Lampu: "Bro, lo sadar nggak sih, hidup gue tuh tergantung banget sama lo. Kayak, literally lo klik, baru gue nyala. Nggak klik, ya gue cuma hiasan plafon."
Saklar: "Iya, iya. Tapi jangan lebay juga. Gue cuma jari-jari manusia yang main. Kalau mereka iseng, lo bisa dinyalain-matiin sampe pusing sendiri."
Lampu: "Lo pikir gue nggak trauma? Pernah tuh dia main TikTok, bikin video transisi, gue disuruh nyala-mati 27 kali dalam semenit. Gue nyaris masuk rumah sakit per-lampuan."
Saklar: "Wkwkwk, ya ampun. Tapi lo keren sih, bertahan sejauh ini. Banyak lampu di luar sana yang pensiun dini gara-gara manusia pelupa. Dinyalain terus semalaman."
Lampu: "Lo ngomong gitu seolah lo nggak pernah disalahin. Ingat waktu dia bilang, 'Duh saklarnya rusak nih, nggak nyala lampunya,' padahal GUE yang putus. Salah siapa tuh?"
Saklar: "Iya juga sih... Tapi kadang gue kesel juga. Gue cuma duduk manis nempel di tembok, terus manusia sentuh gue seenaknya. Kadang kotor, kadang lengket abis makan keripik. Gue bukan tisu, bro!"
Lampu: "Hahaha, sabar, sabar. Kita ini ujung tombak kenyamanan loh. Kalau nggak ada kita, mereka nabrak pintu tiap malam."
Saklar: "True. Tapi jujur, gue mulai insecure deh. Sekarang zamannya smart home. Lampu bisa nyala sendiri pakai sensor suara. Nanti gue pensiun dong?"
Lampu: "Eh jangan gitu. Smart home juga masih butuh lo kok. Nggak semua orang bisa afford lampu yang bisa jawab 'Hey Google'. Dan lagian, sensasi pencet lo tuh satisfying banget. Klik-nya tuh legendaris."
Saklar: "Wah, lo bisa aja, bro. Tapi gue jadi kangen masa-masa awal kita dipasang. Waktu pertama kali bareng, barengan uji coba dari tukang listrik. Klik pertama itu... magis."