Aku melirik sebentar. Dia perempuan berambut panjang sebahu. Berkulit putih dengan dada sedikit membusung. Ketika rambutnya dia kibaskan, aku membaui wangi asing nan menggoda. Bersyukur juga rasanya menjadi sopir bus, bila ada penumpang perempuan yang rela duduk di bangku cc.
Tak peduli dia cantik atau bukan, bekerja sebagai babu atau bukan, perempuan benar-benar atau pelacur, yang penting perempuan. P-e-r-e-m-p-u-a-n! Her mengatakan itu adalah rezeki nomplok. Bagi sopir yang sudah berkeluarga, apalagi masih bujangan.Â
Mulut pasti seperti mesin yang bisa mengeluarkan ribuan kata-kata tanpa merasa kehilangan ludah. Yakinlah, tetiba kau ibarat sastrawan.
Cerita beruntai-untai, bercampur bual-bualan juga cerita asrama. Jarak antara Medan dan Jakarta terasa sangat dekat, bahkan terlalu dekat apabila harus bergantian menyetir dengan sopir pengganti. Maka, untuk tak memendek-mendekkan waktu bersama perempuan itu, aku memulai aksi.
"Mau ke Jakarta?"
Dia menggeleng.
"Lampung?"
"Simpang Meo."
"Di mana itu?"
"Huh!"
Mungkin dia kesal. Aku membalas dengusannya sambil membisu. Her sudah terbangun. Matanya sangat terang karena melihat perempuan menggoda duduk di sebelahku. Saat aku menoleh ke arahnya, Her mengedipkan mata.