Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu V

13 Juni 2019   11:10 Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita sebelumnya: 1, 2, 3, 4

Kapak wong

-5-

Berbilang hari terlampaui, apa yang didapat Kecik dari berjualan asongan? Dia hanya bisa menikmati makanan kelas kampung. Nasi putih, sayur berkuah, sambal, ikan asin dan krupuk. Begitulah setiap hari. Padahal sekali waktu dia ingin sering-sering jumawa menikmati ayam goreng Amerika, pizza Italia,  es krim salju. Ah, semuanya hanya bisa didapatkan dengan mudah oleh John Peking. Tanpa harus menggoreng hidup di bawah terik matahari dan tanah yang membakar telapak kaki. Tanpa harus besitegang masalah harga asongan. Sampai berurusan hutang-piutang yang berujung perdebatan alot dan tak jarang berakhir dengan tak bertegur sapa. Duhai, Kecik tergoda!

Mungkin sekali waktu nasib naas menimpa Kecik, katakanlah kalau dia nekat mencari peruntungan menjadi pemalak atau apalah, dan dia terpergok. Orang yang dipalak malah lebih galak. Orang yang dirampok balas membacok. Menjadi bulan-bulanan massa. Dibui.

Tapi toh semuanya butuh pengorbanan. Semakin besar uang yang dihasilkan dari sebuah pekerjaan, maka semakin besar pengorbanan yang harus digelontorkan. Namanya juga hidup, selalu ada timbal-balik. Selalu penuh perjuangan. Bila tak demikian, hidup hanyalah kerakap di atas batu. Hidup segan mati tak mau.

Di sebuah warung kopi tak jauh dari terminal Pulo Gadung, adalah kali kesekian Kecik dan John Peking bertemu. Kendati Musa melihat gelagat buruk dari pertemuan sahabat kecilnya dengan kelompok tikus busuk itu, toh Musa bukanlah orang yang otoriter. Dia fleksibel, dia demokratis. Apapun jalan yang hendak dilalu Kecik, adalah pilihan dan resiko dirinya sendiri. Seseorang tak boleh dipaksakan untuk sesuatu yang belum sebenar keinginannya. Musa hanya memberikan gambaran dan pandangan. Perkara pilihan, sekali lagi terserah tubuh masing-masing.

"Bagaimana? Gabunglah dengan kita-kita. Lo bisa hidup lebih mewah. Lihat jam tangan baruku. Hahaha hasil jambretan. Di toko,harganya bisa sampai empat jutaan. Apa lo tak tergiur? Uang juga penuh sekantong. Mau pelesir ke tempat yang enak-enak, mudah saja. Kalau tertangkap petugas, dengan uang kita bisa lebih cepat bebas. Lagi pula bapak gue kenal banyak petugas. Dari petugas palang pintu, sampai yang berkelas."

"Aku takut dosa."

"Dosa? Hahaha, apakah lo kenal dosa? Lo pernah ibadah?"

"Pernah, setelah tinggal serumah dengan Kek Musa."

"Puasa?"

"Selama di kampung aku tak pernah diajari puasa oleh bapakku yang lebih sering mabuk ketimbang waras."

"Nah, kalau tak pernah atau katakanlah jarang beribadah, untuk apa takut dosa?" John Peking memesan kopi panas. Gerombolannya sudah mabuk sejak tadi. Gelas berisi tuak Medan telah membuat hati mereka berbunga dan berenda-renda.  "Pikirkanlah ajakan gue. Pokoknya lo diistemawakan. Setiap lo berhasil melakukan tugas, sembilan puluh persen keuntungan, itu buat lo. Selebihnya kita makan bersama-sama. Setuju?"

"Aku pikir-pikir dulu."

John Peking menghirup pelan air kopi yang telah dihidangkan Pak Makruf, si pemilik warung. "Pikir-pikir atau lo takut kepada Musa?"

"Dua-duanya."

"Musa tak mau tahu lo mau jadi apa. Semua fair. Gue tahu tabiat si tua itu. Lo masih pikir-pikir?"

Sebuah bus melaju kencang menerbangkan debu di seberang warung. Pikiran Kecik ikut terbang, dan dia bimbang. Tujuannya melanglang ke ibukota, tak lain tak bukan, ingin menjadi orang sukses. Orang sukses tak jauh beda dengan istilah ber-uang (bukan beruang). Bagaimana mungkin bisa sukses kalau melulu berharap dari asongan? Tak ada bukti pengasong bisa kaya, kecuali berani banting stir menjadi pedagang yang tentu saja harus bermodal besar.

Tapi dari mana modal untuk berdagang? Belum lagi harus menyewa toko, belum isinya, belum ijin ini-itu. Apakah otak Kecik yang majal bisa menebas semua itu? Pilihan terbaik memang seperti yang ditawarkan John. Pekerjaannya tak jauh beda dengan pengemis. Tapi tugas penjahat jalanan seperti John dan teman-temannya, membutuhkan usaha keras. Perhitungan tepat. Ketangkasan, dan tentu saja tak dianggap hina oleh orang-orang. Melainkan dianggap angker, ditakuti sekaligus dimusuhi.

Terlalu sering memang orang terpengaruh uang, lalu memilih jalan menyimpang. Uang bisa membuat siapa saja gelap mata. Yang benar bisa salah. Yang salah bisa benar. Gelap menjadi terang. Terang menjadi gelap.

Dan anak seperti Kecik, yang terbiar hatinya tanpa pengajaran orangtua tentang norma agama, amatlah mudah digoyahkan. Memang, ibunya telah banyak berpetatah-petitih tentang kehidupan. Namun kau tahu kan kalau ibunya sedemikian cepat meninggal? Tinggallah dia digerus amarah seorang ayah yang kalap. Dia terperosok di tengah lingkungan yang tak ramah dan segala tontonan kebinatangan jiwa manusia. Bagaimanapun lingkungan menempatkan seseorang menjadi jahat atau baik. Tinggal kuat atau tidaknya keimanan seseorang itu untuk berjuang di jalan yang diyakininya.

Kecik ibarat gadis pemalu ketika dia berhasil digoda John, dan dia bermula menjadi bandit kecil. Kepada Musa dia pandai berminyak air. Dia tetap membawa barang asongan ke terminal Pulo Gadung. Dia masih menjerit-jerit menawarkan dagangannya. Tapi ketika ada rencana bagus dari John Peking, dia rela hati menganggurkan asongannya. Dia permisi kepada Musa karena harus mengerjakan urusan penting. Atau dia beralasan ingin mengasong di tempat yang lebih ramai pembeli.

Musa bukanlah lelaki pemaksa. Dia membiarkan orang mengalirkan hidupnya sendiri seperti apa adanya. Musa membuat pematang yang bisa mengatur alur hidup sahabatnya. Tapi ketika alur hidupnya membandel, kemudian menerjang pematang hingga jebol, Musa hanya mampu mengelus dada. Begitupun dia tak ingin terjerumus ikut memanfaatkan pematang yang jebol. Biarlah orang lain atau sahabatnya hidup dilingkup dosa, asal saja dia tak ikut terjerat mencicip hasil keringat dari dosa itu.

Hati Kecik jelas menjadi tak nyaman. Musa selalu menampik setiap hasil keringat anak itu. Tak hanya masalah sewa mondok di rumahnya, mengenai biaya tambahan untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari, pun ditolak Musa mentah-mentah. Padahal semasa Kecik masih setia mengasong di bawah matahari yang membakar keringat, lelaki itu selalu menerima pemberian Kecik, meskipun selalu diawali penolakan halus sebagai basa-basi.

Di atas bale-bale, saat cahaya bulan purnama berserak di halaman rumah, dua lelaki itu duduk bersisian. Kecik menatap lurus ke depan. Musa sesekali memejamkan mata seolah menikmati setiap tarikan napas dari sebatang sigaret plat merah yang berbunyi gemeretek. Disungkup malam, nyala ujung kretek meningkahi cahaya bulan purnama yang terserak.

"Aku mau berbicara, Kek!" Pelan sekali suara Kecik. Lelaki di sebelahnya, bergeming. Angin malam menerbangkan bara api rokok. Sebutir kecil bara api itu jatuh di celananya. Lelaki itu menjentiknya dengan ujung jari telunjuk. "Tolong Kakek menjawab jujur."

"Berbicaralah! Tak ada yang melarang setiap orang di rumah ini berbicara. Karena gunanya mulut adalah berbicara." Kata-kata Musa berima dan seolah berfilsafat. Padahal sebelum Kecik tenggelam di dunia John Peking, Musa selalu ceplas-ceplos. Kata-katanya selalu ringan dan bershabat. Dia lebih banyak bercanda ketimbang sekarang berwajah tegang dan datar.

Kecik menarik napas. Berat rasanya menanyakan sesuatu---ibaratnya mengeritik---kepada orang yang mungkin tak ingin dikritik. Tapi membiarkan semua berjalan aman-aman saja, dengan kondisi sebenarnya, runyam bin hancur, toh membuat gerak-gerik Kecik tak lapang lagi di rumah Musa.

"Kenapa Kakek seperti menjauhiku?"

"Menjauh darimu? Apakah sekarang kita berjauhan? Jarakmu dan aku hanya sekian jengkel, Kecik!"

"Maksudku, sikap Kakek seolah menjauhiku. Kakek seperti mendiamkanku. Kakek juga selalu menolak uang pemberianku. Kenapa, Kek?"

"Kau telah terlalu larut dengan John Peking!"

Sepatah ucapan yang membuat jantung Kecik berdetak keras. Dia tahu selama ini Musa pura-pura tak mau tahu  hubungannya dengan John Peking. Tapi sekarang, mungkin ketakmautahuan itu beralih menjadi ledakan emosi yang terpendam. Kecik bisa meraba ledakan emosi itu dari kilat di mata tuanya.

"Kakek sudah tahu tentang...?"

"Ya, aku tahu semuanya sebelum kau menyadari terseret arus yang diciptakan John. Kau menjadi bandit kecil yang hidup dari kecemasan, ketakutan dan sumpah-serapah orang. Kau telah silau oleh harta." Dia mematikan sigaret di atas kayu bale-bale. Seolah dia ingin mematikan emosi yang meledak-ledak itu. "Ya, aku tak bisa menyalahkanmu. Harta selalu menyilaukan orang. Aku pun pernah terjebak kesilauan itu. Aku pernah merasakan dinginnya ubin penjara, buah perbuatan kesilauan itu. Tapi aku cepat sadar. Hidup bukan hanya sekali. Hidup itu empat kali; alam rahim, fana, barzah dan akhirat. Dan aku tak ingin kesusahan di salah satunya, meskipun aku tak bisa mengelak di alam yang kedua; alam fana."

"Kakek seperti ustadz saja." Kecik mencoba meredakan ketegangan. Kendati perasaan tak nyaman membuat tubuhnya panas dingin.

"Bukan hanya ustadz yang bisa dan harus berbicara begitu. Setiap orang minimal menjadi ustadz bagi dirinya sendiri. Dan ingat, aku tak ingin dikotori oleh uang haram. Itulah sebabnya aku seperti menjauhimu, terutama menolak setiap uang pemberianmu. Semoga kau mengerti."

Selepas itu Musa berusaha kembali ke alamnya. Artinya dia menjadi Musa sehari-hari tanpa mengedepankan emosi di atas segala-galanya. Dia menambahi perbincangan tentang kenangan lampau, yang cengeng, atau bisa jadi terlalu melankolis. Begitu  anak perempuan Musa yang senang menunduk-nunduk seperti selalu mencari sesuatu itu menghidangkan dua gelas teh menggelegak uap, kenangan melankolis itu berganti senda-gurau. Amat gairah terdengar di malam yang ramah. Hanya saja lain yang menggeliat di hati Kecik.

Kecik telah mengulam semua sikap dan perkataan Musa. Apapun tingkah Musa selanjutnya---menjadi Musa yang kembali ke alamnya---tapi Kecik merasa terasing. Dia merasa bersalah.

Saat rebah di lapik tipis ruang tengah rumah, ingatannya mengembara ke masa-masa awal ketersesatannya di negeri macet; Jakarta. Dia merasakan hawa keluguan menggeregoti hari-harinya. Sampai perkenalan dengan Musa, pikiran dan tingkah lakunya tetap kampong. Dusun! John Peking-lah yang membuat pikiran dan tingkah lakunya menjadi cerdas dan mantap menjadi anak kota. Cerdas membohongi orang. Pura-pura baik, tapi hati busuk. Pura-pura membantu, namun niat utama mencopet, menjambret, menodong, merampok. Ya, biarlah saja semua mengalir apa adanya. Dia telah diracuni John Peking. Apapun jadinya, orang yang diracun, mabuk sendiri oleh racun itu. Dia terbawa pengaruh yang tak bisa mengedepankan akal sehat.

Persetanlah dengan Musa. Masa anak bawangnya di lingkungan gerombolan John Peking, harus segera diakhiri. Kecik mesti diwisuda menjadi bandit kecil yang mumpuni. John sudah meyakini bahwa telah cukup pelajaran yang  dikucurkannnya ke anak kurus itu. Dia tak usah lagi menjadi mata-mata saja. Dia harus menjadi tokoh utama, pagi ini di sebuah pasar yang ramai, macet dan padat keringat.

"Kau siap?" Seolah seorang komandan, John Peking bertanya tentang siap tidaknya bawahannya. Pinggiran ruko yang cat dindingnya mengelupas, menjadi saksi dilepasnya  orang kampung ke dunia perbanditan yang sebenarnya.

Kecik merasa lebih tinggi dan tegap dari hari-hari sebelumnya. Dia mendengus serupa banteng. Dia mengingat bagaimana cara memperhatikan mangsa. Apakah mangsa itu dari dusun atau dari kota. Apakah mangsa itu membawa uang atau barang berharga, atau hanya melenggang kangkung dengan kantong yang bolong. Mengenai ilmu sumpit sudah mapan di hati Kecik. Ilmu sumpit adalah ilmu seorang pencobet yang harus sigap memindahkan dompet seseorang ke kantongnya sendiri. Tak pula canggung dia dengan ilmu gertak, dan ancam. Terlebih-lebih ilmu angkat kaki alias lari dari kejaran massa.

Ramainya pasar membuat kesempatan terbuka lebar baginya. John Peking telah pergi dan mengopi di warung sekitar tiga lemparan batu dari tempat Kecik berdiri. Kecik mengenakan setelan pakaian berbeda dari hari-hari biasanya. Sepatu kets putih nyaris buram. Kaos oblong berwarna coklat yang kedodoran. Celana tanggung berwarna hijau lumut seperti milik tentara. Topi koboi yang terlalu besar di kepalanya, tapi sangat berguna menyamarkan wajah tirusnya.

Matanya nyalang. Melirik ke kiri dan ke kanan, khas gaya pencopet. Seorang perempuan gemuk datang dari arah utara. Naluri Kecik menebak dia orang kaya. Pakaiannya berkelas. Ujung dompet menyembul dari lipatan tas yang dikepit perempuan itu sekadarnya.

Kecik melangkah pelan. Perempuan itu berhenti di dekat los ayam. Terjadi perbincangan sebentar antara dia dan pedagang. Tawar-menawar, mungkin. Kecik yakin perempuan itu sedang tak awas terhadap barang bawaannya. Begitu Kecik berdiri membelakangi perempuan itu, sigap tangannya meraih dompet.

Tak ada yang melihat. Kecik merasa aman, sehingga dia merasa tak perlu cepat berlari menjauhi perempuan itu. Tapi saat hendak membayar belanjaannya, perempuan itu sadar dan berteriak. Entah kenapa dia langsung menunjuk ke arah Kecik. Apa ada orang lain yang memberitahunya atau tidak, kurang jelas. Yang pasti massa ibarat lebah mengamuk. Kecik lari tunggang langgang. Sebuah gerobak es cendol terguling karena tak sengaja dia tabrak. Dia laksana terbang melompati selokan. Berbagai sumpah serapah termuntahkan dari pejalan kaki, manakala dia menerebos padatnya mereka di lorong yang menghubungkan pasar dengan bagian belakang sebuah super market.

Kecik terjatuh. Seseorang menjegal langkahnya. Massa merubung, memukul, menendang. Kiranya dia belum lihay menjadi pencopet. Entah dari mana terdengar suara tembakan. Massa berhambur ketakutan. Kecik merasakan seseorang menariknya, kemudian mengajaknya berlari menjauhi massa. Sebuah pick up kecil seperti sedang menunggu Kecik. Tanpa menunggu perintah, Kecik melompat ke bak pick up seperti yang telah diperbuat penolongnya. Pick up melaju kencang membiarkan massa merutuk sambil mengacung-acungkan tinju.

"Kau belum siap menjadi pencopet!" Suara orang itu terdengar berat. Matanya tajam menatap Kecik.

"Maaf, aku baru belajar. Barangkali lagi apes saja. Terima kasih sudah menolongku."

"Tak apa. Kau masih muda. Masih banyak waktumu belajar." Dia mengangsurkan sebungkus rokok. Kecik menampik.

Tak ada perbincangan di antara mereka sekian menit perjalanan. Langit Jakarta cerah. Biru. Kecik melihat tiga orang yang duduk tenang di bagian kabin. Seorang sopir dan lelaki berkepala botak di sebelahnya. Di pinggir, persis menempel di pintu kiri, seorang lelaki menggaruk-garuk kepalanya. Dia John Peking. Lapanglah dada Kecik. Ternyata orang yang menolongnya barusan adalah gerombolan John Peking. Hebat, hebat! Mereka memiliki senjata. Kecik melihat sesuatu seperti pestol menyembul di balik kaos lelaki di sebelahnya. Pasti lelaki itulah yang sengaja meletuskan senjata agar massa bubar.

Ada rasa bangga menyeruak di dada Kecik, meskipun dia sadar semakin jauh terjerumus ke lembah hitam. Dalam pikirnya kalau sudah tercebur ke sungai, baiklah mandi sekalian. Mau jadi bandit, harus menjadi bandit hebat. Tak setengah-setengah. Kalaupun nanti dia harus berpisah dengan Musa, kemudian harus minggat dari rumahnya, bagi Kecik tak mengapa. Toh dia tak lagi dihiraukan Musa. Meskipun lelaki itu berusaha agar terlihat tetap menyayangi Kecik,  bagaimanapun keterpaksaan sepintas tetap melesat di mata tuanya.

"Kita akan ke mana?"

Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai teman John Peking, tersenyum. Dia mempermain-mainkan batang rokok di sela jemari tangan. "Panggil saja aku Mardan," lanjutnya tanpa diminta. "Kalau kau mau tahu, tujuan awal kami hanya ingin menyelamatkanmu dari serangan massa. Tak apa sebagai permulaan. Dulu semasa aku pertama kali belajar mencopet, aku sudah mencicip dinginnya ubin penjara. Merasakan sosoran ujung sepatu polisi dan sipir di bokongku. Bersyukurlah kau bisa kami selamatkan." Dia menatap awan yang saling mendahului di atas sana. "Tapi kami memutuskan kau ikut tujuan berikutnya. Kita akan ke markas. Kita harus mengadakan rapat karena nanti malam kita akan berperang dengan Geng Tengkorak. Kau tahu Geng Tengkorak?"

Kecik menggeleng. Dia sama sekali tak mengetahui apa-apa tentang geng. Dia hanya mengenal gerombolan John Peking yang kerap meresahkan masyarakat.

"Geng Tengkorak itu sama seperti kita, para begundal. Mereka telah mencelakai salah seorang kawan kita di arena hiburan rakyat tadi malam. Sekarang kita harus membalasnya. Nah, kau sudah siap? Atau kau takut berperang?"

Kecik berpantang untuk satu kata; takut. Dia membusungkan dada seolah menyombongkan diri. Padahal dia buta sama sekali tentang perang melawan Geng Tengkorak.

Mereka hening. Mobil pick up memasuki lorong sempit menuju sebuah lokasi bekas pergudangan. Kecik melihat beberapa lelaki yang langsung melambai, sebelum mobil itu sebenar berhenti di gerbang bekas pergudangan itu.

Aroma tak nyaman menyergap. Bau pengap, asap rokok, minuman keras, membuar dari dalam bekas pergudangan itu. John Peking keluar dari kabin mobil. Mardan melompat dari bak, disusul Kecik. Seorang lelaki gajah menyuruh mereka masuk ke dalam ruangan di sudut bekas pergudangan. Bukan persis sebuah ruangan tepatnya. Hanya tempat yang dikelilingi tiang-tiang centang-prenang berdinding papan yang dipasang jarang-jarang. Lebih pasnya seperti kandang sapi. Beberapa peti dari kayu racuk disusun sembarangan sebagai tempat duduk. Di tengah-tengah ruangan sebuah meja, tampaknya terbuat dari jati, dihiasi belasan botol minuman keras, lebih dua puluh bungkus rokok beragam merek dan lima bungkus kacang kulit ukuran satu kilogram.

Saat rombongan di dalam mobil pick up duduk di atas peti kayu, seorang lelaki berwajah bulat, berambut gondrong dan lobang hidung yang besar, telah duduk di atas peti berukuran paling besar. Dia adalah Mark Picik. Dia bos paling bos dari gerombolan John Peking. Juga bos dari gerombolan lain yang tersebar hampir di semua sudut kota Jakarta. Sebaris grafiti di dinding bekas gudang itu, membuat Kecik menebak-nebak bahwa seluruh gerombolan diberi gelar; Kapak Wong. Gelar yang membuat bulu kuduk merinding. Gelar yang membuat orang keder terlibat masalah dengan gerombolan si Kapak Wong. Ada rasa bangga terbersit di lubuk hati Kecik. Meskipun muda usia dengan tubuh jauh dari sebutan garang, tapi dia telah diterima memasuki dunia Kapak Wong yang gelap dan menakutkan.

Tak sampai semenit setelah Kecik memantapkan bokongnya di atas peti, sekejap bermunculan lelaki-lelaki lain dan duduk sembarangan mengelilingi meja. Ada juga seorang-dua perempuan. Kecik mengira jumlah mereka hampir tiga puluhan. Selebihnya, gerombolan lebih besar berkeliaran di luar sana.

Basa-basi dari Mark Picik sedikit banyaknya membuat Kecik bosan. Mungkin seperti itu pula yang dirasakan orang-orang berwajah masam di sekelilingnya. Mark Picik sibuk dengan cerita masa lalunya yang menyedihkan. Kemudian beralih kisah-kisah petualangan yang menurutnya sangat heroik. Bahkan cerita kehebatannya menaklukkan Jakarta. Hingga dia benar-benar disegani sebagai pemimpin Kapak Wong. Hmm, walaupun seperti melebih-lebihkan, toh  kata-katanya itu benar.

Bagaimanapun bukannya mudah mengepalai gerombolan begundal yang tak jarang mengamuk tanpa pasal, suka berkhianat kalau pembagian hasil kejahatan tak sama rata, dan senang mennentang di belakang bos.

Kebosanan  berhasil terlerai ketika Mark Picik mengemukakan rencana mereka menyerang ke sarang Geng Tengkorak. Rencana itu digaungkan dengan garang. Para pendengarnya menjadi semangat. Mereka meneriakkan yel-yel Kapak Wong. Meneriakkan yel-yel mampuskan. Masing-masing menuntaskan semangatnya dengan menenggak minuman keras di botol. Menuntaskannya dengan rokok, juga pertarungan jemari dengan kulit kacang yang getas.

Mark Picik mencondongkan kepala ke arah Kecik. Selain karena merasa anak itu asing, dia juga tak senang bila juadah di meja tak disantap Kecik. Dia tersinggung dan langsung menggebrak meja.

"Siapa dia?" geramnya.

"Kawan gue, Pak Bos. Sudah gue acc masuk gerombolan John Peking." John Peking mengelus-elus ujung hidungnya dengan punggung jari telunjuk kanan. Dia melirik ke arah sebungkus kacang kulit di hadapan Kecik. Sepertinya dia menyuruh Kecik menyantap kacang kulit itu saja, ketimbang tidak sama sekali.

"Apa kehebatannya?" Mark Picik mendengus. Beberapa orang yang duduk mengelilingi meja, menatap Kecik hina. Mana mungkin anak kecil kurus dan jelek itu bisa diterima begitu saja di gerombolan begundal bernama sangar itu. Kalaupun diterima, pastilah karena John Peking adalah si anak emas.

Tak sepenuhnya benar John Peking yang membuat Mark Picik menganggapnya si anak emas. Melainkan karena bapak John Peking yang bersahabat dekat dengan aparat keamanan. Lagi pula bapaknya seorang anggota Kapak Wong yang tak memiliki gerombolan. Dia berdiri sendiri, bekerja tanpa bantuan. Hasilnya, pekerjaan  lelaki itu selalu berakhir mulus.

"Dia tahan pukul, dan tubuhnya sekukuh karang!" ucap John mempromosikan Kecik.

"Aku ingin menyaksikan kehebatannya!" Mark Picik memanggil seseorang yang ukuran tubuhnya tak beda jauh dengan Kecik. Hanya saja orang itu terlihat lebih gemuk. "Kau coba dulu kekuatan si kurus ini, Don!" Lelaki yang dipanggil Don, cengengesan.

Mark Picik mengajak semua yang ada di ruang rapat itu ke belakang bekas pergudangan. Sebuah lapangan berumput dan dipenuhi semak berduri, menyambut mereka dengan bau-bau tetumbuhan yang khas. Mark Picik menyuruh Don dan Kecik berlaga di lapangan itu.

Hawa pertarungan menyeruak. Selalu begini setiap kali ada anggota baru di gerombolan begundal Kapak Wong. Semacam pengetesan apakah anggota baru itu layak atau tidak. Ketika layak menjadi anggota, diteliti lagi kelasnya. Kelas kecoak atau macan. Kecoak hanya berhak yang remah-remah seperti melancarkan akomodasi. Macan memiliki kekuasaan menyusun rencana-rencana kecil dan memutuskan untuk melaksanakannya. Perkara rencana besar, harus campur tangan Mark Picik sebagai penguasa.

Don melolong ibarat serigala yang menemukan mangsa yang lemah. Kecik menatap awas setiap gerakan lawan di depannya. Bagaimanapun dia tak ingin menjadi pecundang. Dia tak pernah berlatih tarung sebelumnya. Tapi setiap hajaran ayahnya, telah membuat tubuhnya keras ibarat kayu. Lagi pula Kyai Ali pernah mengatakan kalau Kecik bisa menjadi jagoan kelas wahid. Tulang lengannya satu. Tak seperti orang kebanyakan yang lengannya bertulang dua.

"Siap! Mulai!" Mark Picik memberi komando. Para penonton kebanyakan mengelu-elukan Don. Hanya gerombolan John Peking yang meneriaki nama Kecik. Kemenangan Kecik sama saja mengangkat pamor John Peking di mata Mark Picik.

Don menyerang lebih dulu dengan bernafsu. Sebuah bogem bersarang di bibir Kecik. Anak itu langsung terjengkang. Darah segar mengalir dari ujung bibirnya.

"Cuma segitu kehebatan anak buah lo?" sindir Mark Picik.

"Sebentar lagi kita lihat hasilnya, Pak Bos. Gue yakin dia bakalan menghajar Don sampai mampus." John Peking sebenarnya cemas. Tapi dia tak ingin Mark Picik tahu tentang hal itu.

Bagi Kecik pukulan Don tak seberapa dibanding pukulan ayahnya. Tadi, dia hanya belum siap. Terkejut karena dipaksa beradu dengan seseorang yang bukan musuhnya. Tanpa alasan tepat, dia kerap tak ingin berkelahi. Dia tak ingin mencari musuh. Namun melihat tatapan penonton yang mengepung itu, tatapan John Peking yang memaksanya berjuang, membuat Kecik harus memantapkan hati. Anggap saja ini pergulatan seperti dia bergulat dengan Salim saat berebut duluan memanjat mangga berbuah ranum kepunyaan Haji Ke'adan. Salim itu temannya sekelas di SD Pilihan.

"Ha, lihatlah dia! Hehehe, kekuatannya boleh diadu," teriak John Peking ketika melihat Kecik berdiri seperti tak merasakan apa-apa. Don sendiri terkesiap. Biasanya musuh yang berhasil dia bogem dan terjatuh, akan sulit bangun seketika. Kalaupun bisa bangun, jalannya terhuyung-huyung. Musuhnya pasti mengaku kalah. Tapi Kecik? Ah, anak itu tak bisa dianggap sebelah mata. Don tak ingin dipermalukan di depan Mark Picik.

Don menyerang dengan sepenuh tenaga. Bogemnya melayang dengan kekuatan beberapa kilogram. Saat bogem itu hampir mengenai wajah Kecik, Don tiba-tiba terhuyung. Kecik sedemikian cepat menghindar. Sedemikian cepat pula dengkulnya terangkat. Dan, huuuk! Dengkul itu bersarang di perut Don yang tanpa pertahanan.

Don merasakan perutnya bagaikan menghantam ujung kayu balok. Betapa kerasnya dengkul anak itu! Matanya berkunang. Dia ingin menjerit dan mengaku kalah. Sayang, emosi membuatnya berang.

Dia selekasnya berdiri sambil menahan sakit di ulu hati. Dia menyerang membabibuta.  Bogemnya hanya menyentuh angin. Pada saatnya, pukulan Kecik bersarang di dagu Don. Suara berdebam menjadi pertanda Don terjatuh mencium tanah dan tak bisa bangkit lagi.

Mark Picik tanpa sadar bertepuk-tangan. Padahal pantang baginya bertepuk-tangan untuk anak buahnya. Dia tak ingin anak buahnya kelak belagu. Pengecualian terhadap Kecik, dia sampai lupa akan komitmennya sendiri. Dia kagum pada kehebatan Kecik. Mark Picik sangat tak mempercayai anak itu akan memenangkan pertarungan. Nyatanya dia salah. Begitupun dia tak ingin terlihat merasa bersalah. Dia tetap tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu John Peking. Ya, ya. Penguasa selalu ingin dianggap benar.

John Peking lekas memeluk Kecik. Dia memuji-muji mantan musuhnya itu. Di bagian samping bekas pergudangan, mereka merayakan kemenangan. Beberapa bungkus Nasi Padang, menjadi hadiah bagi kemenangan itu.

"Gue belum tentu bisa mengalahkan Don. Hebat! Lo memang hebat, Kecik." John Peking menepuk-nepuk lengan Kecik.

"Ah, biasa saja. Lagi pula aku kasihan kepada Don. Tadi aku mau membantunya berdiri. Kenapa kau seolah melarang?"

John tertawa. "Itulah undang-undang yang tak tertulis di sini. Siapa pun yang kalah bertarung, harus sanggup berdiri tegak. Harus bisa mengobati luka-lukanya sendiri."

"Bagaimana kalau dia pingsan. Apakah dibiarkan terus terkapar dimakan panas dan hujan? Bagaimana kalau dia mati?"

"Itulah resiko yang harus ditempuh. Tapi yakinlah, dia tak bakalan mati. Kalau pun mungkin sekarat, Mark Picik akan lebih dulu menyuruh orang membawanya ke rumah sakit. Santai saja! Nikmatilah hasil kemenangan lo?"

---

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun