Ketiga
Seluruh hakim MK yang berjumlah 9 orang dengan Ketua Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., MH. sepakat mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan judicial review para pemohon, khususnya mencabut ancaman sanksi pidana sebagaimana yang termaktub di dalam pasal 75, 76 dan 79 huruf a dan c namun dengan perbedaan pendapat ( dissenting opinion ) dalam hal pertimbangan hukumnya.
Inilah cuplikan dissenting opinion dari Hakim Konstitusi HM Laica Marzuki, sebagai berikut :
Pelanggaran guna tidak memasang papan nama, dan pelanggaran lain, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 79 huruf (a), (c) UU Praktik Kedokteran tidak dapat dipandang melanggar hukum pidana, serta sama sekali tidak melanggar hak subjektif para pasien. Kesemuanya berpaut belaka dengan pengaturan administratif, dan bukan melawan hukum (wederrechtelijk).
Pasal-pasal (ayat-ayat) UU Praktik Kedokteran yang dimohonkan pengujian tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai pasal-pasal (ayat-ayat) perbuatan pidana karena tidak ternyata mengandung unsur sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid)
Kelima
Sementara, dalam dissenting opinion nya , Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan H. Harjono menyatakan bahwa pasal 75,76 dan 79 itu mengkriminalisasi para tenaga medis ( dokter/dokter gigi ) dan menegaskan pentingnya ditegakkan prinsip Ultimum Remedium dalam penggunaan hukum pidana.
Mereka mengatakan :
Kriminalisasi satu perilaku harus dapat menjawab pertanyaan kepentingan hukum apakah yang dimaksudkan untuk dilindungi dengan pengaturan yang dilakukan dalam pembentukan satu norma hukum pidana tertentu.
Prinsip dasar lain yang secara umum diterapkan adalah bahwa penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remedium, menegaskan bahwa jika satu tujuan dapat dicapai dengan sanksi yang bukan hukum pidana, maka sanksi demikian yang akan dipakai dan bukan hukum pidana.
Penggunaan hukum pidana juga harus dielakkan jikalau side effect-nya lebih besar dan penegakannya tidak efektif.
Pasal 79 huruf a dan 79 huruf c, yang juga mengkriminalisasi pelanggaran .....dengan menggunakan alasan dan pertimbangan di atas, hemat kami juga merupakan hal yang tidak rasional dan proporsional, dan karenanya juga melanggar kewajiban untuk memberikan perlindungan yang seimbang dan adil atas kepentingan hukum semua stakeholder, yang sesungguhnya dapat secara lebih efektif ditegakkan melalui sanksi dalam hukum tata usaha negara, yang berpuncak pada pencabutan SIP dan STR.