Aku menciptakan ruang-ruang maya di kamar tak berpenghuni.
Seolah kau duduk di situ sambil menambal puzzle masa lalu.
Ingin sekali aku mengajakmu menikmati teh senja,
kau sibuk menghitung rama-rama; betapa singkatnya usia.
Tapi mimpi itu tak bisa aku rangkai. Bandul waktu telah memaksa kita
larut dalam irama yang sumbang, tentang hari tanpa uang
tentang mimpi-mimpi ingin terbang; ke mana pun kita ingin  mendarat.
Apakah kita lupa bahwa kekayaan itu tak mesti oleh uang?
Pelukanmu adalah harga yang bisa menguatkan gerak kaki mencari penghidupan.
Rengkuhan ini semoga tak bisa dicuri lelaki lain.
Tapi, pernahkah kita menebus semua itu selagi ada diskon besar-besaran?
Ketika sekarang harganya mahal, kita tak mungkin lagi mendapatkannya.
Karena kerut usia tak lagi bisa menghitung waktu.
Aku menciptakan ruang-ruang maya di kamar tak berpenghuni.
Seolah mereka duduk melingkari meja sambil menghitung puzzle yang tertinggal.
Ingin sekali aku mengajak mereka mengejar layang-layang.
Mencari belut dan menggumul lumpur sawah.
Harap mereka hari-hari makan enak sambil mengecap cerita saat gelap belum genap.
Mereka tersenyum; ayah jagoanku.
Apakah aku lupa bahwa kekayaan itu tak mesti oleh uang?
Anak-anak mempermainkan masa depan dalam lagu rancu.
Mereka adalah harga yang bisa menghitung bintang  ketika malam kelam.
Memintaku menggambar bulan; kapan kita ke sana?
Tapi aku menggamangkan harap itu oleh rutinitas kerja.
Aku menyerahkannya pada laju permainan, kokain, dan pencipta maya lainnya.
Mereka adalah penopang masa depan; pada tangkai mana akhirnya bertahan.
Dan  geraham masa mengerkahku diam-diam; betapa singkatnya usia, teman.
Plb, Juli2019