Pukul sebelas siang sekolah lebih cepat bubaran karena ada rapat guru. Aku berjalan ke arah pabrik Madri. Tapi pabrik sedang tak beroperasi. Akhirnya kuayunkan langkah pulang ke rumah.Â
Di halaman depan, tiga adikku sedang bermain congklak. Hampir saja aku masuk lewat pintu samping, kalau saja aku tak mendengar ibu sedang berbicara dengan seseorang.
"Nah, ini foto anakku yang paling besar. Â Namanya Pedro. Aku amat sayang kepadanya. Tingkahnya mirip Sam mendiang suamiku. Gigih bekerja. Tapi kalau nggak ditegasin, Â suka cengeng orangnya. Aku sangat terbantu oleh kegigihannya. Kau tahu nggak, segala uang hasil jerih-payahnya, seperti berjualan asongan, kusimpan di bank. Aku ingin kelak uang itu bisa dia pergunakan." Hening. Ibu berdehem. "Aku terkadang merasa sering merasa bersalah terlalu tegas kepadanya."
Hatiku trenyuh. Begitu luhurkah hati seorang ibu yang kumusuhi selama ini? Aku ingin memeluknya, bersimpuh di kakinya.
Perlahan kubuka pintu.
"Pedro!"
---sekian---