Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Ja Limbat

24 Agustus 2019   09:40 Diperbarui: 24 Agustus 2019   09:58 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Baca juga : 1,2,3,4,5

Bukan main senangnya Ja Limbat karena diajak ayahnya ke kota Deli (pen; Medan). Hampir seluruh kawannya di Lopo Sapengkek (pen; lepau sebaya) mengantar mereka ke rumah makan Selamat, tempat biasa bis ALS menunggu penumpang.Wak Midah, sengaja memberi lima bungkus alame (pen; dodol) duren sebagai oleh-oleh ke Deli. 

Tak tanggung-tanggung, Mizan memberikan tembakau dan daun nipah bekal Ja Sulaiman biar mulutnya tak pahit. Akan halnya Edy, gulai ikan mas dari hotel Nagara pula buah tangannya. Yang lain pun demikian. 

"Kami kayak diantar mau berangkat haji saja," seloroh Ja Limbat. Padahal rencana di Deli, hanya seminggu, mengadiri pesta pernikahan anak kawan dekat Ja Sulaiman.

"Jangan lupa kau bawa tanah dari Deli sebagai oleh-oleh. Boleh pula ada panggilan ke Deli untukku berjualan tembakau."Mizan tertawa.

"Bukan kau minta dibawakan air laut dari Pantai Cermin? Kau ingin melihat air berkelahi, kan?"Laut yang berkelahi itu pernah diceritakan Ja Limbat di Lopo Sapangkek.Semua orang tertawa. Laut berkelahi itu maksud Ja Limbat adalah ombak.

Ketika Ja Limbat akhirnya ditelan bis besar itu, semua kawannya melambai seolah melepas kekasih pergi ke negeri jauh. Ja Sulaiman menggeleng-geleng, ketika melihat Ja Limbat mulai mual.

 "Tidur saja, Ja Limbat. Bis baru berjalan, kau sudah mual," katanya sambil mengangsurkan kantong plastik.Tapi, ketika sopir memutar kaset lagu Mandailing, hilang pula mual Ja Limbat. Dia bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti lagu itu.Pintar juga sopir itu mengobati perut mual Ja Limbat.

Taklah sampai lima belas jam, setelah melewati jalan yang macet karena berlobang, dan ada truck tronton besar terpinggir, tibalah mereka di Deli. Besarnya Deli itu membuat Ja Limbat beberapa kali berdecak kagum. 

Dia permisi kepada Ja Sulaiman, "Lama betul jemputan kita, membuat perutku lapar. Aku mau ke rumah makan itu, Yah? Wah, besar rumah makan itu. Kalah hotel Nagara si Edy."

"Kau ini ada-ada saja! Mahal makanan di situ. Nanti saja di rumah teman ayah." Ja Sulaiman menyuruh anaknya bersabar.Tapi, Ja Limbat menolak. Dia setengah berlari menyeberang jalan. Ada juga dia duit pemberian Wak Midah, sebagai upah menjual duren di pasar Kotanopan.

Ja Limbat pun mengendus-endus harum gulai di etalase. Pelayan mengangguk dan tersenyum "Mau makan apa, Pak? Silahkan duduk!"

Ja Limbat melihat rendang daging dan sambal udang. Dia bertanya berapa harganya. Mendengar harganya yang mahal, dia pindah ke yang lain. Tetap saja harganya mahal. 

Dia akhirnya menunjuk kerupuk berwarna merah. "Itu gratis, Pak," jawab pelayan itu. Ja Limbat kemudian menunjuk sambal cabe hijau. "Itu juga gratis." Pelayan itu sepertinya mulai kesal.

"Bailah. Aku mau sepiring nasi. Kerupuk itu dan sambal." Ja Limbat duduk di meja sudut. Pelayan itu hanya menggeleng-geleng. Ketika dia mengantar hidangan kepada Ja Limbat, tak lupa dia mengangsurkan daftar menu berbagai minuman yang sangat menggoda, tapi menggoda juga untuk mengosongkan kantong celana.

"Mahal-mahal sekali," sungut Ja Limbat. "Air putih gratis juga, kan?" Dia melirik pelayan yang langsung mengangguk malas. "Nah, bawakan saja aku air putih!" Rumah makan itu dibuatnya seperti di Lopo Sapangkek. Sebelah kaki kanannya naik ke atas bangku. Dia tak hirau tatapan orang-orang yang merasa geli.

Puas makan, dan matanya terang, ingin juga dia segelas teh manis. Dibacanya daftar menu. Teh manis panas lima ratus rupiah, teh manis dingin seribu lima ratus rupiah. "Ah, teh manis panas saja. Ke sini, bawakan aku teh manis panas," teriak Ja Limbat kepada pelayan.

Pelayan yang kebetulan sedang membawa segelas teh manis panas, entah untuk siapa, buru-buru membawanya ke depan Ja Limbat. Bukan apa-apa, kalau tak dilayani cepat-cepat, pelayan takut Ja Limbat akan membuat keributan. "Ini, Pak!"

Segelas teh manis yang masih mengebul itu, langsung dipegang Ja Limbat. Dipikirnya, "Kalau teh manis dingin, aku harus bayar seribu lima ratus. Baiklah aku minum saja teh manis ini sebelum dingin." Diminumnya teh manis panas itu, sehingga tenggorokannya panas. Mulutnya seperti disiram api. Pelayan sampai berdecak kagum melihat Ja Limbat. Semakin takutlah dia melihat kawan kita yang satu ini.

"Hebat benar bapak ini. Tahan minum teh manis yang masih panas. Ada ilmu kebal ya, Pak?" Pelayan itu langsung pergi karena dipanggil seorang pelanggan.

"Ilmu kebal kepala kau. Kau pikir aku bodoh. Rugi aku seribu kalau sampai teh manis itu dingin. Kau yang untung, aku yang buntung," sungut Ja Limbat. 

Mungkin karena minum teh manis panas-panas, dan makan yang pedas-pedas, kontan pula perut Ja Limbat mules. Ada panggilan alam rupanya. Tapi, Ja Limbat bingung menanyakan tempat buang air besar. 

Untunglah, dia tahu pertanyaannya. Ketika seorang pelayan melintas, dia langsung bertanya. "Sini dulu!" katanya agar pelayan itu mendekat. Lalu, Ja Limbat bertanya agak pelan. "Di mana tempat pertean (pen; buang air besar)?"

"Oh, di atas meja, Pak." Pelayan bingung mendengar pertanyaan kawan kita ini. Dipikir pelayan maksud Ja Limbat adalah pertehan atau tempat minum teh. Ja Limbat juga lebih bingung. Bagaimana mungkin tempat buang air besar di atas meja. Sembarangan saja!

Ja Limbat bertanya pula ke pelayan lain,"Sini dulu! Di mana di sini tempat miting (pen; buang air besar). Pelayan berpikir, maksud Ja Limbat adalah ruang pertemuan.

"Oh, nanti lurus ke belakang, belok kanan, terus kiri, nah...disituh," jawab pelayan. Mantap, dalam hati Ja Limbat. Melesat pula dia ke belakang. Dia terkejut, tempat buang air besar sampai segede gaban. Di atas pintu tertulis kalimat "Ruang Meeting".

Ja Limbat menggaruk-garuk kepala yang memang gatal. Seorang satpam yang melihat dia kebingungan, berkata, "Oh, maaf, Pak. Bapak dari PT. Barus Kamper, ya? Rapatnya baru diadakan besok. Bapak lupa kalau hari ini Minggu?"

Matilah kawan satu ini. Perutnya semakin melilit. Beruntung Ja Sulaiman melihat dia. "Ah, kau di sini rupanya. Ayo, penjemput sudah datang. Maca mana kau ini, sudah ditunggu dari tadi."

"Alah Makjang, gimana, nih. Aku mau miting?" Merah sudah muka Ja Limbat.

"Kau kantongi batu saja. Nanti di rumah kawanku, baru kau buang hajatmu itu." Ja Sulaiman kelihatan kesal. Matilah kawan kita satu ini. Tahankan....

Note : (Cerita Mandailing) diceritakan kembali oleh penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun