Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Tantangan

20 Mei 2019   08:23 Diperbarui: 20 Mei 2019   08:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Deden terkejut saat melihat sebuah amplop di laci mejanya. Sebuah amplop tanpa pengirim, berisi surat tantangan. Siapa kira-kira yang iseng mengirimkannya surat tantangan itu?

"Ayo, Den, cepat pulang! Aku takut sebentar lagi datang hujan." Aldi muncul di ambang pintu kelas. Deden buru-buru memasukkan buku ke dalam tas. Hari ini dia bertugas sebagai piket. Jadi, dia belakangan pulang ke rumah.

Saat mereka melewati jalan setapak menuju pekuburan kampung, Deden terpaku. Dia hampir melangkah ke sana. Tapi tak jadi, karena Aldi menatapnya heran.

"Ada apa, Den? Aku melihatmu gelisah terus sejak tadi."

Deden terdiam. Dia sudah hampir tiga bulan belajar pencak silat kepada Kang Kodar. Tapi niat Deden belajar pencak silat itu, hanya agar tubuh dan otaknya sehat. Dia bukan mau gagah-gagahan, apalagi hendak mencari lawan tanding. 

Dia menceritakan kepada Aldi tentang surat tantangan itu. Seseorang yang mungkin tak senang kepadanya, menantang Deden datang ke pekuburan kampung nanti sore. Orang yang menulis surat itu tahu kalau dia jago pencak silat. Tapi belum tentu dia jago melawan hantu pekuburan.

"Tapi, seram juga ya kalau nanti sore kau ke pekuburan itu. Jangan-jangan kau akan dimangsa hantu. Aku tak mau ikut-ikutan, Den!" Aldi gemetar. Lututnya goyah. 

"Tak ada hantu di pekuburan! Lagi pula, apa aku mengajakmu? Aku hanya mau menunjukkan kalau aku bukan penakut." Panas juga hati Deden mengingat surat tantangan itu.

Sesampai di rumah, dia kembali membaca surat tantangan itu. Dia menggeram menahan marah. Dia terbayang wajah Kusnen. Deden curiga, dialah yang menulis surat tantangan itu. Awas, ya! Kalau ketemu anak itu, akan dia pukuli sampai meminta ampun. Deden lupa nasehat Kang Kodar. Kalau mau menjadi pesilat yang tangguh, dia harus mampu menahan amarah.

Selesai bermain sepak bola dengan teman-temannya di lapangan kampung, Deden buru-buru menuju pekuburan. Mula-mula jalan yang dilewatinya terang dan ramai. Tapi setelah memasuki jalan setapak menuju pekuburan itu, suasana mulai sunyi. Pohon-pohon yang banyak dan berdaun rindang, membuat cuaca gelap. Suara binatang hutan  yang ramai, seolah menakutinya.

Deden memang terbiasa datang pekuburan itu. Tapi dia selalu bersama seseorang, kakek atau ayahnya. Lagi pula, mereka pergi ke pekuburan itu masih siang, bukan sore seperti saat ini.

Tiba-tiba Deden mendengar suara berkresek di belakangnya. Buru-buru dia memasang kuda-kuda. Ternyata hanya Aldi yang berada di situ. Anak itu meringis malu.

"Lho, siapa yang mengajakmu ke pekuburan? Kau mau menemaniku? Tak usahlah, Aldi! Nanti aku repot menenangkanmu kalau kau melihat hantu," kata Deden sambil mendengus.

"Ah, jangan menakut-nakutiku, Den! Kebetulan Ayah menyuruhku mengambil beberapa bungkil temulawak di kebun kami yang dekat pekuburan itu. Kebetulan pula kau mau ke sana, jadi sekalian saja aku ikut."

Selang beberapa menit, mereka tiba di lokasi pekuburan. Suasana benar-benar sunyi. Saat Aldi pergi mengambil bungkil temulawak dengan sebilah parang, Deden berulangkali mendengus. Beberapa kali dia berdiri, kemudian duduk kembali di atas batu. 

Tapi belum juga penantangnya itu datang. Padahal hampir seperempat jam Deden di lokasi pekuburan itu. Di surat tantangan, orang itu mengatakan akan muncul dari balik semak, setelah Deden bisa bertahan di  pekuburan itu hingga seperempat jam.

Mendadak semak di samping kiri Deden bergoyang. Deden sudah siap-siap hendak menghajar si penulis surat tantangan itu. Ternyata si Aldi yang muncul dengan beberapa bungkil temulawak yang dia taroh di dalam kantong plastik.

"Sudahlah, Den!  Ayo, kita pulang saja! Untuk apa kau menunggu si penulis surat tantangan itu? Kau hanya dikerjainya." Aldi berjalan cepat meninggalkan Deden. Dari masjid kampung terdengar suara orang mengaji. Beberapa menit lagi azan maghrib akan dikumandangkan.

Saat mereka tiba di tengah kampung, Aldi terengah-engah berbicara kepada Deden, "Deden, maafkan aku, ya!"

"Maaf untuk apa?"

"Yang menulis surat tantangan itu sebenarnya aku sendiri. Aku sengaja berbuat begitu agar kau mau menemaniku mengambil temulawak di kebun dekat pekuburan itu," jelas Aldi, lalu dia berlari tunggang-langgang. Deden mengejarnya sambil menggerutu. Tapi akhirnya dia tersenyum geli karena berhasil dikerjai Aldi.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun