Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keterusterangan Menjaga Keutuhan Cintaku

16 Juli 2019   14:59 Diperbarui: 16 Juli 2019   15:16 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Takdir telah mempertemukanku dengan Edo (nama samaran) sekitar sepuluh tahun lalu. Pertemuan yang menurutku nyaris sempurna. Bagaimana dia adalah sosok lelaki yang memang kuidam-idamkan. Berbadan tinggi besar, dada bidang, rahang yang keras dan kulit kecoklatan. Istilah lazimnya "cowok macho". Terlebih-lebih dia sama sepertiku telah bekerja di perusahaan bonafide, dan berusia cukup matang untuk menikah.

Kami bertekad menjalani masa pacaran dengan cukup singkat. Tapi cerita miring teman-teman kerjaku tentang Edo, membuatku was-was. Memang dia bukan tipe cowok tak bertanggung jawab atau playboy misalnya. Tidak, sama sekali tidak! Hanya saja teman-teman kerjaku meramalkan hubunganku dan Edo akan kandas di tengah jalan. Karena ditinjau dari bintang kami. Aku berbintang Leo, dan Edo yang Taurus. Mereka hampir memastikan kami akan lebih sering bertengkar ketimbang akur. Kami kerap tak seide.

Tapi apalah arti ramalan bintang? Bagiku itu nonsense! Buatan manusia yang hanya menjadi bunga-bunga kepalsuan. Manusia lahir dan hidup sesuai dengan takdir dan perjuangan kerasnya. Maka, kuanggap angin lalu saja cerita miring tentang lelaki yang kudamba menjadi suamiku sehidup-semati itu.

Edo pun demikian. Cintanya kepadaku menggebu-gebu. Dia juga sudah merencanakan dalam waktu dekat akan melamarku. Lalu tak perlu menunggu berbilang bulan, kami akan menikah dengan pesta yang meriah.

Ah, kubayangkan menjadi ratu sehari di pesta itu. Kemudian menjalani hidup sebagai seorang istri yang sakinah. Semoga Tuhan membimbing kami. Semoga tak ada aral melintang yang mengganjal hari-hari kami yang penuh cerita indah.

Tapi harapan tinggal harapan. Manusia berkeinginan, tapi Tuhan juga yang memberi kepastian. Di ambang rencana Edo melamarku, tiba-tiba dia memutuskan menunda dulu. Penyebabnya, adik perempuannya akan menikah dalam jangka waktu tak lama lagi. Jadi, orangtua Edo meminta agar Edo menunda melamarku setahun kemudian. Alasannya hanya diakibatkan pandangan ortodoks mereka, karena pamali menikahkan anak di tahun yang sama.

Tapi aku tetap bersabar. Mungkin itu memang rencana Tuhan yang tak ingin aku dan Edo menikah di saat-saat yang salah. Kuanggap saja semua sebagai cobaan bagi sepasang insan yang ingin mematangkan kasih menjadi sepasang suami istri.

Dua bulan setelah pesta pernikahan adik Edo, muncul pula gosip yang tak sedap di kantorku. Menurut rekan-rekan kerjaku, Edo mulai melirik perempuan lain yang kebetulan sekantor dengannya. Kata mereka perempuan itu cantik. Bahkan lebih cantik dariku. Sudah berkali-kali Edo dipergoki mereka berjalan berdua perempuan itu di tmall  maupun tempat hiburan.

Alangkah sakit hatiku. Bagaimana mungkin lelaki yang mencintaiku sepenuh jiwa, berani bermain api? Berarti pernikahan adiknya itu, hanya sebagai alasan Edo agar dia tak jadi melamarku. Seharusnya sebagai seorang abang, dialah yang lebih berhak menikah lebih dulu ketimbang adiknya. Mungkinkah ramalan bintang yang digembar-gemborkan rekan-rekan kerjaku terbukti?

Tapi aku  menguatkan tekad untuk mempercayai Edo sepenuh hati. Bisa saja perempuan yang sering bersamanya itu hanya sekadar teman kantor, bukan teman kencan. Nyatanya ketika aku mengorek keterangan darinya, dia hanya tertawa terbahak-bahak. Katanya, perempuan itu memang cantik. Namun apa salahnya dia cantik? Apa salahnya Edo sering berjalan bersamanya? Toh, itu hal yang wajar. Perempuan itu adalah bawahan Edo. Dia wajib membimbingnya karena si perempuan masih dalam tahap training. Perkara jalan di mall atau tempat hiburan, itu juga urusan pekerjaan. Edo seorang manager pemasaran. Dia sering bertemu koleganya di tempat seperti itu.

Akhirnya aku mengakui kejujurannya. Karena aku yakin, kebanyakan orang, baik lelaki atau perempuan akan kesal dan marah-marah bila sang kekasih bertanya-tanya tentang gosip perselingkuhannya di luaran. Itu berarti, dia memang ada niat berbuat atau memang sudah melakukannya. Nah, Edo malahan tertawa, dan sama sekali tak menyimpan kedustaan di matanya.

Begitulah, meski rekan-rekan kerja bercerita tentang gosip ini-itu berkaitan dengan Edo, aku hanya menanggapinya dengan santai. Mereka terheran-heran, dan memintaku jangan menyesal bila ternyata pacarku itu memang suka bermain api.

Hampir dua tahun kami berpacaran, Edo tak lagi menyinggung-nyinggung rencana melamarku. Aku was-was, termasuk kedua orangtuaku. Ada ketakutan di hati kami masing-masing bahwa Edo memang tak berniat memperistriku. Bahkan ibuku kemudian memberikan usul agar aku mencari calon suami yang baru.  Karena mengingat usiaku yang sudah tak muda lagi.

Ternyata kami semua salah terka. Saat kami was-was, tiba-tiba tanpa memberitahuku, Edo dan kedua orangtuanya datang ke rumah hendak merencanakan acara lamar-lamaran, nikah dan menentukan hari pestanya. Bukan main senangnya hatiku. Kata Edo, "Ini kejutan yang membahagiakan!"

Kemudian semua berlangsung sukses. Aku dan Edo mulai mengarungi lautan kehidupan dengan perahu bernama keluarga yang semoga kuat menerjang kerasnya ombak yang menghantam. Saat itulah kurasakan betapa besar cinta Edo kepadaku, melebihi besar cintanya pada saat kami berpacaran. Dia memperlakukanku ibarat ratu.

Hampir delapan bulan usia pernikahan kami, prahara sontak menerjang. Edo mulai sering pulang larut malam. Kerap pula ke luar kota, dan menginap di sana. Isu yang sampai ke telingaku, dia ada main dengan seorang perempuan koleganya. Jelas saja hatiku miris.

Hingga di suatu malam saat Edo baru pulang kerja, aku mengajaknya berbincang serius. Kutanyakan apakah dia ada main di luar sana, atau tetap menjadi suami yang setia. Dia menanggapiku dengan senyum dikulum. Katanya dia tak pernah ada main di luar sana. Bahkan sebagai pembuktian ucapannya itu, besok paginya sang kolega itu dibawanya menghadapku. Dan aku tertawa senang. Rupanya dia adalah Inge (nama samaran) yang masih ada hubungan kekerabatan dengan ibuku.

Sejak itulah aku selalu mempercayai Edo. Begitu ada isu miring tentang pergaulannya di luar rumah, aku selalu memintanya berterusterang. Kenyataannya sampai saat ini hubungan kami aman-aman saja. Ach, ternyata apa pun kata orang, meski itu ramalan bintang yang tak bagus, yang menentukan baik-buruknya hidup kita adalah kita sendiri.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun