Dewasa ini sering dijumpai konten milik warga biasa berkeliaran di media massa. Sedangkan dulu, produksi berita hanya bisa dilakukan oleh jurnalis profesional. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang memberikan wadah bagi masyrakat untuk mengakses informasi dengan mudah. Kemudahan ini lantas menjadikan warga memiliki peran dalam memproduksi berita sendiri tanpa harus melalui jurnalis profesional yang terikat oleh media. Aktivitas mengumpulkan dan menyampaiakan informasi yang dilakukan oleh warga biasa disebut jurnalisme warga atau citizen journalism. Dalam (Subarkah et al., n.d.) Jurnalisme warga adalah sebuah aktivitas memproduksi dan menyebarluaskan informasi yang dilakuakn warga biasa dengan cara yang khas. Jenis jurnalisme warga disebut sebagai model jurnalisme yang mengakomodasi khalayak, termasuk masyarakat biasa yang bukan dari jurnalis profesional dan tidak terikat media, untuk turut terlibat dalam pemberitaan atas peristiwa apapun di berbagai media, termasuk media mainstream ataupun independen (Lasica, 2003).
Bila dikaji lebih jauh, praktik jurnalisme warga telah berkembang sejak dulu. Bahkan akarnya bisa dilihat sebelum jurnalisme profesional lahir. (Gillmor, 2006) Setelah dilihat ternyata ditemukan bahwa jurnalisme warga telah berakar sejak tahun 1700-an. Pada saat itu warga telah menuliskan dan menyebarluaskan pendapatnya melalui selembaran kertas. Intelektual antikolonial Inggris, Thomas Paine dan beberapa tokoh lainnya yang menulis pada Federalist Paper, essai yang berisikan pandangan terkait usulan terhadap pemerintahan saat itu, disebut sebagai warga pertama yang menyampaikan informasi di Amerika. Pepih Nugraha dalam (Subarkah et al., n.d.) mengatakan praktik warga dalam menyampaikan dan menyebarluaskan informasi dapat dilihat pada masa 100 SM. Saat itu Acta Diurna yang merupakan surat kabar harian pada masa kekaisaran Roma, biasanya diukir di atas batu atau logam dan dipajang di papan pesan di tempat umum, disebarkan dari mulut ke mulut oleh siapa saja. Secara tidak langsung telah terjadi proses penyebarluasan informasi oleh warga.
Pada 26 Desember 2004, peristiwa gempa bumi dan tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam terekam oleh seorang warga bernama Cut Putri. Video yang menunjukkan reaksi kaget sejumlah anggota keluarganya beberapa saat setelah gempa terjadi. Video yang sempat ditayangkan di Metro TV tersebut, masih dapat ditonton di Youtube hingga saat ini. Dokumentasi yang ditangkap oleh Cut Putri dan beberapa saksi mata lainnya tentang bencana yang melanda Indonesia tersebut, ternyata turut mendorong berkembangnya diskusi dan perdebatan tentang jurnalisme warga di seluruh dunia (Hajek & Stefanikova, 2014). Namun di Indonesia, jurnalisme warga justru dimulai melalui stasiun radio, bukan melalui situs internet atau stasiun TV. Salah stasiun yang mengawali jurnalisme warga adalah Elshinta (Kurniawan, 2007). Stasiun radio Elshinta mulai memberi kesempatan kepada pendengarnya untuk melaporkan berita pada tahun 2000, di mana penggunaan ponsel seluler yang semakin meluas mempermudah praktik jurnalisme warga. Stasiun Radio Elshinta bahkan berhasil mencatatkan jumlah reporter warganya mencapai 100.000 orang.
Konsep jurnalisme warga memiliki beragam istilah, termasuk civic journalism, participatory journalism, dan grassroot journalism (Gillmor, 2006). Istilah-istilah ini merujuk pada praktik di mana masyarakat umum secara aktif terlibat dalam proses pembuatan berita. Sejarah jurnalisme warga dapat dilihat kembali pada peristiwa-peristiwa besar seperti pembunuhan JFK dan kasus Rodney King, di mana rekaman video amatir berperan penting dalam mengungkap kebenaran. Munculnya jurnalisme warga juga didorong oleh keinginan untuk memberikan alternatif terhadap jurnalisme mainstream yang dianggap terlalu elitis, biasanya disebut sebagai alternavtive journalism (Atton, 2003). Berbagai istilah lain seperti democratic journalism, open-source journalism, dan street journalism juga sering digunakan untuk menggambarkan praktik serupa (Nugraha, 2012).
Dalam (Permana, n.d.) dijelaskan bahwa konsep jurnalisme warga berakar dari jurnalisme publik. Jurnalisme publik ini muncul sebagai respons terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap media dan politik di Amerika Serikat pada akhir 1980-an. Jurnalis profesional menciptakan jurnalisme publik sebagai kritik terhadap model jurnalisme yang terlalu berorientasi bisnis dan mengabaikan peran media dalam mewakili kepentingan publik. Meskipun demikian, jurnalisme publik menghadapi tantangan karena membutuhkan biaya operasional yang tinggi. Dari sinilah kemudian muncul jurnalisme warga, yang memungkinkan masyarakat umum untuk berbagi berita dan foto melalui platform digital seperti blog atau media online yang mendukung kontribusi dari masyarakat.
Menurut (Campbell, 2015) praktik jurnalisme warga dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu jurnalisme sebagai praktik kewarganegaraan dan jurnalisme untuk kewarganegaraan. Jurnalisme untuk kewarganegaraan lebih menekankan pada media yang berfungsi dalam menyediakan kebermanfaatan dan berpihak pada kepentingan publik melalui informasi yang disampaikan. Jurnalisme untuk kewarganegaraan lebih menekankan pada peran media sebagai penyedia informasi yang objektif dan netral. Sedangkan, jurnalisme sebagai kewarganegaraan mengacu pada pandangan bahwa jurnalisme adalah sarana bagi warga untuk mengakses informasi secara aktif. Berfokus pada peran aktif warga dalam memproduksi dan menyebarkan informasi, seringkali dengan perspektif yang lebih subjektif. Ini berarti warga memiliki peran partisipatif dalam memproduksi dan menyebarkan informasi. Di Indonesia, regulasi mengenai hal ini diatur dengan sangat memperhatikan bahwa pekerjaan pers tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, seperti tercantum dalam UU Pers No. 40/1999. Masyarakat berperan sebagai pengawas dan pelapor kinerja media serta dapat memberikan masukan kepada Dewan Pers untuk menjaga kualitas pers di Indonesia (pasal 17 ayat 2).
Seiring perkembangannya, pers mulai mendapat kritikan dari masyarakat karena terlalu fokus pada orientasi bisnis, terutama jika media dikuasai oleh segelintir orang. Terdapat potensi bahaya yang muncul apabila media massa berada di tangan sebagian kalangan saja. Hal ini dapat menyebabkan dampak negatif pada iklim demokrasi dan praktik jurnalisme itu sendiri. Dalam kenyataannya, jurnalisme profesional dalam konteks ini hanya fokus pada kebusukan kekuasaan politik, sementara pemilik modal dan pengiklan seringkali luput dari sorotan. Masalah yang melibatkan pemilik modal, termasuk afiliasi politik mereka, justru diabaikan. Bahkan, isi berita sering kali melaporkan secara umum tanpa adanya kedalaman informasi karena para jurnalis cenderung memilih informasi yang berasal dari pernyataan resmi dari pemerintah atau golongan pebisnis, seperti pemilik modal, sebagai berita yang dianggap lebih bernilai (Bagdikian, 2004).
McChesney menyatakan bahwa meskipun internet hadir, ia belum mampu memberikan solusi untuk masalah-masalah yang telah ada dalam dunia jurnalisme. Argumen tersebut semakin memperkuat pandangan skeptis bahwa internet, sejatinya, tidak serta-merta mampu membalikkan keadaan jurnalisme yang telah terbelenggu oleh berbagai persoalan struktural, seperti dominasi konglomerasi media. Dengan tingginya target berita yang ditetapkan oleh redaksi, banyak jurnalis yang enggan melakukan verifikasi terhadap berita yang mereka laporkan. Meskipun demikian, tidak semua hal yang berkaitan dengan internet bersifat negatif. McChesney juga mencatat bahwa internet membuka peluang bagi warga untuk menyampaikan informasi penting kepada publik melalui platform seperti blog, sebagai alternatif dari media konvensional. Upaya ini dapat dilihat sebagai bentuk kritik terhadap jurnalisme profesional di media profesional yang dianggap kurang memperhatikan kepentingan masyarakat. (McChesney, 2013).
Kemunculan jurnalisme warga sempat mendapat penolakan dari media arus utama yang beranggapan bahwa masyarakat biasa tidak dapat melaksanakan reportase seperti jurnalis profesional. Beberapa media mempertanyakan akurasi dan objektivitas berita yang dihasilkan oleh jurnalisme warga, serta meragukan kemampuannya dalam melakukan peliputan yang baik. Mereka berpendapat bahwa hanya jurnalis terlatih yang memahami etika media dalam peliputan. Sementara itu, jurnalis warga cenderung melaporkan berita berdasarkan pengetahuan dan gaya khas mereka sendiri. Ini berarti memungkin informasi tanpa sensor bahkan melanggar privasi. Hal ini menjadikan perdebatan di dalam dunia jurnalisme terutama sentimen jurnalis profesional akan kehadiran jurnalis warga.
Meski mendapat kritikan dari beberapa media besar, Jurnalisme warga mengalami pertumbuhan yang pesat. Dalam banyak peristiwa penting, informasi pertama yang didapatkan masyarakat seringkali berasal dari warga biasa yang melaporkan kejadian secara langsung. Jurnalisme warga merupakan bentuk khusus dari citizen media, di mana konten berita dihasilkan oleh masyarakat yang tidak berprofesi sebagai jurnalis. Seiring dengan meningkatnya penggunaan internet di Indoenesia, hal ini memengaruhi tren media di era digital sehingga jurnalisme warga semakin marak. Banyak warga yang menggali informasi bahkan lebih dalam dibandingkan jurnalis profesional, hal ini menjadi kelebihan jurnalisme warga karena jurnalis profesional terkadang terhalang kode etik dalam menjalankan kerjanya.