Mohon tunggu...
Rina Darma
Rina Darma Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Strategi Mendorong Minat Generasi Muda Menjadi Petani Milenial

10 November 2021   05:04 Diperbarui: 14 November 2021   10:26 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menanam padi secara tradisional (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Bapak paling kesulitan mencari "wong tandur" atau orang yang menanam padi dan "wong rembang" atau orang yang memangkas tebu siap panen. Karena, pekerjaan itu tidak bisa dilakukan sendiri. Yang masih bisa dilakukan sendiri ya dilakukan sendiri. 

Bahkan pernah "wong rembang" itu benar-benar berasal dari Rembang padahal sawah ada di Klaten. Jaraknya lebih dari 170 kilometer. 

Terbayang kan, susahnya mencari pekerja untuk memanen tebu di Klaten. Rembang itu berat karena selain memangkas tebu harus memikulnya juga ke atas truk untuk diangkut. Hanya orang-orang "potok" atau kuat dan "butuh" pasti yang mau.

Keluhan yang sering saya dengar berikutnya adalah pupuk. Seingat saya sewaktu remaja, bapak masih bisa beli pupuk di warung-warung pertanian pinggir jalan. 

Saya masih ingat namanya "Enjes" dan toko itu akhirnya tutup permanen. Selain "Enjes" ada toko "Bu Bayan" (Bayan sebutan kepala dusun di daerah kami), sekarang tokonya (walau sudah tak menjabat sebagai bayan, tapi masih disebut toko "Bu Bayan") masih ada tapi sudah tak menjual pupuk.

Saat ini pupuk hanya disalurkan lewat kelompok tani. Yang tidak masuk kelompok tani tidak bisa membeli. Harganya tidak seterjangkau dulu. Itupun mending kalau barangnya selalu ada. Kadang kala tak ada pupuk.

Sewaktu pabrik gula masih beroperasi, bapak kerap mendapat blotong atau ampas tebu. Baunya tidak karu-karuan tapi sangat bermanfaat untuk menyuburkan tanah sawah.

 Sekarang bapak hanya mengandalkan pupuk dari pemerintah yang disalurkan lewat kelompok tani tadi. Karena, di desa kami tak ada yang beternak dalam skala bisa menjadi pupuk untuk sawah.

Jangan dikira selesai, saat masa panen tiba belum tentu bahagia. Sebab, bisa jadi harga jatuh. Tak ada jaminan harga tinggi atau seenggaknya stabil. Yang belum lama dan selalu ada setiap tahun misalnya, cabe. 

Pertama panen harganya sampai Rp 40 ribuan per kilogram dari tangan petani, terakhir panen hanya Rp 5 ribu per kilogram. 

Saat harga terendah itu, mereka akan rela memetiknya sendiri walau bisa berhari-hari karena hasilnya tidak akan cukup untuk mengupah pekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun