Semua guru dan staf sekolah perlu mendapatkan pelatihan mengenai cara mendeteksi tanda-tanda kekerasan, serta bagaimana merespons laporan secara etis dan empatik. Ini termasuk pendidikan tentang trauma, etika pelaporan, dan kode etik pendidik.
3. Pendidikan Seksualitas Komprehensif
Anak-anak perlu dibekali dengan pendidikan seksualitas yang sesuai usia dan berbasis hak asasi manusia. Mereka harus tahu bagaimana menjaga tubuh mereka, mengenali bentuk pelecehan, serta cara melapor dan meminta pertolongan.
4. Sistem Pelaporan yang Aman dan Ramah Anak
Harus tersedia jalur pelaporan yang aman, rahasia, dan ramah anak—baik secara daring maupun luring. Anak-anak harus tahu kepada siapa mereka bisa berbicara dan merasa dilindungi saat mereka berani bersuara.
5. Sinergi Antarlembaga
Perlindungan anak tidak bisa dilakukan oleh sekolah saja. Harus ada kerja sama erat antara dinas pendidikan, lembaga perlindungan anak, aparat penegak hukum, LSM, dan masyarakat. Kolaborasi ini penting untuk memastikan penanganan yang menyeluruh, dari pencegahan hingga pemulihan.
6. Jangan Menunggu Korban Berikutnya
Saat satu anak menjadi korban, itu sudah terlalu banyak. Kita tidak bisa menunggu sampai kasus demi kasus viral di media sosial sebelum bertindak. Kita harus bergerak sebelum anak-anak kita terluka lebih dalam.
Masyarakat harus mulai lebih peka, berani bersuara, dan tidak lagi menutup mata terhadap kekerasan seksual di sekolah. Orang tua, guru, kepala sekolah, bahkan siswa harus dilibatkan dalam menciptakan lingkungan yang benar-benar aman. Kita perlu membangun budaya sekolah yang berpihak pada korban, bukan pelaku. Budaya yang tidak menyalahkan korban, yang mendengarkan suara anak, dan yang memberikan ruang bagi penyintas untuk sembuh dan bangkit.
Menjaga Anak, Menjaga Masa Depan