Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbok Bakul

14 Juli 2019   13:07 Diperbarui: 14 Juli 2019   13:21 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : idntimes

Aku menyebutnya Mbok Bakul. Bukan karena tubuhnya seperti bakul. Atau dia tukang pembuat bakul. Melainkan dia adalah seorang penjual nasi campur yang selalu menempatkan jualannya di bakul yang terikat di punggung. 

Tubuhnya tak seperti perempuan umumnya. Dia berotot serupa lelaki. Langkahnya cepat dan panjang-panjang. Suaranya keras, meskipun selalu lembut ketika menawarkan jualannya. Dia orang Jawa totok. Bahasanya lumayan medok. 

Aku selalu menunggunya setiap siang di pos ronda, tak jauh dari tempatku bekerja sebagai tukang bangunan di sebuah perumahan elite. Setiap kali matahari tepat di ubun-ubun, dia akan terlihat muncul di ujung jalan. Biasanya dia selalu bermuka masam melihatku. Apalah penyebabnya kalau bukan aku paling senang mengutang kepadanya. Begitupun, dia tetap mengangsurkan sebungkus nasi yang masih hangat. Tentu saja dibarengi repeten panjang.

Aku tak terlalu paham pribadi Mbok Bakul. Dari Piet, mandor tukang, kuketahui sedikit informasi bahwa Mbok Bakul tinggal di pinggiran Sungai Musi. Dia hanya menempati sebuah gubuk. Dia tak memiliki keluarga. Anak tak punya. Suami entah ke mana. Dia sebatangkara, tapi selalu berusaha menunjukkan bahwa dia memiliki keluarga banyak. Karenanyalah dia tetap akrab kepada setiap orang. Hingga setiap orang baik juga kepadanya. 

Kalau orang lain tak baik kepadanya, mungkin tak semudah itu dia mendapatkan barang jualan berupa nasi campur. Seorang pemilik restoran Padang, rela menitipkan berbungkus nasi campur tanpa meminta jaminan kepadanya. Hampir tanpa resiko pula. Apabila Mbok Bakul tak bisa menjualkan nasi campurnya sampai habis, pun tak masalah. Makanan yang pasti akan basi itu, tetap diterima dengan lapang dada oleh sang pemilik restoran Padang itu. Tapi sungguh, setahuku, nasi campurnya selalu ludes-des... Bahkan banyak yang kecewa ketika belum genap jam satu siang, jualan Mbok Bakul telah habis.

Hari ini, seperti hari sebelumnya, aku menunggu Mbok Bakul berdua Piet. Perutku benar-benar keroncongan. Istriku yang baru melahirkan anak pertama kami, terlambat bangun tadi pagi. Dia hanya menghidangkanku pisang goreng setengah gosong, dengan secangkir kopi yang ampun pahitnya.

"Mbok bakul belum datang juga," gerutuku seraya melirik jam tangan Piet.

"Sabar! Kau ini seperti sedang menunggu pacar saja." Piet bercanda.

"Menunggu pacar? Cacing di perutku yang kelelahan menunggu kekasihnya." Keringat dingin menjalari tanganku. Sambil mengelap tangan dengan handuk kumal, aku mendongak ke arah ujung jalan. Namun tak kelihatan sesuatu pun, selain sisa debu yang berkepul diterbangkan angin.

"Hampir jam satu," cetusku tanpa ingin mendapat jawaban. Piet mengeluh. Dibukanya ransum pemberian istrinya. Wangi sop sayuran langsung merebak. Sepotong ikan dencis goreng, menyembul di balik tutup rantang. Laparku seketika menggila.

"Sudahlah! Kalau tak tahan lapar, makanlah sebagian ransumku ini," tawarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun