Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sarung untuk Abak

24 Mei 2020   11:34 Diperbarui: 27 Mei 2020   09:22 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku ingat sewaktu Abak membelikan aku sebuah kamus cukup tebal ketika hari  kelam. Hari kelam merupakan saat dimana tangkapan nelayan melimpah. Gelap di permukaan laut membuat ikan-ikan berkumpul ketika dipancing dengan cahaya lampu dari bagan. Selanjutnya nelayan di bagan tinggal mengangkat jaring yang sudah penuh dengan ikan.

Rasanya senang sekali kalau hari kelam. Dimana aku dan tetangga-tetangga nelayanku yang lain bisa sedikit bersenang-senang. Biasanya beberapa orang tua tetanggaku akan membeli peralatan elektronik seperti tape recorder dengan speaker yang berdentam-dentam. Yang lain mengambil motor baru. Tentu saja kredit. Mereka hanya membayar uang muka.

Tapi keriaan musim hari kelam biasanya hanya sebentar. Pada saat bulan purnama dan hasil tangkapan kurang, satu persatu peralatan tersebut akan di sita oleh pemilik toko. Begitu terjadi bertahun-tahun.

Ini yang tidak diperbolehkan Abak kami lakukan. Abak akan menyuruh Amak membeli emas ketika ada sedikit uang berlebih. Kata Abak emas gampang disuruh. Maksudnya ketika kita kesulitan emas mudah untuk dijual kembali. Dan biasanya hal tersebut selalu diikuti kata-kata:"untuk sekolah Zainal".

Aku tersenyum kecut mengingat hal itu. Semuanya telah berlalu. Sekarang Mak Udin telah memberhentikan Abak. Tubuh Abak yang ringkih, dan selalu batuk-batuk menjadi alasan Mak Udin untuk menyuruh Abak untuk turun dari kapal. Sebagai penguasaha tentu beliau tidak mau rugi. Beliau menginginkan pekerja yang produktif. Abak memaklumi hal tersebut. Apa boleh buat.

Seturun dari kapal bagan abak mengeluarkan kembali biduk salodang tuanya. Menembus ombak menggunakan pendayung dan peralatan seadaanya. Untuk menghidupi kami. 

Tidak banyak yang didapatkan Abak dengan menggunakan biduk untuk mencari ikan. Karena hanya mampu melaut pada bagian dangkal, ikan yang diperoleh Abak adalah ikan-ikan kecil saja. Harganya ketika di jual sangat murah. Kadang hasil tangkapan hanya cukup untuk makan kami sekeluarga.

"Abak tidak punya kepintaran lain, Zainal, yang Abak bisa hanya kelaut dan mendayung". Itu alasan yang selalu dikemukakannya ketika kutanya mengapa tetap melaut. Aku terdiam. Aku tahu Abak lelah. Aku tahu Abak ingin istirahat , tapi keadaan membuat beliau harus memaksa diri.

"Tapi angin akan membuat batuk Abak tambah parah", kataku waktu itu.

"Angin adalah kawan karib Abak. Abak tidak pernah memusuhi  Angin. Abak bahkan selalu menyeru angin agar datang. Kalau angin tidak mengalir, biduk Abak tidak akan mampu berlayar. Bagaimana mungkin angin akan membuat Abak sakit. Sakit senang itu Allah yang menentukan", jawabnya padaku.

Aku tersenyum kecut mengingat semua cerita lama itu. Kisah masa kecilku dengan gubuk dipinggir pantai. Tertidur dengan dendang ombak ditelinga. Aroma segar pasir bercampur dengan bau ikan kering yang dijemur disekeliling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun