Mohon tunggu...
RifqiNuril Huda
RifqiNuril Huda Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Hukum, Ketua Forum Karang Taruna Kec. Srono, Kab. Banyuwangi, President YOT Banyuwangi, Ketua Badan Eksekutif FH Univ. 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Direktur BUMDes "Surya Kebaman". Twitter : @nurilrifqi Ig :rifqinurilhuda

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Urgensi Implementasi Naskah Akademik Pembuatan Peraturan Desa Menuju Desa yang Partisipatif

14 April 2018   13:54 Diperbarui: 14 April 2018   14:13 1457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.google.com/search?q=naskah+akademik+peraturan+desa&client=firefox-b&tbm=isch&source=lnms&sa=X&ved=0ahUKEwi_ieqllrnaAhVFto8KHdJrBjAQ_AUICygC&biw=1366&bih=654&dpr=1#imgrc=TtCU4iHBgah7WM:


Rifqi Nuril Huda

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Untag 45' Banyuwangi

e-mail :rifqinhuda@gmail.com

            Desa dalam pengetian di Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri.[1] Dari Kata "desa" tersebut kemudia dalam bahasa jawa dipelintir menjadi kata "ndeso" untuk menyebut orang-orang atau penduduk yang berada di "udik"atau "pedalaman"  atau yang mempunyai sifat yang "kampong(an)".[2]

 Desa juga sebagai tempat dimana semua warga Negara Indonesia berkumpul secara alamiah dan berada dibatas-batas kewilayahan tertentu. Yang dimana desa sebagai entitas dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Selain dari pada itu desa juga sebagai tempat administrasi pertama dalam kehidupan bernegara, sebelum melakukan proses yang diatasnya. 

Dalam perkembangannya sebelum tahun 2014 konsep entitas dalam mewujudkan masyarakat desa yang modern tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai adat dan tradisi maupun budaya, pada saat itu masih menjadi problematika dan belum ada rumusan yang sifatnya mampu mengakomodir tujuan tersebut.

Sehingga dalam hal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat desa masih belum berjalan secara optimal. Dibuktikan dengan beberapa fakta sebelum tahun 2014 yang dimana pembangunan desa masih tidak tertata secara merata. Padahal, apabila melihat sejarah Negara Kesaturan Republik Indonesia desa adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan.

Sebagaimana pendapat Aristoteles[3] yang mengatakan bahwa Negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa, guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Secara logika bahwa Negara itu diawali dari manusia, manusia itu kemudian berkeluarga, dari keluarga menyatukan tujuan membentuk desa, desa-desa yang ditinggali keluarga kemudian membentuk kata Negara, dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan diri dari musuh.

 

            Desa-desa yang beragam diseluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam mengelola tata kuasa dan tata kelola atas penduduk, pranata lokal dan sumber daya ekonomi. Dengan demikian eksistensi desa dilihat dari berbagai perspektif baik secara epistimologis, sosiologis, antropologis, historis, ekonomis maupun yuridis-politis pada hakikatnya desa merupakan bentuk pemerintahan riil, demokratis, otonom, dengan kelengkapan tradisi, adat-istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar sangat kuat, serta relatif mandiri dari "campur tangan" entitas kekuasaan dari luar.[4]

Demi mewujudkan semua hal itu, supaya dapat terlindungi, Indonesia membentuk hierarki pemerintahan mulai dari Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Presiden, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, hingga Desa atau kelurahan yang dipimpin oleh Kepala desa atau Lurah.

Konsep hierarki ini memunculkan konsep salah satunya adalah konsep Pemerintahan Desa. Yang sejatinya merupakan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat di tingkat yang paling bawah (level terendah dalam hierarki sistem ketatanegaraan Republik Indonesia). Sehingga sekecil apapun pemerintahan desa tetap memiliki peran dan posisi yang strategis dalam pelayanan publik dan pemberdayaan terhadap masyatakat. Oleh sebab itu untuk dapat memberdayakan masyarakat dan menjalankan fungsi pelayanan, desa haruslah berdaya dan diberdayakan dalam sector apapun.[5]

Pemerintah di tingkat desa merupakan tatanan terkecil dari sebuah Negara, baik buruknya pemerintah di tingkat pusat juga ditentukan mulai dari pemerintah tingkat desa. Pemahaman tentang pemerintahan desa yang utuh diharapakan dapat menggerakkan perangkat desa dan Badan Permusyawartan Desa (BPD) yang utuh diharapkan dapat menggerakkan perangkat desa dan BPD untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Oleh sebab itu persoalan pokok pemerintahan desa sebetulnya terkait tiga hal utama, yaitu politik desa, kewenangan desa, dan anggaran desa. Ketiga persolan tersebut terbingkai dalam satu isu utama, yaitu isu otonomi desa.[6]

Pemerintah desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desa dimaknai sebagi kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemetintahan nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Di dalam pasal `1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Menjelaskan juga bahwa "pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia".[7]

Sehingga menjadi jelas bahwa Pemerintahan Desa adalah bentuk pelaksanan dari amanat konstitusi yang sifatnya penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat desa. Yang dimana sejak diundangkannya undang-undang tentang desa, gelontoran dana desa yang jumlahnya rata-rata 1.000.000.000 (satu miliar) adalah sebuah nominal yang tidak sedikit. Sehingga perlu adanya penyerapan dan pengawasan secara optimal dari berbagi elemen di masyarakat maupun pemerintahan. 

Untuk menyerap suatu anggaran yang sifatnya digelontorkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tentunya harus berpedoman pada peraturan yang berlaku. Pada kedudukan desa tentunya peraturan yang di keluarkan oleh pejabat desa baik kepala desa ataupun kepala desa bersama BPD adalah sebuah peraturan desa yang legal. 

Tetapi baru-baru ini menjadi pembahasan yang menarik setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang tidak lagi menempatkan Peraturan Desa dalam hierarki Peraturan perundang-undangan. Sebagaiman tertulis dalam pasal  7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-Undangan yang isinya yaitu:[8]

(1)     Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

 

a.  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c.  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.  Peraturan Pemerintah;

e.  Peraturan Presiden;

f.   Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Tetapi pada hal tidak adanya Peraturan Desa dalam hierarki perundang-undangan dapat dijawab pada ketentuan pasal selanjutnya yaitu pada pasal  8 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan yang isinya :[9]

(1)Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

 

(2)Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dari pasal 7 dan pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diatas menurut penulis perlu adanya pembahasan yang lebih dalam lagi. Tetapi dalam Peraturan Desa ada hal yang harus dicermati yaitu naskah akademik dalam pembentukan peraturan desa yang sering sekali tidak dilaksankan bahkan dilewati sebelum Peraturan Desa disahkan oleh Pemerintah Desa dan BPD.

Istilah Naskah Akademik mempunyai posisi penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan tingkat daerah maupun peraturan di tingkat desa). Di dalam Ilmu Peraturan Perundang-Undangan, Naskah Akademik merupakan prasyarat untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan. Naskah Akademik merupakan wujud konkrit dari partisipasi masyarakat dalam rangka pembentukan peratuan perundang-undangan (termasuk peraturana daerah maupun peraturan desa yang berbasis riset). Out-put konkrit dari keterlibatan masyarakat tersebut (Khususnya kalangan akademik) adalah dengan terbentuknya sebuah Naskah Akademik.[10]

 Dalam perkembangan Peraturan Perundang-Undangan, dasar hukum bagi partisipasi masyarakat lewat pembentukan Naskah Akademik mengalami dinamika dan perbaikan dengan munculnya aturan-aturan.

Pertama,dalam Pasal 1 angka 7 Perpres No. 68 Tahun 2005 menyebutkan "Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan Objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang".[11]

 Kedua, Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah "Pemrakarsa dalam menyusun rancangan undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang".[12]

Ketiga,Pasal 1 Ayat 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan "Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat".[13]

Kutipan dalam hukumonline.com,[14] Kewajiban menyusun naskah akademik didukung kalangan akademisi. Menurut Ni'matul Huda, pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, menyatakan pembuatan naskah akademik itu penting agar jelas tujuan membuat produk hukum dimaksud. "Naskah akademik akan membantu si pembuat peraturan itu untuk menemukan logika akademiknya. Sehingga jelas mengapa suatu masalah diatur demikian," Menurut Sonny, naskah akademik penting untuk jelas apa yang dimaksudkan si pembuat atau penyusun.

Namun dalam implementasi atau dalam ramah prakteknya keikutsertaan masyarakat dalam pembutan peraturan perundang-undang acapkali tidak dilibatkan secara penuh dan biasanya hanya selesei pada pihak-pihak yang berwenang. Sebaiknya, peran masyarakat atau partisipasi publik tidak hanya menjadi slogan dan tertuang didalam rumusan peraturan akan tetapi kemauan politik untuk membuat suatu produk hukum yang benar-benar mencerminkan nilai keadilan dalam kehidupan di masyarakat. Dalam hal ini bentuk apresiasi keterlibatan masyarakat wujud nyatanya adalah berupa penyusunan Naskah Akademik

Perspektif lain baik secara teoritis maupun sosiologis, Naskah Akademik diartikan sebagai konsepsi pengaturan suatu masalah (objek peraturan perundang-undangan), mengkaji dasar filosofis, dasar yuridis, dan dasar politis suatu masalah yang akan diatur sehingga mempunyai landasan pengaturan yang kuat. Dikaitkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pemebentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, salah satunya terdapat peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten (Peraturan Desa maupun Perdes) sebagai jenis peraturan perundang-undangan.[15]

Menurut Jimly Assidiqie Naskah Akademik sebagai suatu hasil kajian yang bersifat akademik, tentu naskah akademik sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yaitu: rasional, kritis, objektif, dan impersonal.[16] Sehingga mempersiapkan Naskah Akademik merupakan salah satu langkah penting dalam proses legislasi, karena Naskah Akademik berperan sebagai "quality control" yang sangat menentukan kualitas suatu produk hukum. Naskah Akademik memuat seluruh informasi yang diperlukan untuk mengetahui landasan pembuatan suatu undang-undang yang baru, termasuk tujuan dan isinya. Kemudian, Naskah Akademik merupakan potret ataupun peta tentang berbagai hal terkait dengan peraturan perundang-undangan yang hendak diterbitkan.[17]

Maka dari itu solusi untuk membuat suatu produk peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah Peraturan Desa yang bersifat partisipatif yaitu cara dengan menyertakan Naskah Akademik pada tahapan proses pembuatannya. Yang dimana Naskah Akademik adalah Kacamata Objektif dari kalangan akademisi berupa bentuk wujud dari pelaksanaan partisipasi masyarakat dengan tujuan supaya dana desa yang dikucurkan dari APBN rata-rata sejumlah Rp.1.000.000.000,-(satu miliar rupiah)dapat terserap dengan baik sejalan dengan Peraturan Desa yang partisipatif.

 

[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaa dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cet. VII, Jakarta, 1995. Hlm 226.

[2] Eko Endarmoko, Terasaurus Bahasa Indonsia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. II, Jakarta, 2007. Hlm 287.

[3] Aristoteles dalam Sri Soemantri Martosoewignjo, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Tarsito, Bandung, 1976. Hlm 3.

[4] Moh. Fadli, Jazim Hamidi, Mustafa Lutfhi, Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif, Universitas Brawijaya Press, Malang, 2011, Hlm. 5.

[5] Ibid.Hlm 7.

[6] IIbid.Hlm 7-8.

[7] Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

[8] Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

[9] Pasal 8 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

[10] Moh. Fadli, Jazim Hamidi, Mustafa Lutfhi, Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif,Op.Cit., Hlm. 38.

[11] Pasak 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005  tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

[12] Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

[13] Pasal 1 Ayat 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan.

[14]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d79e4c779bb0/rancangan-peraturan-harus-punya-naskah-akademik. Diakses Pada Tanggal 4 April 2018 Jam 00.15 WIB

[15] Moh. Fadli, Jazim Hamidi, Mustafa Lutfhi, Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif,Op.Cit., Hlm. 41.

[16] Jimly Assidiqie sebagai mana dikutip dalam Ibid.

[17] Ibid.Hlm 42.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun