Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Fabel: Kisah Ben, Si Bebek Ungu

7 Januari 2021   23:41 Diperbarui: 7 Januari 2021   23:42 1469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ben, Si Bebek Ungu (diolah dari Clip Art)

Kawan, tahukah kamu apa itu cerita fabel? Kata guru Bahasa Indonesia di kelas enam SD, cerita fabel adalah cerita berisi pesan moral yang tokoh utamanya sekumpulan binatang. Ibu guru waktu itu mencontohkan kisah kancil yang suka mencuri ketimun. Pesan moralnya sederhana, jangan mencuri karena mencuri adalah dosa dan merugikan orang lain.

Kawan, pada tahun 90-an ketika Disney adalah satu-satunya penghasil tokoh-tokoh kartun yang dicintai anak-anak, orang tua saya rutin membelikan majalah Donal Bebek. Mendengar penjelasan ibu guru tentang cerita fabel, saya sontak bertanya:

“Bu, apakah cerita Donal Bebek termasuk cerita fabel?”

Ibu guru terdiam sesaat sebelum menjawab, “Ya, karena tokoh utamanya adalah sekumpulan binatang yaitu bebek.”

“Tapi, Bu,” lanjut saya, “Saya bingung, pesan moral apa dari cerita si Donal Bebek? Sehari-hari dia tidak bekerja, dia selalu iri pada Untung Bebek yang selalu beruntung, dan dia selalu meminta harta Paman Gober yang kikir bukan main.”

“Ya, itu tadi pesan moralnya. Jangan suka malas, jangan suka iri, jangan meminta yang bukan hakmu.”

Seisi kelas tertawa mendengar ibu guru yang sebenarnya hanya membolak-balik kata-kata saya.

Sejujurnya, Kawan, dari dulu saya heran mengapa manusia menciptakan cerita fabel. Mengapa manusia tidak dengan lugas saja bercerita tentang manusia bernama si A yang suka mencuri ketimun dari ladang milik si B, sampai suatu hari dia tertangkap basah dan dihakimi oleh massa, misalnya? Mengapa harus menggunakan sosok binatang untuk menceritakan pengalaman manusia yang berakal budi dan bermoral, yang saking bebalnya harus ditegur lewat sebuah dongeng?

Akan tetapi, Kawan, semua pertanyaan saya tidak dijawab oleh ibu guru yang pada tahun 90-an memakai slogan “tidak ada diskusi di ruang kelas”. Saya tetap diberikan tugas membuat cerita fabel yang harus dikumpulkan. Inilah cerita pendek yang saya tulis dengan berkaca pada apa yang saya alami lima tahun sebelumnya.

* * *

Hari Pertama Ben, Si Bebek Ungu, Bersekolah

Dahulu kala, ada seekor bebek bernama Ben. Ben adalah seekor bebek berbulu ungu yang lahir di tengah-tengah kawanan bebek berbulu kuning. Tidak ada yang tahu mengapa dia terlahir berbeda, namun keluarganya tidak mempermasalahkan hal itu.

Keluarga Ben terdiri atas Papa Bebek, Mama Bebek, Nenek Bebek, Kakak Andre, dan Adik Claudia. Mereka tinggal di kolam kecil di hulu sungai Longwell. Mereka membangun rumah di tepi kolam seperti keluarga bebek lainnya.

Hari itu adalah hari terpenting di dalam hidup Ben. Hari itu dia akan mulai bersekolah di Taman Kanak-Kanak. Dia sangat senang dan juga gugup. Dia tahu bahwa Andre akan menemaninya berjalan ke sekolah setiap pagi, namun dia khawatir kakaknya itu tidak akan sabaran menghadapinya.

Ben punya banyak sekali pertanyaan tentang sekolah, tapi Andre yang berusia empat tahun lebih tua darinya terus memperlakukannya seperti bayi bebek yang tidak tahu apa-apa. Ben juga sedikit sedih karena dia tidak akan tinggal di rumah seharian bersama Nenek dan Claudia seperti biasanya.

Ben bangun pagi sekali, cepat-cepat mandi, dan menghabiskan sarapannya. Di depan pintu rumah Andre menungguinya menalikan sepatu dengan wajah galak.

“Di sekolah semua orang bergerak dengan cepat, Ben. Tidak akan ada yang menunggumu sampai kamu selesai melakukan sesuatu.”

“Jangan membuat dia berkecil hati, Andre,” kata Mama Bebek. “Kamu lupa bagaimana gemetarnya kamu saat kami mengantarmu ke sekolah empat tahun yang lalu?”

“Aku tidak gemetar!” Andre menyangkal. “Hari itu angin bertiup sangat kencang. Bulu-buluku kelihatan berantakan karena angin, bukan karena aku gugup.”

“Empat tahun setelah hari pertamamu pergi ke sekolah kamu sangat pintar membuat alasan,” timpal Papa Bebek sambil tertawa.

Ben memperhatikan wajah Andre yang memerah. Dia sungguh tidak mau membuat kakaknya kesal, jadi dia berdiri di sebelah Andre dan berusaha tersenyum kepadanya. “Aku harap kamu akan membantuku pada hari pertamaku di sekolah, Kak.” Andre berbalik mendelik, namun Ben pura-pura tidak melihat. 

Ketika waktu untuk berangkat sudah tiba, Nenek memberikan kotak makan siang istimewa untuk hari pertama Ben bersekolah. “Isinya roti lapis coklat dan sekotak susu coklat. Makanan kesukaanmu.”

Ben memeluk Nenek dan menepuk kepala Claudia sebelum melewati pintu rumah. “Janji ya kamu akan jadi bebek yang baik hari ini, Claudia. Jangan membuat Nenek terlalu lelah.” Claudia yang masih berusia dua tahun hanya menjulurkan lidahnya, tapi kemudian dia menggoyang-goyangkan buntutnya dengan riang.

Pada hari istimewa itu Papa Bebek dan Mama Bebek  mengantar Ben dan Andre ke sekolah sebelum mereka sendiri berangkat ke kantor. Ben berjalan di tengah-tengah kedua orang tuanya, sementara Andre berjalan dengan berani di depan mereka semua seakan-akan dia adalah pemimpin.

Sekolah yang mereka tuju bernama Akademi Longwell dan terletak di hilir sungai. Setiap binatang yang tinggal di kolam atau di sekitar sungai akan bersekolah di sana. Waktu mereka tiba di Akademi Longwell, mereka melihat Ibu Swan sudah berdiri di pintu gerbang. Ibu Swan adalah guru di Taman Kanak-Kanak. Dulu dia adalah guru bagi Papa Bebek, Mama Bebek, dan Andre, dan sekarang dia akan menjadi guru bagi Ben.

Ibu Swan menyambut semua yang melewati gerbang sekolah dengan senyuman lebar. Dia menepuk sayap Papa Bebek dan Mama Bebek, dan kemudian berpaling kepada Ben.

“Halo, Ben, saya Ibu Swan, gurumu untuk dua tahun ke depan. Ben, kamu bukan lagi seekor bebek kecil, ‘kan? Kamu akan bersikap berani, kamu akan punya teman-teman baru, dan kamu akan bersenang-senang di sekolah, ‘kan?”

Ben mengangguk. Menurutnya Ibu Swan mengatakan terlalu banyak hal dalam waktu yang singkat, dan  dia terlalu takut untuk menjawab rentetan pertanyaannya.

Ibu Swan kemudian berpaling kepada Andre dan berkata, “Kamu akan membantu adikmu menyesuaikan diri dengan kehidupan di sekolah, kan? Ben akan berusaha sebaik-baiknya, namun kami tahu kami bisa mengandalkanmu untuk membantunya.”

Andre cepat-cepat mengangguk supaya dia bisa segera pergi. Dia tahu tidak ada gunanya membantah Ibu Swan. Andre memeluk kedua orang tuanya dan Ben sebelum bergegas ke kelasnya sendiri.

Ibu Swan mengisyaratkan Ben untuk mengikutinya. Ben berjalan pelan-pelan sambil melirik ke seluruh penjuru sekolah, mengamat-amati segala jenis binatang dari sekitar sungai yang bersekolah di situ. Bebek, angsa, burung flamingo, kura-kura, ular, rubah, tupai, dan masih banyak lagi. Ketika tiba di depan kelasnya, paruh Ben terbuka lebar; dia sangat terpesona dengan pemandangan yang dia lihat.

Bebek dengan berbagai macam warna bulu ada di situ. Hijau, merah muda, jingga, putih, hitam, bahkan ungu. Selama ini Ben selalu merasa sebagai bebek yang aneh, yang terasing bahkan dari keluarganya sendiri karena warna bulunya bukan kuning seperti Papa, Mama, Nenek, dan yang lain.

Tapi di sekolah ini segala warna ada! Bahkan Ben sempat mencuri dengar seekor bebek berbulu hijau yang berkata orang tuanya di rumah berbulu merah muda dan kuning. Ben bukan satu-satunya bebek yang tampil berbeda dari keluarganya.

Ibu Swan menyuruh Ben masuk ke dalam barisan dan berdiri di antara sepasang bebek kembar bernama Dea dan Deo. Sebagai bebek kembar, mereka sangat unik dan tidak mirip sama sekali. Dea berbulu merah muda, sedangkan Deo berbulu hitam. Ben memandangi mereka berdua dengan penuh keheranan.

“Semua bebek di keluarga kami berbulu biru, kecuali kami,” kata Dea tiba-tiba.

“Bulu hitam kudapat dari kakekku dari pihak Ayah. Bulu merah muda Dea dari bibi kami dari pihak Ibu,” lanjut Deo.

“Bisa begitu, ya? Dalam satu keluarga kalian bisa memiliki bulu dengan warna berbeda,” ujar Ben sambil berdecak kagum.

Deo mengepak-ngepakkan sayapnya. “Di keluargamu sendiri bagaimana? Omong-omong, kamu tinggal di mana? Masak tidak pernah melihat bebek berbulu selain ungu?”

“Aku tinggal di kolam di hulu sungai ini,” jawab Ben pelan. “Aku hanya pernah melihat bebek berbulu kuning yaitu keluargaku.”

“Memangnya kamu tidak pernah berenang di luar kolam itu? Tidak pernah main ke rumah temanmu? Tidak pernah berjalan-jalan dengan keluargamu?” selidik Dea.

“Tidak,” Ben menggeleng. “Orang tuaku lebih suka diam di rumah dan aku tidak punya teman selain kakak dan adikku.”

“Kasihan sekali kamu. Apakah hanya kamu yang berbulu ungu di rumah?”

“Iya,” balas Ben malu-malu.

“Apa mereka memandangmu dan memperlakukanmu dengan aneh karena kamu berbeda?”

“Tentu saja tidak, mereka ‘kan keluargaku,” sanggah Ben.

“Nah, kalau mereka saja tidak heran sama kamu, mengapa kamu keheranan melihat kami? Kami juga bebek walaupun bulu kami tidak berwarna hitam atau cokelat seperti bebek lainnya,” tukas Deo. Sambil berbicara dia melompat-lompat kecil dan mematuk-matuk tanah.

“Datanglah ke rumah kami pada akhir pekan ini,” undang Dea. “Kamu bisa bertemu bebek-bebek lain dengan bulu berwarna-warni yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Sepupu-sepupu kami ada yang berbulu biru tua, lho!"

“Tidak apa-apa kalau aku datang?”

“Tentu saja tidak apa-apa; kami senang sekali mendapat teman baru. Tidak masalah warna bulu kita berbeda, kita sama-sama bebek dan kita teman sekelas," kata Deo sambil tersenyum ramah.

Ben cepat-cepat menerima undangan itu. Di belakangnya Ibu Swan meniup peluit untuk menyuruh para bebek dan binatang yang lain memasuki kelas. Hatinya senang karena mendapat teman-teman baru pada hari pertamanya bersekolah. Di mata Ben, dunia jadi terlihat lebih luas dan lebih beragam dibandingkan di rumah.

Ben tiba-tiba teringat sesuatu; Andre yang sedari kecil suka mengolok-olok bulu Ben yang berwarna ungu berhenti mempersoalkan hal itu begitu dia mulai bersekolah. Mungkin karena di sekolah Andre pun bertemu dengan bebek-bebek dengan segala macam warna, bukan hanya ungu dan kuning seperti yang dia temui di rumah. Pikirannya menjadi terbuka dan dia pun berhenti mengucilkan Ben.

Untuk pertama kalinya sejak bangun pagi ini, Ben tidak lagi merasa cemas. Dia sangat gembira karena dia telah bersekolah.

* * *

Kawan, apa kira-kira pesan moral yang kamu dapatkan dari cerita di atas? Bagikan di kolom komentar ya, terima kasih.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun