Sekolah seharusnya menjadi ruang yang paling aman bagi anak-anak tempat mereka belajar, tumbuh, dan membentuk masa depan. Namun, kenyataannya, banyak anak justru mengalami kekerasan seksual di tempat yang mestinya menjadi perlindungan bagi mereka. Kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan kini bukan lagi isu tersembunyi. Ia telah menjadi darurat sosial yang memerlukan perhatian serius dari seluruh elemen bangsa.
Cermin Buram Dunia Pendidikan
Belakangan ini, masyarakat diguncang oleh berita tragis dari Bandung. Seorang guru honorer melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 10 siswa. Mirisnya, kasus ini bukan yang pertama dan sangat mungkin bukan yang terakhir. Banyak kasus serupa terungkap dari berbagai daerah di Indonesia, dan kita patut menduga bahwa ada lebih banyak kasus yang belum pernah muncul ke permukaan karena korban memilih diam.
Sekolah, sebagai institusi pendidikan, semestinya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak. Namun, banyak anak menjadi korban dari sosok yang justru seharusnya menjadi panutan dan pelindung: guru, staf sekolah, atau orang dewasa lainnya di lingkungan pendidikan. Ini adalah gambaran nyata bahwa sistem perlindungan anak di sekolah kita masih sangat lemah.
Komitmen Hukum Ada, Tapi Masih Setengah Hati
Secara hukum, Indonesia telah menunjukkan komitmen terhadap perlindungan anak. Negara ini meratifikasi Konvensi Hak Anak (CRC) melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Selain itu, terdapat Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang memperkuat hak-hak anak atas perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
Namun, permasalahan utama bukan terletak pada ketiadaan regulasi, melainkan pada lemahnya implementasi di lapangan. Banyak sekolah belum memiliki kebijakan perlindungan anak yang menyeluruh. Belum tersedia sistem pelaporan yang ramah anak, dan banyak tenaga pendidik yang tidak dilatih untuk mengenali tanda-tanda kekerasan atau menangani laporan secara tepat.
Alih-alih menjadi pelindung, sistem pendidikan malah kerap kali menjadi penutup: menutupi kasus, menekan korban untuk diam, dan mengutamakan citra institusi dibanding keselamatan anak.
Ketimpangan Kuasa dan Budaya Tabu
Dalam banyak kasus, pelaku kekerasan seksual memiliki posisi otoritas yang kuat, baik sebagai guru, pelatih, maupun tokoh masyarakat di sekitar sekolah. Ketimpangan kuasa ini membuat korban merasa tidak berdaya untuk berbicara. Tak jarang pula, pelaku adalah orang yang dikenal baik oleh lingkungan sekitar, sehingga ketika korban bersuara, ia justru tidak dipercaya.