Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sarung untuk Abak

24 Mei 2020   11:34 Diperbarui: 27 Mei 2020   09:22 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara rantang yang beradu dengan tutupnya berdenting membangunkanku. Dari celah dinding bambu yang membatasi kamarku terlihat asap mengepul. Sejurus kemudian terdengar suara air yang dicurahkan. Bunyinya gemericik ketika memasuki mug yang terbuat dari loyang.

Sejenak bau wangi kopi mengepul memenuhi seisi rumah. Aku tidak tahu juga apakah sebenarnya tempat tinggal kami layak disebut rumah. Dengan dinding yang terbuat dari bambu yang dijalin dan beratapkan daun rumbia, tempat aku menghabiskan hidup sehari-hari dengan Ibu, Abak, dan kedua adikku ini mungkin lebih tepat dinamai gubuk.

Jam di dinding menunjukkan pukul 2.15 dini hari. Jam hadiah kemenanganku saat memenangkan lomba menulis cerita di Kabupaten. Jam ini menjadi satu-satunya barang yang terhitung modren dan bagus dalam rumah ini.

Masih terlalu lama menunggu subuh. Aku berusaha memejamkan mata kembali. Namun terasa susah untuk terlelap. Bunyi langkah kaki Amak bolak-bolak  didapur terdengar jelas. Sesekali terdengar tiupan nafasnya di salung api 1) menjaga bara tetap menyala. Agaknya Amak sedang menyiapkan bekal untuk Abak 2).

Dari beranda kudengar batuk sambung menyambung. Batuk Abak semakin parah akhir-akhir ini. Seharusnya beliau tidak berangkat melaut. Karena itu jelas memperparah kondisi batuknya. Aku meringis membayangkan bagaimana tubuh ringkihnya melawan angin laut dan gerimis hujan saat menebar jala.

Aku bangkit dari dipan. Kasur tipis pemberian Etek Nur adik Amak yang kugunakan untuk tidur ikut bergeser ketika aku duduk. Kurapikan seadanya. Agar alasnya yang merupakan karton bekas rokok itu tak terlihat. 

Kuseret kaki menuju beranda. Tempat bunyi batuk Abak berasal. Telapak kakiku terasa terkejut menyentuh dinginnya lantai yang terbuat dari semen yang dicor kasar.

Bunyi daun pintu beranda terdenger berderit ketika kubuka. Daun pintu yang terbuat dari anyaman bambu yang diapit bilah-bilah bambu pada ke empat sisinya. Angin pantai serta merta bercerabut masuk. Membuat gigil pada sekujur tubuh mungilku. Tapi mungkin lebih parah gigil pada hatiku. Melihat bahu tipis itu duduk dengan memeluk sebelah lutut.

Abak serta merta menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka.

"Mengapa engkau bangun Zainal? Subuh masih lama". Tanya Abak dengan kening berkerut.

"Abang mau mamukek 3)?" Tanyaku tanpa menghiraukan perkataan Abak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun