Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Event Cerita Mini] Dunia Kata Mengajakku Mengembara

6 Juli 2019   23:26 Diperbarui: 7 Juli 2019   09:32 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika aku kecil, tak ada keinginan terberatku selain bisa membaca seperti kakak, mak dan ayah. Dengan membaca aku bisa mengembara ke mana pun kuingin. Dengan membaca aku bisa menyelami hati orang, sedang sedih, senang, atau sekadar ingin berbagi ilmu dan pengalaman hidup, atau entahlah, hanya orang yang bisa membaca dapat memahaminya.

Dengan membaca kau bisa menggenggam dunia. Begitu ayah sering berkata kepada kami, anak-anaknya. Meski aku tak faham perkataan ayah tentang "menggenggam dunia,  karena itu tak mungkin, tetap saja aku bercita-cita kelak bisa membaca.

Mungkin bagi sebagian orang, bisa membaca hanya hal sepele. Tapi entah kenapa aku selalu takjub melihat huruf-huruf saling berkejaran, tapi ada yang bisa menangkapnya, lalu membacakannya untukku. 

***

Pagi turun diam-diam di halaman. Saat itu aku pasti sedang menunggu bunyi gesekan kertas beradu lantai dari balik pintu ruang tamu. Selalu begitu di hari Minggu. Berkali-kali melihat ke kolong pintu, seringkali harapan kosong.

"Belum datang, ya! Lambat sekali!" Aku semakin sering berkeluh kesah. Kakak mendesah, dan kembali menonton televisi.

Manakala suara gesekan itu tiba-tiba terdengar nyata, kami terdiam menahan napas. Pelan-pelan melihat kertas muncul mengirimkan bait-bait kata di kolong pintu.  Membiarkan suara lain; geleser roda sepeda membuyarkan batu koral. Hilang. Senyap. Dua bocah kecil ini pun berebut harta karun itu.

"Awas koyak!" tegur Mak mengingatkan.

Meskipun aku yang berhasil pertama kali mendekap harta karun itu, tetap saja kakak akhirnya---meskipun berlagak sombong---harus kudekati. Merayu sambil menggelendot di bahunya. Apa pun alasannya, hanya kakak yang berhasil membuka harta karun itu.

Terkadang kupikir, dengan diam-diam memakai kaca mata ayah, aku bisa membaca. Tapi Mak selalu mencegah, karena takut kepalaku pusing. Kaca mata bukan untuk anak kecil! Berarti anak kecil tak boleh membaca. Kakak masih kecil, tapi dia boleh berkacamata. Dan dia bisa membaca.

"Nanti setelah adek sekolah, pasti bisa membaca." Mak menenangkan. Aku pasrah mendengar kakak mulai membaca. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun