Mengapa Rebranding Rumah Sakit Pemerintah Sulit dan Menjawab Tantangan Meraih Persepsi Publik
Oleh: Rika Salsabilla, S.I.Kom.
Pranata Humas Ahli Pertama
Padahal, rebranding RS Pemerintah milik kemenkes bukan perkara ganti logo.
Kenyataan bahwa rebranding rumah sakit pemerintah termasuk RSUP tipe A adalah pekerjaan berat, benar adanya. Hal yang lebih kompleks bukan sekadar mengganti nama maupun desain visual Rumah sakit. Beban sejarah panjang, birokrasi, dan persepsi kolektif yang terbentuk dari puluhan tahun interaksi dengan publik juga menjadi tantangan yang bersifat selalu melekat.
Menurut teori Konstruksi Sosial Realitas (Berger & Luckmann, 1966), realitas sosial masyarakat terhadap RS pemerintah dibentuk bukan oleh media resmi, tetapi oleh pengalaman kolektif, cerita turun-temurun, dan opini dominan. Jika citra yang terbentuk selama ini adalah "antrian panjang, pelayanan lambat, dan wajah-wajah lelah", maka merek baru tidak akan otomatis mengubah realitas tersebut.
Tantangan Utama Rebranding RS Pemerintah
Citra Lama yang Melekat Kuat
Salah satu tantangan terbesar adalah menghapus persepsi lama. Rumah sakit pemerintah masih sering diasosiasikan dengan fasilitas yang kurang modern serta pelayanan yang kaku dan birokratis. Diskursus media juga sering menyoroti sistem penjaminan pengobatan pasien seperti layanan BPJS yang terkesan "apa adanya".Â
Survei Litbang Kompas (2023): Hanya 38% masyarakat puas dengan aspek kenyamanan layanan RS pemerintah, meski 72% percaya pada kompetensi medisnya. Hal ini sejalan dengan beberapa rumah sakit pemerintah tipe A yang sudah sedari dulu menghasilkan banyak dokter-dokter hebat yang didukung dengan fasilitas pengobatan yang bersifat modern (yang diartikan: tak semua rumah sakit swasta punya).Â
Ketidaksiapan Internal: Disonansi Organisasi
Menurut Teori Cognitive Dissonance (Festinger, 1957), organisasi sering mengalami ketidaksesuaian antara visi baru dan kebiasaan lama. Saat manajemen ingin melakukan rebranding, tapi terdapat kekurangan berikut: