Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu VI

5 Agustus 2019   12:56 Diperbarui: 9 September 2019   15:09 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita sebelumnya : 1, 2, 3, 4, 5

Baca juga : Ayah Biologis

Panggil Aku Leo

-6-

Di sebuah ruangan apartemen berukuran lima kali empat meter, seorang lelaki bertubuh sedang, tengah bersandar di bingkai jendela, menatap jauh ke luar sana. Kota Jakarta terlihat begitu riuh. Semua bergerak, membangun seperti tak pernah tidur.  Suatu daerah di Sumatera, tempat kenangan pahit yang mematri hatinya menjadi lebih temperamen sekarang ini, sekilas mengganggu ingatannya. Dia buru-buru membuang jauh-jauh kenangan itu. Dia memilih duduk di kursi beroda,  di belakang meja berwarna coklat. Dia menatap langit-langit ruangan. Menerawang.

Betapa perjalanan waktu telah membuatnya berubah seratus delapan puluh derajat. Tiga tahun lalu dia hanya kecoak hina. Perkenalannya dengan orang-orang dari dunia hitam, telah memaksanya meniti karir dengan megap-megap. Sesungguhnya tak sampai megap-megap sangat. Dia adalah orang yang beruntung. Begitu cepat kareirnya menanjak, dan sekarang dia menjadi tangan kanan seorang yang berpengaruh dalam bidang kriminalitas di wilayah Jakarta maupun beberapa kota besar di Pulau Jawa.


Dia mengalami pahit getirnya pertarungan hidup. Menjadi pencopet, penodong, penjambret, pemalak. Berulang-ulang dihajar massa. Babak belur. Keluar-masuk bui, tapi membuatnya semakin kuat. Tubuh ringkihnya berangsur gemuk-padat, berotot, seiring keteraturan menu makanannya yang bergizi dan lumayan berkelas.

Dan sekarang dia tak lagi menjadi kecoak. Dia bukan lagi seorang lelaki yang hidup di pasar-pasar, di terminal-terminal, hanya mengandalkan kekuatan tubuh dan suara yang besar. Dia sekarang lebih fokus mempergunakan mulut yang halus, tapi sangat berbisa. Dia sekarang lebih banyak mempergunakan otak, menyusun taktik, menyamar, menghindari petugas keamanan sekaliber kapten ke atas.

Dia tinggal menerima telepon dari para produsen. Menunggu dengan sabar kerja anak buahnya. Kemudian barang-barang menjejal di sebuah gudang rahasia. Berbagai macam namanya. Ganja, heroin, sabu-sabu, morfin. Tak hanya dari daerah-daerah tertentu yang memasoknya, juga dari negara-negara tetangga hingga dari negara orang kulit putih, oriental maupun hitam. Suatu kemajuan yang cukup pesat. Entah ilmu apa yang dipergunakan lelaki itu hingga dia melejit menjadi orang hebat di perdagangan obat-obat terlarang.

(Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun