Selangkah meniru Davos, ya tinggal dibuat saja berbagai fasilitas kemoderan yang terkait MICE itu. Berbagai Gedung pertemuan hotel yang modern, tetapi dengan arsitektur khas Toba. Ukiran Batak, Gorga, bisa menjadi andalan. Belum lagi berbagai langgam arsitektur dari berbagai suku Batak yang bisa diolah oleh para arsitektur muda setempat dan nasional yang kemudian mengolahnya secara modern dan milenial banget. Skill pemandu dan mereka yang bersentuhan dengan wisatawan kemudian ditingkatkan, dengan kunci adat istiadat luhung Batak. Dan tentu saja keniscayaan modern, sinyal kecepatan internet yang berkelas dunia.
Lalu kekayaan berupa sejarah letusan Toba itu bagaimana menjualnya?
Mueseum. Ya. Sebuah museum. Yang monumental. Canggih. Modern. Dengan berbagai kearifan local mengadaptasi berbagai budaya local, Heritage of Toba. Sebuah musium yang bercerita. Baik itu berupa museum berupa gedung, ataupun musium luar ruang atau taman luas.
Memang sih, ketertarikan orang Indonesia terhadap museum sangat rendah. Berkebalikan dengan ketertarikan wisatawan luar negeri. Museum sekelas Louvre, tate Gallery atau Gugenheim menjadi daya tarik wisata. Saya bayangkan sebuah Kawasan dengan julukan Museum Megacollosal Toba dengan konsep seperti Zayed National Museum di Abu Dhabi, dibangun secara sangat menarik, dengan mengambil bentuk Toba yang sedang meletus dahsyat sebagai focal point. Museum yang menggabungkan display dalam ruang dan ekshibisi luar ruang dengan latar belakang pemandangan Toba rasanya akan menjadi suguhan monumental terhadap wisatawan asing yang bekunjung.
Akan menarik juga jika dibuat sebuah memorial park. Sebut saja "Toba Catasthrope Memorial Park". Pajanglah berbagai hasil produk seni instalasi berskala besar modern di taman yang luas, asri nan menawan. Pemisalan yang paling gampang -- setelah gugling -- buat taman sangat luas. Ide seperti Yisabu Dokdo Memorial Park bolehlah diambil sarinya. Bangunannya dan tata letaknya mengikuti kaidah arsitektur local Toba. Kalau perlu mengadaptasi legenda Toba yang menikahi puteri perwujudan ikan mas dan anaknya Samosir. Lalu buat instalasi super besar mewakili letusan Toba. Sertakan instalasi lebih kecil sebagai perbandingan letusan-letusan supervulcano lainnya di dunia. Tambahkan aksen-aksen instalasi kecil yang memperlihatkan perbandingan berbagai factor, seperti perbandingan energi ledakannya. Mantap kayaknya.
Satu hal lagi, semuanya akan makin optimal jika mengangkat juga hal lainnya, berupa Budaya dan Kesenian. Dan di sinilah saya pikir, bolehlah kita copy ide dari destinasi yang lebih dulu terkenal. Â Bali.
Pesta Kesenian Bali eh Pesta Kesenian Batak
Waktu iseng gugling mencari informasi apakah Batak memiliki kegiatan pesta kesenian tahunan, yang muncul biasanya Pesta Kesenian Bali. Iya sih, Pesta Kesenian Bali sudah hits dan begitu terkenal. Nah, saya sih berpikir akan sangat bagus jika ada juga Pesta Kesenian Batak. Batak kan memiliki banyak budaya yang terkadang belum muncul ke permukaan. Bahkan, masayarakat awam lumayan kaget jika sadar bahwa Batak pun punya berbagai suku, tidak hanya satu, dengan bahasanya masing-masing. Nah tentunya, kebudayaan dan kesenian yang beragam ini akan sangat menarik jika dikemas secara professional dalam bentuk pesta kesenian. Seperti Pesta Kesenian Bali. Ya mirip Bali, Pesta Kesenian Batak pun nantinya bisa menyajikan kebudayaan dan kesenian dari daerah lain. Dan jika itu dilakukan untuk sebuah event dunia, saya pikir efeknya akan dahsyat.