"Siapa yang mandi mak?" tanyanya penasaran.
"Mas mu le, mas mu pulang," ucap Mak Utt lirih penuh haru.
Damar tertegun, tak tahu nasib apa lagi yang datang. Kakanya yang hampir lima tahun menghilang kini sudah di rumah.
"Mas Utt," teriaknya dengan perasaan campur aduk.
Penampakan Utomo sama sekali berubah dari lima tahun lalu. Damar hampir pangling, kakanya tumbuh jauh lebih jangkung dari terakhir kali dilihat saat meninggalkan rumah. Kulitnya bersih, sedikit memudarkan warna coklat alaminya. Damar langsung memeluk Utomo yang keluar dari kamar mandi.
"Kemana saja kau? Aku sendirian menjaga emak," Damar memprotes sambil menangis.
"Aku ke Batam, menggembala nasib Mar," kata Utomo matang.
"Aku tak pernah lupa pesan-pesan bapak Mar. Emak juga sudah ceritakan semua tentangmu," imbunya.
Pengembaraan Utomo selama lima tahun ini membwanya ke sebuah etape kehidupan baru. Seperti mendulang emas di sungai, waktu melarutkan luka dan traumanya. Menyisakan butiran emas yang disebut kematangan jiwa.
"Aku bernasib baik Mar, aku membuktikan Tuhan sayang pada mereka yang tabah dan terus berjuang."
"Kau berangkatlah kuliah, ambil kesempatan itu. Aku yang akan menjaga emak dan adik-adik di sini."
"Mereka juga akan menyusulmu, nanti."
Surakarta, Juli 2020