by dr.Riki Tsan,SpM,MH
( Mahasiswa Prodi Doktoral-S3,FH, UTA 1945,Jakarta )
Dalam Seminar Nasional Hukum Kesehatan yang diselenggarakan oleh Universitas  Tujuhbelas Agustu 1945, Jakarta pada Sabtu/2 Agustus 2025, Prof. Dr. Hamidah Abdurrachman, S.H., M.Hum,  sebagai nara sumber, menyajikan presentasi dengan judul : 'Tafsir Kealpaan Dalam Putusan Hakim: Paradoks Keilmuan Yang Multitafsir'
'Dalam hukum pidana', tutur Prof. Hamidah, ' kealpaan digunakan sebagai dasar pemidanaan apabila seseorang tidak bermaksud menimbulkan akibat, namun lalai menjalankan kewajiban kehati-hatian'
'Berdasarkan Pasal 440 UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, tenaga medis dapat dipidana jika kealpaan mengakibatkan luka berat atau kematian pasien'.
'Dalam kasus kealpaan', lanjut Prof.Hamidah, 'hakim dituntut untuk menilai tindakan profesional teknis berdasarkan norma hukum yang tidak selalu sesuai dengan kompleksitas dunia medis. Norma hukum bersifat abstrak dan normatif, sedangkan fakta medis bersifat empiris dan kontekstual. Hukum bekerja dengan pendekatan deterministik, sedangkan ilmu kedokteran bekerja dengan pendekatan probabilistik dan judgment-based'
'Sebagian hakim' , tutur beliau, 'menekankan akibat ( result-based reasoning ), sebagian lain memperhitungkan kompleksitas tindakan medis ( process-based reasoning ). Contohnya adalah perbedaan antara Putusan Pengadilan Negeri (PN) dan Putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Terdakwa dr. Elisabeth Susana,M.Biomed ( dr.SE )'
Perkaranya adalah tindakan injeksi filler di wajah pasien yang mengakibatkan pasien mengalami kebutaan permanen pada mata kiri. Peristiwa ini terjadi pada bulan Juni 2018 di Klinik Light House Makassar.
Terdakwa dituntut secara pidana karena melakukan injeksi filler dermal ( Restylane ) tanpa memiliki sertifikat kompetensi di bidang estetika dan tanpa prosedur informed consent tertulis
Putusan PN Makassar No. 1441/Pid.Sus/2019 membebaskan dr.ES, karena majelis hakim menilai tindakan medis tersebut telah sesuai dengan standar prosedur dan tidak ditemukan unsur kealpaan yang dapat dipidana.
Sebaliknya, Putusan MA No. 233 K/Pid.Sus/2021 menjatuhkan pidana karena dianggap lalai melakukan tindakan filler tanpa izin praktik dan tanpa informed consent, yang menyebabkan pasien mengalami kebutaan permanen.
Dalam Putusannya, MA menyatakan :
- Terdakwa dengan sengaja dalam melaksanakan praktik kedokteran tidak memenuhi kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien dan karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat
- Perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 79 huruf c juncto Pasal 51 huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran  ( UU Praktik Kedokteran 29/2004 ) sebagaimana didakwakan
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!