Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Halte

2 Agustus 2019   08:05 Diperbarui: 5 Agustus 2019   18:09 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:Pixabay

Selalu saja bus buru-buru melewati halte tersebut, ketika malam-malam sebenar pekat dan mungkin hujan turun rintik-rintik. Entah kenapa, ketakutan selalu menyungkup hati para sopir sejak sekian tahun lalu. 

Telah menjadi seibarat pantangan bila singgah di halte itu menaikkan penumpang, maka tubuh harus bertaruh dengan nasib yang celaka. Cerita dari mulut ke mulut, kejadian bermula ketika seorang perempuan gila yang bertubuh molek dan berwajah cantik, diperkosa ramai-ramai oleh begundal pasar, malam itu di halte yang sama. 

Anehnya, orang-orang yang melintas tak ada yang melerai. Hingga terkabar di keesokan harinya, si gila mati dengan mata melotot. Apa yang terjadi di malam-malam berikutnya? 

Seorang sopir bus sengaja berhenti dan menaikkan seorang perempuan yang menunggu di halte itu. Kabar selanjutnya, bus serta sopir mengalami celaka. 

Bus terjungkal ke trotoar satu kilometer dari halte. Sopirnya tewas mengenaskan. Sepuluh orang penumpang selamat dan menjadi saksi hidup yang mengalami trauma hingga sekarang.

Maka, ketika senja ini aku harus menggantikan bapak menyetir Bus Harum Wangi, petuah-petuah bertebaran dari mulut bapak, seolah sangat hati-hati melepasku pergi. Seolah dia takut anak tunggalnya tak akan kembali.

"Kau sudah siapkan SIM?"

"Siap!"

"Lengkap?"

"Lengkap dengan dompet, KTP, uang jalan dan sebungkus rokok. Dan sebotol plastik kopi."

"Kau harus hati-hati!" Nada suaranya berat. Dia terbungkuk-bungkuk meredam batuk yang datang tanpa permisi. "Kau ingat halte yang bapak ceritakan? Kau jangan berhenti di sana ketika malam sebenar-benar gelap dan dingin menusuk tulang. Tak peduli beberapa calon penumpang menunggumu di situ dengan wajah tak sabar. Tapi aku yakin, tak ada seorang pun yang berani berdiam di halte itu sekian detik pun," Dia memandang gerimis yang mulai liar memukul-mukul kaca nako jendela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun