Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pedro

30 Juni 2019   21:35 Diperbarui: 30 Juni 2019   21:45 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5d1888e90d823053094599a8/tentang-ayah

Cahaya matahari menerobos sela ventilasi. Aku memicingkan mata. Jam berapa sekarang? 

Terdengar suara cempreng Latif, bercerita tentang guru baru, Ado tentang nilai tujuh matematika, dan Zed mengenai buku cerita. 

Anak-anak mami itu mulai lagi dengan cerita-cerita cengeng. Ibu malahan menanggapi antusias. Dia mungkin sedang memasak sesuatu di dapur. Setiap kali ingin berkomentar, dia akan muncul di ambang pintu ruang makan, dengan wajah lucu yang belum bersih dari masker, juga roll di rambut sehingga dia mirip monster lucu.

Apa hebatnya cerita tiga anak cengeng itu? Ibu tak pernah bertanya tentang hasil pertandingan sepak bola. Padahal aku menggolkan tiga. Tentang hidung Ode yang hampir patah saat aku mengkanvaskannya di kejuaraan kungfu antar sekolah. Juga keberhasilanku yang lain. Termasuk menyelamatkan tiga anak cengeng itu dari gangguan teman-temannya. Aku sekarang kelas enam dan mereka kelas satu.

Setelah memijit-mijit leher karena pegal, aku duduk sambil meraup wajah. Banyak benar kue yang kubawa dari Pabrik Madri kemarin sore. Tapi cepat pula habis diborong tukang di perumahan baru itu. 

Ayah sudah meninggal setahun lewat karena kecelakaan lalu lintas. Praktis ibu yang membanting tulang mencari nafkah untuk kami berlima. Aku juga sering membantu ibu mencari nafkah, misalnya berjualan kue atau asongan. Tapi ibu tak pernah menyinggung masalah bantuanku. Apakah aku anak tiri? Ketiga adikku putih dan gendut, sedangkan aku kurus dan hitam.

Saat aku keluar kamar, semua terdiam. Aku menyerahkan uang hasil berjualan kue kepada ibu. 

"Mandi dulu, Pedro!" Ibu melongok dari dapur. Ternyata dia tak bermasker. Rambutnya tergerai tanpa roll. Entah hendak ke mana dia pergi, aku tak mau tahu. Perlahan aku tarok lagi piring, lalu menuju kamar mandi. Tidak seperti anak lelaki yang ringkas saat mandi, aku amat lama, sebab setiap sela di tubuh tak luput dari perhatianku. 

Ketika aku sudah siap sarapan, ibu dan tiga adikku sudah tak ada di dapur. Hanya ada Mak Wo, kakak ibu yang tinggal bersama kami, sedang menyulam di kursi goyang.

Sejak meninggalkan rumah, dan selama pelajaran di sekolah berlangsung, pikiranku tak tenang. Apakah aku memang anak tiri? Heh, aku kecewa kepada ibu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun