Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deru Debu III

26 Februari 2019   14:24 Diperbarui: 26 Februari 2019   14:48 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Cerita Sebelumnya Bagian I)

(Cerita Sebelumnya Bagian II )

Tersesat

-3-

Antrian bergerak seperti siput. Sekian jam berselang, truk sudah berjalan di atas aspal menuju kota Jakarta. Sekitar satu kilometeran menuju sebuah pintu tol, mereka dihambat antrian panjang. Kabar yang berhembus dari depan, ada truk box bertabrakan dengan sedan. Mungkin butuh waktu lama hingga jalan kembali lancar.

"Ada terus masalah!" keluh Lobe. "Tubuhku sudah pegal ingin dipijat."

"Kau ini, Be, be! Sabar saja dulu. Kau gantikanlah aku menyetir truk ini! Aku juga capek." Sujak pindah ke jok belakang. Lobe mengumpat. Namun dia tetap mengambil posisi di belakang kemudi.

"Masih lamakah jalan yang macet ini, Kyai?" Kecik mengusap wajahnya yang mulai legam dipanggang matahari.

"Mungkin sampai beberapa jam lagi!" gerutu Lobe sambil memukul kemudi.

"Sabar saja!" Kyai mengusap lengan anak di sebelahnya.

Dua jam lebih, tak ada tanda-tanda antrian panjang bakalan bergerak. Perut mereka mulai keroncongan. Dan bukan persoalan mudah mendapatkan warung makan, apalagi yang namanya restoran. Rumah-rumah penduduk lumayan jauh dari jalan tol.

"Kau lihat rumah yang bercat kuning itu, Kecik?" Sujak merogoh kantong celananya. "Dulu aku pernah makan di situ. Tepatnya di sebelah rumah itu ada warung makan. Biarpan tak berlauk lezat, namun bisalah membantu mengenyangkan perut yang keroncongan ini. Belilah empat bungkus. Lauk apa saja, terserah."

"Tapi bagaimana kalau Kecik nyasar?" Kyai protes.

"Kau ingatlah baik-baik cat truk ini. Kau ingat nomor platnya. Paham? Apa kau takut ke sana?" Sujak seolah mengejek.

Anak itu tak mau ditantang, apalagi dengan nada seperti mengejek. Dia lekas mengambil uang di genggaman Sujak, dan turun dari kabin truk. Pagar pembatas jalan tol dengan rimbun perdu di seberangnya, dilompati anak itu. Kemudian dia menuruni tebing yang lumayan curam.

Dia menatap ke depan. Ternyata taksirannya melenceng. Tadi, dia berpikir rumah bercat kuning itu dekat-dekat saja. Ternyata sangat jauh. Butuh lima menit baru dia tiba di sana, lalu menelan kecewa. Seorang lelaki seumuran Boy, duduk di bale-bale depan rumah bercat kuning itu. Tak ada warung di sebelahnya seperti yang diceritakan Sujak.

"Pak, warung makan yang di sebelah rumah ini pindah ke mana?"

Lelaki itu melongo. "Warung makan? Ah, lo mengada-ada! Gua kagak tau. Ada sih warung makan, tapi jauh sini."

"Di mana, Pak?"

"Noh, di pinggir jalan kota."

"Lewat mana?"

"Ikuti saja lorong di sebelah kiri ini. Nanti ketemu deh!"

"Terima kasih, Pak!"

Kecik hampir memutuskan balik arah menuju truk, dan mengatakan warung makan tak ada. Tapi itu artinya, dia tak memiliki kecakapan apa-apa. Tak ada sumbangsih yang berarti darinya sejak mereka berangkat dari kampung. Kecuali sekadar mencari-cari dahan atau semak menjadi penanda truk mereka ketika sedang pecah ban. Itu pun tak berhasil dia lakukan. Nanti apa tanggapan Sujak dan Lobe? Meskipun mereka tak marah, yang pasti suara sumbang akan memenuhi lobang telinganya sepanjang jalan.

Kecik memutuskan melewati lorong itu. Semakin masuk ke dalam, semakin pula dia bingung melihat lorong yang mengular dan berliku. Ternyata begitu banyak persimpangan. Dia terpaksa mengikuti kata hati mau melangkah ke mana. Saat berhenti di dekat gardu hansip, dia kembali berniat balik arah menuju truk. Hanya saja dia tak tahu lagi, lorong mana yang harus dia tempuh. Seorang perempuan yang melintas dan sedang menggendong anaknya, menimbulkan harapan baru di hati Kecik.

"Bu, jalan besar di mana?"

"Maksud lo jalan besar mana? Di sini banyak jalan besar. Kalau kagak ada namanya, gua juga bingung."

"Yang banyak mobilnya!"

"Di sini banyak mobil! Di jalan sana juga banyak!"

"Yang banyak truk dari luar kota!"

"Di mana-mana banyak truk dari luar kota. Lo tadi jalan dari arah mana?"

"Tak tahu!"

"Huh, sudahlah!" Perempuan itu pergi.

Kyai Ali mulai blingsatan menunggu Kecik. Pertama-tama dia tak terlalu cemas ketika anak itu keluar dari kabin truk. Setengah jam berselang, barulah dia cemas. Dia menyalahkan Sujak karena tega menyuruh Kecik yang buta Jakarta untuk mencari makanan di warung yang entah ada atau tidak.

"Pokoknya aku yakin ada! Mungkin saja banyak pembeli yang antri."

"Bagaimana kalau dia tak menemukan warung makan itu, lalu mencari-cari dan akhirnya tersesat?"

"Ah, dia kan bisa pulang ke mari kalau merasa gagal mendapatkan warung makan itu."  Sujak membela diri. "Sudah! Jangan risaulah!"

"Jangan risau bagaimana, Bang? Sudah  setengah jam ini."

"Iyakah?" Sujak melihat ke arah rumah bercat kuning itu. Dia tiba-tiba risau juga. "Kau susul saja dia, Be! Kalau makanan  tak ada di warung itu, balik saja ke mari. Biarlah puasa dulu sebentar."

Lobe keluar menerabas panas yang menyengat. Kyai hendak menyusul, tapi tangan gempal Sujak menahan tubuhnya.

"Aku takut ada apa-apa dengan anak itu. Bagaimana aku menjelaskannya kepada kedua orangtuanya?"

Sujak menenangkan lelaki di sebelahnya dengan tatap mata teduh. "Sekali lagi jangan risau. Lagi pula untuk anak seukuran dia, dia sudah cukup cerdas untuk pulang ke mari. Termasuk cukup cerdas bila tersesat."

Kyai meraup rambut dan mengacak-acaknya.

Kecik tak tahu harus berbuat apa lagi. Orang-orang yang berada di sekelilingya seolah tak melihat keberadaan si malang ini. Mereka berjalan dengan tatap lurus ke depan. Mereka duduk atau berdiri di depan rumah masing-masing, sama-sama sibuk dengan urusan atau pikiran sendiri.

Kecik memberanikan diri kembali menemui kawan-kawannya di truk. Tak perduli meski lorong di depan itu penuh simpangan. Yang pasti dia hanya berharap bantuan Tuhan. Dia melangkah, dan Tuhan yang mengarahkan kakinya.

Dia bergegas berjalan. Semakin bergegas, dia merasakan jarak yang ditempuh lebih jauh dari jarak yang dilaluinya ketika memasuki lorong itu. Bahkan dia merasa aneh ketika sekali-dua menemui jalan buntu. Dia memilih berbelok arah sambil sesekali tersenyum kepada orang-orang yang menatapnya curiga.

Tuhan  ternyata berbaik hati kepadanya. Setelah lebih seperempat jam, dia berhasil menemukan jalan besar. Sayang sekali, jalan besar itu lebih lebar dan padat dari jalan besar tempat truk tadi terjebak  macet.

Kecik duduk di sebuah halte bis sekadar membuang capek. Ada beberapa anak yang lebih kecil darinya sedang bermain di situ. Seorang berambut pirang, berkaos bolong-bolong, tak bersendal jepit dan ingusan. Kondisi anak itu sama seperti ketiga temannya. Bedanya mereka tak ingusan.

Kecik mencoba menyapa ramah anak-anak itu. Tapi seolah melihat orang gila, mereka lari tunggang langgang. Setelah berjarak sekian puluh langkah, barulah anak-anak itu berhenti. Mereka menghadiahi Kecik dengan lidah dijulur-julur. Puas itu, mereka menungging dan memukul-mukul pantat.

"Anak-anak kurang ajar!" gerutu Kecik. Dia meluruskan kaki. Tak sengaja kakinya mengganjal langkah seseorang yang lebih besar dan tegap darinya. Usia orang itu mungkin tujuh belas tahun. Hidungnya ber-anting. Di atas sikunya tato gambar hati terlihat garang. Dia menyeringai bersamaan dua kawannya menyusul di belakang.

 "Lo anak baru, ya? Berani masuk daerah sini?" Dia memegang krah baju Kecik. Kawannya terkakak-kakak. "Bayar upeti kalau mau aman!"

"Aku baru tiba dari Sumatra!" Kecik paling benci diancam siapa saja.  Maka, lekas dia berdiri. Saat mereka berhadap-hadapan, kening Kecik hanya sebatas dagu orang itu. Tapi Kecik tak takut. Dia sudah terlalu kebal karena sering dihajar Boy. Apalagi ini sekadar krah bajunya yang dipegang.

"Mau dari neraka sekalipun, gua kagak perduli! Lo mau melawan? Lo belum tau siapa John Peking?" Dia mendorong Kecik. Anak di depannya ternyata kokoh berdiri. Begitu John Peking hendak melayangkan pukulan, anak itu mendului dengan menonjok perutnya.

Hanya suara mengaduh terdengar, seiring robohnya John Peking. Dua kawannya langsung pucat. Mereka berlari tunggang-langgang. Si John kesal. Dia mengancam akan membalas perbuatan Kecik. Dia tertarih-tatih menjauhi tempat dia dipermalukan seorang anak yang tak sepantaran dengannya.

Kecik kembali duduk di halte. Anak ingusan yang tadi mengejeknya, datang lagi tanpa kawan-kawannya. Dia duduk di sebelah Kecik. Diraba-rabanya lengan yang kurus, tapi kejal itu. Dia menatap takjub ke arah Kecik.

"Abang memang jagoan! Abang bisa mengalahkan preman seperti Bang John," pujinya.

"Abang hanya membela diri." Kecik mengusap rambut anak itu. "Rumahmu di mana?"

"Tuh di dekat tikungan." Dia menunjuk dengan bibir yang monyong. Dia menarik tangan Kecik agar ikut ke rumahnya. Kecik tak bisa menolak. Lagi pula dia berharap menemukan seseorang yang perduli membantunya bertemu kembali dengan teman-temannya.

Mereka memasuki halaman sebuah rumah buruk berhalaman sempit, yang sangat kontras dengan rumah dan gedung-gedung menjulang di kiri-kanannya. Seorang lelaki ceking dengan wajah penuh totol-totol hitam, berdiri di pintu depan rumah sambil menatap lurus ke depan. Mulutnya kempat-kempot karena menghisap rokok. Asap membuar di sekujur wajahnya.

Anak yang bersama Kecik memperkenalkan diri. Namanya Muhammad. Tapi biasa dipanggil Mamat, atau Mat. Sementara lelaki ceking yang kelihatan sedikit angkuh itu adalah kakek si Mat. Namanya Musa. Seorang perempuan yang tiba-tiba keluar, dan menyenggol Musa, adalah ibu si Mat. Musa menggerutu, kemudian berjalan mendekati orang asing dan cucunya itu.

"Kek, ini Abang yang jagoan! Tadi dia bisa mengalahkan si John Peking." Mat tertawa kesenangan.

"Namamu siapa?" Musa mengajak orang asing itu duduk di bale-bale samping rumah. Mat berlari mendekati serombongan anak yang membawa layang-layang. Dia mengikuti mereka hingga hilang di sebuah lorong.

"Namaku Kecik, Kek!"

"Baru tiba di Jakarta, ya? Kau dari Sumatra?"

"Iya, Kek."

"Sumatra mana?"

"Lahat!"

Musa manggut-manggut. Dia meneriakkan dua cangkir kopi. Artinya, dia meminta siapa saja yang di dalam rumah menghidangkan dua cangkir kopi. "Orang Sumatra biasanya suka ngopi!" Dia memberikan penekanan. Kecik tersenyum Dia sama sekali tak menyukai rasa kopi yang pahit dan kerap membuat pening kepala. Tapi demi menghargai sambutan baik lelaki ubanan itu, dia melemparkan senyum termegah.

Bincang-bincang semakin mantap setelah kopi dan ubi goreng mengisi bale-bale. Hanya seicip-dua Kecik menghirup kopi yang lumayan panas itu. Dia lebih tertarik melahap ubi goreng karena sudah sekian jam perutnya menggelinjing. Dia teringat Kyai, Sujak dan Lobe. Dari teringat, cerita terurai kepada Musa tanpa diminta. Musa manggut-manggut dan jatuh kasihan. Sebagai sama-sama perantau---Musa berasal dari Mandailing Natal---dia melapangkan rumahnya menerima tubuh kecil seorang Kecik.

"Ah, jadi merepotkan, Kek!"

"Tak apa. Kalau tak kuajak tinggal di sini, kau mau tinggal di mana? Menggelandang?" Tawa Musa berderai. Kecik tersenyum malu-malu.

Senja merapat. Lampu-lampu jalan mulai menyambut malam. Lalu-lalang kendaraan berbagai rupa, toh tetap menyesaki jalan itu. Kini kecik dihadapkan kepada orang-orang baru yang tentu sangat asing baginya. Ada lima orang penghuni rumah itu. Musa, istrinya yang lebih senang dipanggil Ibu Musa ketimbang nenek, anak perempuan Musa yang kelihatan pendiam dan berbibir ceriwis, menantu Musa yang tak habis-habisnya mengumbar asap rokok kretek plat merah produksi salah satu perusahaan rokok besar di negeri ini, dan si ingusan alias Mat. Ditambah kehadiran Kecik, genaplah enam orang.

Selepas shalat maghrib yang memang jarang dikerjakan Kecik---juga shalat lainnya---mereka duduk menghadap tikar, bersila. Sebaskom nasi mengebul di tengah mereka. Daun ubi yang mirip bubur---biasa disebut daun ubi tumbuk---meriap-riapkan asap di sebelah Musa. Sebagai penggenap rasa, ikan asin bakar, jengkol mentah, juga cabe giling berbau segar. Musa menyebutnya sambal tuk-tuk.

"Mari kita makan!" Musa kelihatan bersemangat. "Ayo, Kecik!" Dia menegur anak yang kelihatan malu-malu itu. Padahal anak itu sebenarnya bukan malu. Dia hanya merasa asing melihat makanan di atas tikar, kecuali tentu nasi dan ikan asin. Di daerahnya, dia biasa makan nasi dengan pindang ikan patin atau tulang sapi, atau mungkin bersambal tempoyak---sambal dengan tambahan duren. Begitupun dia tak ingin menyinggung perasaan tuan rumah. Maka dia ikut meramaikan cap-cup kepedasan di ruangan sempit dan pengap itu.

Ternyata oh ternyata, rupanya dia merasakan makanan-makanan itu lumayan sedap. Dia malahan menambah nasi sekali, kemudian berselonjor di rusuk kamar. Istri, anak-menantu, dan cucu Musa beranjak pergi selepas bersantap yang mengenyangkan itu. Sementara Musa menemani tamu kecilnya.

"Sebenarnya apa tujuanmu ke mari? Mau mencari keluarga, kerja, atau sengaja melarikan diri dari orangtua?" Musa menatap mata Kecik dalam-dalam. Dia tak mau teman kecilnya itu berbohong.

"Aku memilih yang ketiga, sengaja melarikan diri dari orangtua. Ayahku seorang yang ganas dan pemberang. Aku tak mau disiksa terus. Maka kupilih mengikuti Kyai ke Jakarta, sekalian bekerja membantu tugas-tugas awak truk. Tapi mereka sekarang entah di mana, Kyai Ali, Sujak Pelor dan Lobe." Kecik menatap langit-langit  rumah. "Kami bepisah, dan aku tersesat." Matanya berkaca-kaca. Sekuat tenaga dia menahan air yang berusaha menjebol dam di kelopak matanya. Dan dia memang sanggup. Dia lelaki, harus kuat.

Musa semakin kasihan kepada anak di dekatnya. Sambil rebahan di atas tikar, dia bercerita tentang nasibnya. Musa sebenarnya seorang yang lahir dan besar di kampung kecil di Tapanuli Selatan---sekarang Mandailing Natal. Dia tak pernah berharap, apalagi memimpi-mimpikan ke kota besar bernama Jakarta. Baginya hidup di kampung sudah lebih dari cukup. Sawah-ladang ayahnya lapang. Bebukit yang mengelilingi kampungnya, juga menjadi keindahan yang sayang ditinggalkan. Juga Sungai Batang Gadis yang berkelak-kelok.

Namun setelah mengenal Tiur Simarmata, guru honor sekolah itu, mulailah kecipak pertengkaran terurai di rumahnya. Kerapkali ayah dan emak Musa mempermasalahkan agama Tiur. Memang tak masalah bila Musa dan Tiur sekadar berteman. Tapi mereka sudah saling jatuh cinta. Bahkan Musa berencana menikahi perempuan dari Porsea itu.

"Dia mau masuk Islam, Ayah, Emak!" Pertengkaran semakin meruncing.

"Kami tak perduli! Apa kau yakin dia tulus masuk Islam. Apa hanya karena ingin menikah denganmu?" Ayah berang.

Musa terdiam. Bukan berarti dia menuruti kehendak kedua orangtuanya. Malahan dia nekad membawa lari Tiur, sebelum usianya menginjak dua puluh empat tahun. Mereka menumpang bus malam, lalu pergi ke Jakarta. Mereka juga tak mau mempertaruhkan cinta untuk pulang ke rumah Tiur di Porsea. Orangtua perempuan itu pasti sama saja dengan sifat orangtua Musa. Keduanya pasti tak akan merestui hubungan Musa dan Tiur.

Hidup pun mengajari dua sejoli itu untuk membunuh malu. Mereka sempat mengemis di ibukota yang penuh gemerlap lampu. Namun seiring perjalanan waktu, kehidupan mereka merangkak naik. Musa berjualan asongan. Tiur yang gagal mengandalkan pengalamannya sebagai guru honor, akhirnya pasrah menjadi babu cuci-gosok di rumah orang kaya. Mungkin karena berhati dermawan, orang kaya itu memberikan mereka rumah sekadar bernaung, yang kemudian mereka tempati hingga sekarang.

Musa menguap. Matanya terpejam. Kecik rebahan juga tak jauh dari Musa. Dia menatap langit-langit rumah. Dia merasa sepi. Rindu kampung halaman seketika mengacau hatinya. Mungkin Liban, Amsari, Harun, Latief, Mat Di dan Ramon sedang asyik bermain kelereng di halaman Masjid Nurul Iman. Mereka pasti mencari-cari, merindukan teman yang hilang itu. Seperti Boy, akankah dia merindukan anak yang telah dianggapnya pembuat masalah?

"Pokoknya kita harus menyusul Kecik ke Jakarta!" Ratusan kilometer dari Jakarta, Boy tengah meradang di ambang pagar. Sudah genap kecemasan Boy karena anaknya tak mungkin pulang dalam waktu dekat. Dia mendapat kabar dari Mamot yang baru pulang dari Lampung, pelabukan Merak dan Bakauheini sedang tumplek-blek seperti ikan sarden di palka. Ombak laut tak bersahabat. Tingginya bisa mencapai tujuh meter.

"Memangnya Jakarta itu sempit? Jangankan berhasil menemukan Kecik, bisa-bisa kita menjadi gelandangan di sana. Apa kau mau?" Sejak anak mereka melarikan diri bersama Kyai Ali, bertambah besar pula kebencian Lila terhadap suaminya itu. Sementara si suami yang memang sudah dirundung penyesalan, hanya bisa mengatakan sudahlah atau tenanglah.

Bermalam-malam Boy selalu bermimpi didatangi mendiang istrinya. Bermacam-macam lagaknya, tapi selalu tak jauh dari sosok menyeramkan dengan tatapan setajam silet, kata-kata seruncing pedang. Dia menyalahkan Boy yang sangat kejam terhadap Kecik. Dia berjanji akan membuat sengsara suaminya itu, apabila kelak Kecik terbengkalai di Jakarta, atau bisa saja mati kelaparan atau dibunuh.

"Tapi setidak-tidaknya kita berusaha mencarinya."

"Tunggu saja sampai rombongan truk tiba. Semua akan selesai!"

"Tapi selesai pula harga dirimu dikata-katai orang sekampung. Ayah yang tak bertanggungjawablah, si kejam, brengsek..." Boy menjambak rambutnya seolah ingin seluruh yang tumbuh di kepalanya itu tercerabut dari akarnya. "Penyesalan memang selalu datang terlambat."

"Oke kalau kau ingin kita ke Jakarta. Tapi biayanya darimana?"

"Jual saja kalung emasmu." Boy seolah menodong Lila.

"Enak saja!"

"Tolonglah...."

"Huh!"

Kecik tersentak. Rupanya dia tertidur di atas tikar. Ruangan lumayan gelap. Dia mencoba menajamkan pandangan. Dan samar-samar dia menyadari Musa tak rebahan lagi di atas tikar. Ke mana kakek itu? 

Dari kisi-kisi jendela dia melihat cahaya lampu mobil bersaling-silang seolah pendar-pendar cahaya matahari yang menimpa permukaan sungai. Dia duduk dan beringsut menggapai pintu depan. Pintu itu tak dikunci rapat. Dia melihat sedikit cahaya dari celahnya.

Seorang lelaki sedang duduk di halaman sambil menatap bulan. Kecik menyusul, menutup pintu pelan-pelan kemudian duduk di dekat lelaki itu. Menatap bulan.

"Aku teringat kampung halaman. Meskipun orangtuaku sudah meninggal dan sanak-saudara tercerai-berai." Dia menghela napas berat. "Selalu saja ini terjadi setiap kali aku membincangkan tentang kampung halaman."

"Aku juga sedih, Kek." Kecik memeluk dua belah lututnya. Beberapa truk melintas. Dia merasa seperti melihat rombongannya dari kampung. Ah, mustahil dia bisa bertemu mereka di jagat yang luas ini.

"Truk-truk selalu maling jalan dari sini kalau malam. Ya, biar lebih cepat masuk ke kota." Dia menatap wajah kuyu anak itu. "Apakah kau ingin pulang ke kampungmu? Kalau kau memang ingin, biarlah aku memberikan ongkos. Besok kita ke Pulo Gadung sekalian aku berdagang asongan."

Kecik menggeleng. Dia malu melarikan diri dari rumah, kalau akhirnya harus kembali dan mengaku kalah. Dia memang memiliki rindu berbuntal. Tapi malu lebih kuat membunuh rindu itu. Biarlah kelak dia menjalani hidup di Jakarta setahannya. Bila tak sanggup, barulah pulang. Hanya saja dia ingin pulang setelah menjadi orang sukses. Pulang membawa kemegahan, bukan untuk dihina orang, termasuk oleh ayahnya yang brengsek itu.

"Aku akan ikut kakek ke terminal, bukan untuk pulang ke kampung. Melainkan bekerja, menjadi pedagang asongan."

"Kau sanggup?" Musa ingin melihat kesungguhan hati di mata anak itu.

"Sanggup!"

"Baiklah! Besok kau belajar dulu. Kalau sudah mahir berjualan, baru kubuatkan kau kotak asongan dan membelikanmu beberapa bungkus rokok, permen, tissue, juga parasut. Eh, kalau parasut tak usahlah." Wajah Musa memerah.

 "Parasut?"

"Sudahlah! Itu urusanku saja. Kelak kau akan mengerti juga. Sekarang kita tidur saja. Besok pagi-pagi langsung berangkat."

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun