Mohon tunggu...
Rifqi Akbar Athallah Lazuardi
Rifqi Akbar Athallah Lazuardi Mohon Tunggu... Freelancer

Seorang yang belajar menulis lewat artikel online

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Hampir Mirip dengan Jurnalis, Mengenal Jurnalisme Warga

12 Juli 2025   21:20 Diperbarui: 15 Juli 2025   12:39 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jurnalisme warga saat ini telah mengambil peranan penting dalam dunia jurnalistik. Masyarakat memiliki kuasa yang tinggi dalam mengakses dan menyampaiakan informasi. Audiens tidak lagi dianggap pasif dalam menerima informasi, melainkan aktif bahkan partisipatif dalam menyampaikan informasi. Hal ini membuat teori efek media massa, yang berasumsi bahwa media memiliki kuasa atas informasi, tidak lagi relevan. Dalam media massa, ada teori konstruksi sosial media massa, teori yang menjelaskan tentang bagaimana media mengonstruksi pesan. Istilah konstrukti sosial mulai diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku "The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge" (1996). Keduanya menggambarakan proses sosial melalui interaksi dan tindakan individu. Dijelaskan bahwa setiap individu yang berinteraksi akan secara terus menerus menciptakan suatu realitas yang dimilki bersama secara subjektif.

Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann menyatakan bahwa realitas sosial bukanlah sesuatu yang statis, melainkan hasil dari proses kreatif manusia yang dibentuk lewat kekuatan konstruksi sosial terhadap aspek sosial yang terdapat di sekitarnya. Mereka menekankan hubungan antara pemikiran manusia dengan konteks sosial tempat pemikiran itu muncul  yang terus berkembang dan menjadi lembaga. Pemikiran individu dipengaruhi oleh konteks sosial tempat individu tersebyt berada dan secara bersama-sama membentuk realitas. Kehidupan sosial dikonstruksi secara berkelanjutan, dengan membedakan antara realitas dan pengetahuan. Dalam teori konstruksi sosial, realitas dan pengetahuan saling terkait namun berbeda. Realitas dianggap sebagai fondasi bagi kehidupan sosial, sementara pengetahuan adalah cara kita memahami dan berinteraksi dengan realitas tersebut. Memahami perbedaan antara keduanya sangat penting untuk mengerti terkait agaimana realitas sosial dibentuk dan dipelihara. Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial yang terbentuk dari pengalaman individu yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Proses penciptaan sosial ini berlangsung melalui tiga tahap yang saling berkaitan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi (Santoso, 2017).

Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa eksternalisasi adalah proses di mana manusia mengekspresikan dirinya secara terus-menerus ke dalam dunia, baik secara fisik maupun mental. Tahap pertama ini dianggap sebagai bagian yang penting dalam interaksi antara individu dengan produk sosial yang ada dalam masyarakat (Alamsyah, 2017). Interaksi individu dengan pesan yang disajikan oleh media massa yang menyajikan informasi adalah langkah pertama dalam proses eksternalisasi ini. Opini publik sangat dipengaruhi oleh media arus utama dalam situasi ini. Pikiran, perasaan, dan perilaku masyarakat dapat dipengaruhi oleh informasi yang disajikan media, baik melalui berita, opini, maupun hiburan. Dengan kata lain, media tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga mempengaruhi cara kita memandang dunia.

Tahap eksternalisasi dapat ditemukan dalam praktik jurnalisme warga. Proses eksternalisasi dalam jurnalisme warga terjadi ketika individu atau kelompok mulai mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan informasi yang mereka peroleh melalui berbagai media yang ada, baik itu media massa maupun media sosial. Motivasi utama masyarakat dalam melakukan jurnalisme warga adalah keinginan untuk berbagi. Mereka cenderung membagikan aktivitas sehari-hari, mengunggah foto, video, dan memberikan komentar. Keberagaman media yang ada kini memudahkan masyarakat untuk menyebarkan informasi, sehingga praktik jurnalisme warga semakin berkembang. Banyak jurnalis warga yang melakukan pencarian informasi dipicu pemberitaan oleh media

Objektivasi adalah proses di mana interaksi sosial yang bersifat personal dan subjektif berubah menjadi sesuatu yang lebih objektif dan kolektif. Proses ini terjadi ketika produk sosial yang dihasilkan oleh individu menjadi bagian dari struktur sosial dan budaya yang lebih luas. Objektivasi melibatkan pengakuan kolektif terhadap keberadaan dan nilai produk sosial tersebut, dan seringkali terjadi melalui diskursus publik. Dengan kata lain, objektivasi adalah proses di mana ide-ide, nilai-nilai, dan praktik sosial menjadi begitu tertanam dalam masyarakat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Proses ini dapat terjadi melalui penyebaran opini tentang suatu produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus, tanpa memerlukan interaksi langsung antara individu dan pencipta produk sosial tersebut (Alamsyah, 2017).

Aktivitas jurnalisme warga terjadi secara berkala dengan jumlah yaang cukup konsisten. Orang-orang yang memposting konten di media sosial sebagai bagian dari jurnalisme warga telah melalui proses yang dikenal sebagai "pembiasaan" yang kemudian diformalkan. Penyebaran informasi menjadi sangat umum sehingga hampir semua orang melakukannya, menjadikannya sebuah kebiasaan dan bahkan kebutuhan. Karena itu, orang lebih cenderung mengunggah konten dalam format apa pun melalui media massa dan media sosial. Bahkan dalam kondisi saat ini telah dikenal istila FOMO yang berarti bahwa ketika suatu individu tidak turut mengunggah konten di media sosial akan merasakan ketakuan atas ketertinggal sebuah tren.

Proses di mana orang mengidentifikasikan diri dengan institusi sosial atau kelompok tempat mereka berada, yang menunjukkan bahwa orang adalah produk sampingan dari masyarakat, dikenal sebagai internalisasi. Melalui proses internalisasi ini, masyarakat dipandang sebagai sebuah realitas subjektif. Dengan demikian, internalisasi adalah cara individu memahami atau menafsirkan peristiwa objektif secara langsung, yang pada akhirnya mengungkapkan makna yang terkandung di balik peristiwa tersebut (Alamsyah, 2017). Tahap ini melihat bahwa individu telah melekat dengan lembaga atau dalam kata lain menjadi hal yang secara tidak langsug berkaitan dengan keseharian.

Ketika para pelaku jurnalisme warga terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan jurnalisme, proses internalisasi dapat terlihat. Warga dilihat sebagai anggota dari produk sosial karena memilki pemaknaan atas dirinya sendiri. Peristiwa sekitar yang disebarluaskan oleh warga merupakan bentuk dari pemakanaan bahwa membagikan informasi merupakan peran warga sebagai produk sosisal. Dorongan untuk melakukan sesuatu terhadap isu-isu yang terjadi di sekitarnya mendorong individu tersebut untuk terlibat dalam praktik jurnalisme warga. Dengan demikian, ia dapat berkontribusi langsung dalam penyebarluasan informasi dan pembentukan opini publik. Secara tidak langsung praktik jurnalisme warga telah menjadi aktivitas yang melembaga di keseharian individu.

Salah satu contoh yang warga menjadi sumber informasi yang utama adalah ketika peristiwa bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Dokumentasi berupa gambar maupun video amatair menjadi bahan media massa melihat banyak jurnalis yang kesulitan mendapatakan informasi karena kesulitan dalam mengakses lokasi. Masih banyak peristiwa peristiwa lainnya seperti pengeboman, kecelakaan, dan bencana lainnya yang diabadikan oleh warga sekitar lokasi dan menggunggahnya ke media sosial. Kenyataan bahwa konten ini diunggah menunjukkan bahwa publik sudah memilki kesadaran bahwa peristiwa merupakan informasi penting. Layaknya seorang jurnalis profesional, mereka seakan berkewajiban untuk memberitahukannya kepada publik.

Media baru, dengan keterhubungan, akses terbuka, interaktivitas, dan jangkauannya yang luas, memberdayakan siapa pun untuk terlibat, berbagi ide, dan menyebarkannya dengan mudah melalui berbagai format digital seperti teks, audio, gambar, dan video. Hal ini terjadi secara real-time, bebas, dan dengan biaya yang murah (Prajarto, 2018). Akibatnya, masyarakat tidak lagi hanya menjadi konsumen media, tetapi juga produsen aktif dari konten mereka sendiri, sebuah fenomena yang disebut (Jenkins, 2022) sebagai participatory culture. Pergeseran ini sayangnya menyebabkan maraknya produksi dan penyebaran hoaks, karena setiap orang dapat dengan mudah memproduksi dan menyebarkannya secara daring (Saifudin, 2020)

Media konvensional memanfaatkan media baru untuk memengaruhi opini publik. Namun, kecenderungan media konvensional yang berpihak pada kelompok tertentu mendorong masyarakat untuk menciptakan konten jurnalistik mereka sendiri. Jurnalisme warga ini, selain menjadi wadah ekspresi, juga menjadi peluang bisnis karena dapat menarik banyak penonton dan iklan. Sayangnya, jika konten yang dihasilkan terlalu provokatif dan tidak berdasar fakta, jurnalisme warga justru bisa menjadi sumber berita bohong atau hoaks (Kusuma, 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun