Mohon tunggu...
Rikily Salamahaditz
Rikily Salamahaditz Mohon Tunggu... lainnya -

A Travel Writer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kereta Api Rangkasbitung - Merak

10 Maret 2014   04:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tujuan saya adalah pergi ke Lampung, menyeberang naik kapal ferry dari Pelabuhan Merak, Banten. Biasanya, saya pergi ke Merak dari Terminal Kampung Rambutan. Kali ini, teman saya yang bernama Deri menawarkan untuk naik kereta api dari Rangkasbitung.

“Lebih dekat kalau mau ke Merak.” Kata Deri, “Bayarnya juga murah.” Tambahnya, berusaha meyakinkan saya.

Saya bilang kepadanya kalau saya belum pernah naik kereta api seumur hidup. Jadi, saya juga harap-harap-cemas jika terjadi sesuatu.

“Kalau lu naik kereta api ekonomi, lu bisa lihat segala jenis orang dari berbagai lapisan masyarakat. Para penjual—dari jual makanan sampai jual buah-buahan, yang kalau lu tawar harganya makin lama makin murah—apalagi makin dekat stasiun terakhir.” Deri tahu, ini akan jadi pengalaman pertama yang ‘sesuatu banget’. Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan.

Saat itu tahun 2008. Sekilas Rangkasbitung yang saya lihat adalah, tata kotanya simpel. Kata Deri, disini tidak ada bioskop, tapi tetap eksis. Di pusat kota, jalan-jalan protokolnya tampak lebar. Sepanjang yang saya lihat, tidak ada tugu maupun taman bunga yang menarik perhatian. Alun-alun kota dan masjidnya justru kelihatan lebih rapi dan ada tempat yang manusiawi untuk pedagang kaki lima di seberangnya. Stasiun kereta api Rangkasbitung sendiri memiliki tiga peron. Meski kecil, tapi cukup bersih.

“Amankan dompet. Pencuri disini main halus.” Kata Deri, yang aslinya memang dari Rangkasbitung mengingatkan saya untuk waspada.

“Silahkan menunggu di peron dua.” Kata petugas loket ketika kami membeli tiket. Tarif ekonomi ke Pelabuhan Merak dihargai Rp.3000,- Murah meriah! Bandingkan kalau naik bis dari Terminal Kampung Rambutan bisa mencapai puluhan ribu. Tak lama kemudian, terdengar pengumuman dari pengeras suara:

“Para penumpang yang terhormat, Kereta kelas ekonomi jurusan Rangkasbitung – Serang – Cilegon dan berakhir di Pelabuhan Merak sebentar lagi akan tiba. Para penumpang diharapkan menunggu di peron tiga.”

Aduh, mana yang benar nih? Saya sih maklum, birokrasi Indonesia yang tidak connect satu sama lain memang sering terjadi. Dan satu lagi guys, tahukah kalian apa bedanya manusia Indonesia dan kereta apinya? Haha, ternyata keduanya sama-sama suka ngaret. Sambil menunggu jam karet yang terus mengulur waktu, saya membuat kesan pertama tentang kereta api ekonomi Indonesia: merakyat, murah meriah, tua bangka dan isinya yang membludak.

Nah, ternyata betul, saat kereta yang akan saya naiki datang, para penumpang dengan raut muka yang tidak sabar sudah berdesak-desakan untuk masuk ke dalam. Saya pun mau tak mau harus menyerupai perilaku mereka yang tidak tertib. Saling serobot pun terjadi, dan hanya yang paling keukeh yang bisa lewat duluan. Begitu masuk, terhiruplah hawa dalam kereta yang merupakan campuran dari debu, senyawa kimiawi yang dihasilkan bau keringat, aroma kue jajanan pasar, air tumpah di lantai gerbong yang menguap—belum lagi ditambah polusi dari orang yang meludah sembarang—cuih!—orang yang mengeluh kepanasan, teriakan-teriakan pedagang kaki lima yang lalu lalang menjajakan dagangannya, dan orang yang tidak mau ambil pusing dengan keadaan sekitar.

Kereta tersebut kemudian bergerak perlahan melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya. Rentetan gerbongnya berdencit-dencit sepanjang jalan. Sementara itu, saya terjepit diantara orang-orang yang bergelantungan seperti monyet di rak barang. Sama seperti yang lain, saya juga mirip monyet karena kursi kereta yang posisinya menyamping sudah terisi penuh sesak. Tidak ada kursi untuk duduk, banyak saingan untuk memperebutkan kursi yang terbatas. Demikianlah, itu semua kenikmatan ekonomis seharga Rp.3000,-

Menurut pendapat saya, isi dalam kereta ekonomi ini jelas menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat lapisan bawah di negara kita. Ini adalah gerbong kereta, kemudian jadi pasar bergerak dan tempat mencari kehidupan ketika tanah yang tidak bergerak tidak lagi menyediakan kesempatan. Para penjual makanan, minuman, mainan, steples, handuk, buah-buahan, aksesoris, pengamen, pengemis, tukang sampah, dan penumpang biasa seperti saya yang tergiur dengan harga murah, harus merasakan dahsyatnya terlibat dalam kompetisi tingkat tinggi untuk mendapatkan posisi wuenak. Dengan prinsip ‘yang penting murah, pokoknya asal selamat sampai tujuan’, semua tumpah ruah jadi satu dan tidak ada rasa gengsi.

Saya mengamati para pedagang kaki lima yang seliweran. Benar kata Deri, kalau yang beli masih sedikit, harganya cenderung masih tinggi. Kalau yang beli mulai banyak dan barang yang dibeli pun makin banyak, harganya akan semakin jatuh dan terpuruk, merosot, bahkan sejatuh-sejatuhnya. “Terakhir, mas. Buat penglaris.” Kata-kata para penjual yang terdengar manis itu pun terucap setelah mereka lelah berkali-kali berputar-putar dari gerbong satu ke gerbong lain, akhirnya mereka menyerah. Siap untuk penghabisan.

Menjelang detik-detik terakhir menuju Pelabuhan Merak, banyak penumpang sudah mulai turun di stasiun-stasiun kecil dan kepadatan dalam gerbong mulai berkurang. Leganya, saya akhirnya dapat tempat duduk juga. Baru sebentar duduk, muncullah petugas kebersihan non official dengan senjata andalannya sapu lidi. Tanpa ba bi bu, dia langsung menyapu sampah di sela kaki-kaki penumpang, diantara barang dagangan dengan gaya menyapunya yang membabi buta—diminta atau tidak—tidak peduli dengan kenyamanan penumpang lain, kecuali pada akhirnya mereka memberikan ‘uang kebersihan’, meski tidak terlalu bersih pada kenyataannya, dan dia pun bergegas menghilang setelah menjalankan aksinya.

“Jreng..jreng..jreng..” Datang lagi dua pengamen. Tampangnya hancur lebur, suara pas-pasan, pitch control berantakan, dari nada suaranya pun sudah termasuk polusi udara, tapi lagu yang dinyanyikan bolehlah—two thumps! Pas banget dengan suasananya, membuat saya tidak berkutik untuk memberi recehan dan lagu ini pun menemani perjalanan kereta api hingga stasiun terakhir di Pelabuhan Merak.

“Hak manusia ingin bicara..

Hak manusia ingin bernyanyi..

Kalau sumbang janganlah didengarkan..

Kalau merdu ikutlah bernyanyi.”

...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun