Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Domba Pemberian Ayah

6 Mei 2019   11:05 Diperbarui: 6 Mei 2019   11:13 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : unsplash

Tahun ini usia Deden genap sebelas tahun. Ayah tiba-tiba membelikannya seekor domba. "Untuk aku pelihara ya, Ayah?" tanya Deden takjub. Dia membayangkan  setiap pulang sekolah akan mengajak domba itu bermain di kaki bukit.

"Iya, tapi...." Ucapan ayah terputus. Deden sudah menghambur keluar rumah. Dia berlari ke arah lapangan bola. Aldi dan Herman sedang bermain layang-layang di situ. Cuaca tidak terlalu panas. Angin berembus cukup kencang.

Deden berdiri di belakang kedua temannya dengan napas terengah-engah. Setelah bernapas tenang, dia menyentuh lengan Aldi. Katanya, "Aku ada berita yang bagus. Kalian pasti ikut senang."

"Berita apa?" Aldi menatap Deden. Tapi buru-buru dia mengalihkan pandangan ke arah layangannya yang menukik tajam. "Kau baru membeli benang gelasan, ya?  Kalau memang iya, sebentar lagi kita mengadu layangan dengan layangan Rudi. Aku yakin tali layangannya akan putus."

Hujan rintik-rintik mendadak turun. Deden berlari ke arah gubuk di pinggir lapangan bola. Aldi dan Herman menyusul setelah buru-buru menggulung benang layangan. Layangan mereka seperti kena campak akibat terkena tetesan hujan.

"Bukan benang gelasan yang baru aku beli. Tapi ayah membelikan aku seekor domba. Iya, seekor domba benaran." Deden tidak sadar melompat-lompat kegirangan. Aldi dan Herman mengikuti tingkah Deden.

Menjelang maghrib domba itu tiba di depan rumah Deden. Ayah  langsung membawanya ke belakang rumah. Deden tidak sabaran ingin bermain dengan domba itu. Dan besok paginya saat matahari baru saja terbit, dia sudah siap membawa domba itu ke kaki bukit. Tapi ayah melarangnya karena masih terlalu pagi.

Pukul sepuluh pagi, Deden, Aldi dan Herman sudah berada di kaki bukit. Tentu saja bersama domba yang sedang lincah-lincahnya itu. Mula-mula mereka membiarkan domba itu memakan rumput sampai kenyang. Kemudian mereka mengajaknya bermain. Pertama sekali mereka bermain kuda-kudaan. Seru sekali. Kemudian mereka bermain dorong-dorongan.

Deden mendorong kepala domba itu. Tapi tenaga domba itu  lebih kuat. Deden terjatuh mencium tanah. Dua teman Deden tertawa terbahak-bahak. Ternyata tidak ada seorang pun di antara mereka yang berhasil mendorong domba itu. Meskipun dengan tenaga tiga orang, tetap saja mereka kalah.

Sore hari setelah mengikat domba itu di belakang rumah, Deden diajak ayah ke rumah Ustadz Mirja. Entah apa yang kemudian dibicarakan ayah dan lelaki itu. Tapi sepulang dari rumah Ustadz Mirja, dilanjutkan shalat maghrib berjamaah di masjid, Deden mulai heran. Ayah mengeluarkan parang panjang dari dalam lemari. Dia mengasahnya sampai mengilat dan tajam. Ayah mau berbuat apa? 

"Ayah mau jaga malam? Kan giliran ayah  sudah tadi malam!" Deden duduk di seberang ayah.

"Parang panjang ini bukan untuk jaga malam. Lagi pula, untuk apa membawa parang panjang segala? Memangnya ayah tukang sabet orang?" Dia  tertawa. Deden meringis. "Sekarang ayah mau bertanya, apakah Deden mau menyerahkan barang kesayangan Deden kepada orang yang lebih membutuhkan?"

"Kalau mereka butuh tidak apa-apa Deden serahkan, Yah," jawab Deden. Ayah sering mengatakan bahwa setiap manusia itu harus saling tolong-menolong.

"Nah, sekarang parang panjang ini ayah asah adalah untuk dombamu. Besok dia akan disembelih. Kau akan berkurban, Den," tekan ayah. Deden terkejut. Dia langsung berlari ke kamar. Dia merasa sedih, ternyata domba itu dibeli ayah bukan untuk dipelihara, melainkan akan dikurbankan. Ayah menyusul Deden ke dalam kamar.

"Den, demi menjalankan perintah Allah, Nabi Ibrahim mau mengurbankan anaknya, Ismail, yang kemudian dirubah Allah menjadi kibas. Kenapa kamu tidak rela mengurbankan domba yang memang ayah beli untuk hewan kurbanmu?" Ayah keluar kamar. Deden termenung. Dia masih sangat berat melepaskan dombanya untuk dikurbankan. Sebentar kemudian,  dia akhirnya berjalan mendekati ayah yang sedang bersiap-siap shalat isya berjamaah di  masjid.

"Apakah besok Deden boleh ikut melihat domba itu dikurbankan, Ayah?" tanya Deden yang dijawab ayah dengan anggukan. Dielusnya pelan kepala Deden sambil tersenyum lega.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun