaja, bapak masih bisa beli pupuk di warung-warung pertanian pinggir jalan. 

Saya masih ingat namanya "Enjes" dan toko itu akhirnya tutup permanen. Selain "Enjes" ada toko "Bu Bayan" (Bayan sebutan kepala dusun di daerah kami), sekarang tokonya (walau sudah tak menjabat sebagai bayan, tapi masih disebut toko "Bu Bayan") masih ada tapi sudah tak menjual pupuk.

Saat ini pupuk hanya disalurkan lewat kelompok tani. Yang tidak masuk kelompok tani tidak bisa membeli. Harganya tidak seterjangkau dulu. Itupun mending kalau barangnya selalu ada. Kadang kala tak ada pupuk.

Sewaktu pabrik gula masih beroperasi, bapak kerap mendapat blotong atau ampas tebu. Baunya tidak karu-karuan tapi sangat bermanfaat untuk menyuburkan tanah sawah.

 Sekarang bapak hanya mengandalkan pupuk dari pemerintah yang disalurkan lewat kelompok tani tadi. Karena, di desa kami tak ada yang beternak dalam skala bisa menjadi pupuk untuk sawah.

Jangan dikira selesai, saat masa panen tiba belum tentu bahagia. Sebab, bisa jadi harga jatuh. Tak ada jaminan harga tinggi atau seenggaknya stabil. Yang belum lama dan selalu ada setiap tahun misalnya, cabe. 

Pertama panen harganya sampai Rp 40 ribuan per kilogram dari tangan petani, terakhir panen hanya Rp 5 ribu per kilogram. 

Saat harga terendah itu, mereka akan rela memetiknya sendiri walau bisa berhari-hari karena hasilnya tidak akan cukup untuk mengupah pekerja.

Setiap saya mengusulkan agar seluruh biaya dari persiapan hingga panen dicatat, agar terlihat untung ruginya, mereka menjawab ya kalau dihitung pasti rugi. Belum tenaga sendiri jika dihitung. Apa mereka kapok? Tidak. 

Saat ini banyak lahan pertanian di daerah saya yang beralih fungsi dari menjadi pabrik dari gudang hingga operasional dan perumahan. 

Rasanya tak ada yang gigih mempertahankannya menjadi lahan pertanian. Karena memang menjadi petani "tradisional" itu tak menggiurkan. 

Gambaran Petani Milenial 4.0

Saya pernah membaca kicauan dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengenai lowongan menjadi petani milenial. 

Darah petani dalam tubuh mendorong saya untuk meng-klik informasi tersebut. Petani terpilih akan diberi akses permodalan, pendampingan hingga pemasaran asal mau ditempatkan di desa. Begitu singkatnya.

Enak sekali, begitu pikir saya. Tapi apa ada yang mau tinggal di desa? Generasi milenial sangat mengutamakan teknologi digital. Tapi kalau tidak di desa memang ada lahan pertanian yang cukup di kota?

Namun ternyata animo milenial Jabar mengikuti program ini tergolong tinggi. Dikutip dari laman jabarprov.go.id jumlah pendaftar mencapai 8.998 orang. 

Pada gelombang pertama tersebut yang lolos seleksi 2.240 orang. Program pertanian tersebut mencakup juga bidang peternakan, perikanan, dan perkebunan. Kick off dilakukan pada Jumat, 25 Mei 2021 di Desa Sunten Jaya, Kabupaten Bandung Barat.

Apa yang diberikan dalam program petani milenial sangat menarik. Namun, menurut saya jika bertani masih mengandalkan tenaga manusia saya rasa cukup sulit untuk menarik milenial berkecimpung di sektor pertanian. 

Berkaca dari apa yang dilakukan petani tradisional, dari persiapan lahan hingga panen masih didominasi tenaga manusia. 

Saat pengolahan tanah menggunakan traktor itu pun masih dioperasikan manusia sehingga manusia harus ikut berkeliling memutari sawah dengan mengendalikan traktor. 

Saat panen padi atau jagung misalnya, kini sudah dibantu dengan mesin "krotok" atau perontok, gabah tak lagi dipukul-pukul dengan pelepah daun kelapa. 

Namun, tenaga manusia masih sangat diandalkan di situ. Dari memasukkan padi ke mesin, hingga mengangkut gabah ke tempat tempat penampungan.

Era milenial identik dengan digital atau era teknologi. Sehingga gambaran saya, petani milenial 4.0 itu melek teknlogi dan cerdas secara pengetahuan syukur lulusan pertanian. 

Namun, apakah kebanyakan sarjana pertanian lulus mau menjadi petani milenial? Saya tidak tahu karena saya bukan sarjana pertanian. 

Pertanian tradisional (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Pertanian tradisional (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Menurut saya ada beberapa langkah agar semakin banyak yang mau berprofesi sebagai petani milenial di negara agraris ini.

Mengubah mindset

Dalam hal apapun, yang pertama kali dilakukan agar bisa sukses adalah mengubah mindset atau pola pikir. 

Kita harus tahu bagaimana cara memandang para generasi milenial ini terhadap lahan pertanian tempat para petani milenial bakal mengabdikan diri. 

Jika mereka memandang sawah, ladang, atau tegalan itu kotor dan menjijikkan apalagi saat masa mengolah tanah yang penuh lumpur berarti harus ada diubah.

Bagi anak-anak desa seperti saya hal itu biasa bahkan menyenangkan bagaimana dengan anak yang dibesarkan di kota? 

Sebenarnya banyak hal untuk menyiasati dengan sepatu bot, sarung tangan, topi atau caping, pelindung wajah, dan pakaian menutup. 

Namun, bagaimana bonding petani dengan lahannya jika tak ada sentuhan sama sekali. Katanya, semakin erat hubungan kita dengan tanaman dan lahan berbanding lurus dengan hasil panen.

Petani merupakan pahlawan pangan. Tanpa mereka kita bakal susah makan.  Akan tetapi, kembali lagi, mindset harus diubah mulai dari diri sendiri dan didukung oleh lingkungan. 

Bagaimana kalau anaknya mau, tapi orang tua maupun lingkungannya tidak mendukung?

Ada teknologi

Hampir semua orang tidak mau pekerjaan yang berat dan capek. Pola pertanian tradisional sangat mengandalkan tenaga manusia. Ini sangat tidak menarik bagi sebagian besar milenial. 

Kementerian Pertanian telah menerapkan kerangka teknologi Revolusi Industri 4.0 dalam mentransformasi pertanian tradisional menuju pertanian modern. 

Di antaranya telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk berbagai alat dan mesin (Alsintan) pertanian seperti autonomus tractor, drone sebar benih, drone sebar pupuk granule, alsin panen dan olah tanah terintegrasi dan penggunaan robot tanam. 

Dari namanya saja ini sangat cocok untuk generasi milenial. Petani saat ini yang didominasi usia 50 tahun ke atas akan kepayahan menggunakan alat-alat tersebut. Cara mereka belajar tidak akan secepat anak-anak muda. 

Alat-alat ini harus segera diperkenalkan luas dalam wujud nyata agar petani milenial semakin antusias. Karena, beberapa kali pulang kampung saya rasanya belum melihat alat-alat itu kecuali traktor yang sangat besar di rumah kepala desa.

Integrasi

Tidak hanya moda transportasi yang bisa diintegrasi bahkan pengusaha pun saling berkolaborasi. Pertanian, peternakan, dan perkebunan termasuk ekowisata bisa termasuk di situ. 

Misalnya sapi membutuhkan pakan daun jagung muda hasil pertanian, kemudian kotoran sapi bisa masuk kembali ke sawah.  

Daun-daun dari tanaman keras bisa menjadi kompos. Petani tak lagi hanya mengandalkan pupuk dari pemerintah. 

Pola tumpang sari selain menambah produksi juga rentan serangan hama penyakit. Semua proses dari berbagai tahapan bertani, beternak, dan berkebun bisa menjadi salah satu atraksi desa wisata semacam workshop. 

Ekonomi desa pun bertumbuh positif. Untuk mengintegrasikan bidang tersebut tentu harus melihat potensi sumber daya alam, kemampuan desa, dan sumber daya manusianya.

Dari semua itu masih ada yang mengganjal, yaitu apakah pola pertanian berbasis teknologi akan ramah lingkungan dan berkelanjutan? 

Jika menilik alat saat ini misalnya mesin diesel untuk memompa air berbahan bakar bensin. 

Traktor tangan yang digunakan pun masih mengandalkan solar, bensin, maupun minyak tanah. Animo Semuanya merupakan bahan bakar fosil yang turut menyumbang gas rumah kaca (grk) di atmosfer. 

Belum lagi, opsi pembukaan lahan hutan untuk pertanian. Padahal saat ini dunia melalui COP26 di Glasgow berjanji untuk mengakhiri dan membalikkan angka deforestasi dan degradasi lahan paling lambat tahun 2030. Lebih dari 100 pemimpin negara mendeklarasikan janjinya. 

Apa kalian tertarik menjadi petani milenial?^^

Bahan Bacaan:

  1. Apa Kabar Program Petani Milenial Jabar? Begini Progresnya diakses dari situs jabarprov.go.id
  2. Media sosial madaniberkelanjutan.id
  3. Pertanian 4.0 Efisiensi Waktu dan Peningkatan Produktivitas diakses dari laman pertanian.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun