Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gila Cicilan

25 April 2019   08:44 Diperbarui: 25 April 2019   08:46 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Hampir saja saya terjatuh karena kantuk yang berat.Lampu-lampu di ruangan ini menyala satu demi satu. Seorang lelaki ubanan, sedari tadi bolak-balik seperti seterikaan.

Saya menebak dari punuknya yang mulai bongkok, dia berusia hampir enam puluh lima tahun. Tapi, dari bau minyak angin di tubuhnya, membuat saya meralat. Mungkin tujuh puluh tahun. Entahlah!

Medadak, kenangan beberapa minggu lalu, seperti silet melukai hati saya. Telah cukup banyak saya berkorban. Jalan itu sudah saya robah; kubangan kerbau menjadi  semulus tol. Parit yang tak teratur bentuknya, lurus bak dimistar. Pun tiang-tiang listrik di tempat jin buang anak. Sepaket rebana dan karpet sholat.

Saya mengakui, jalan, parit, tiang-tiang listrik, semuanya biaya dari pemerintah. Saya hanya menggolkannya, agar kampung itu kelihatan sejahtera. Imbasnya, nama saya akan harum. Nama harum akan memudahkan jemari tangan itu mencoblos surat suara bergambar saya.

Hanya sepaket rebana dan karpet sholat yang mutlak dari kantong  saya. Bukan mutlak sebenarnya. Itu pinjaman dari teman Tionghoa pemimpin perusahaan ekspor-impor. Jumlahnya tak banyak. Sekitar lima puluh juta. Uang serangan fajar yang lumayan menguras kantongnya. Hampir delapan ratus juta.

Satu harapan saya, apabila terpilih menjadi DPRD kota, maka uang pinjaman akan lunas. Tentu saja dengan membarternya dengan proyek-proyek pembelian barang kepada si Tionghoa. Saya menjadi lebih sering tersenyum. 

Hanya saja, harapan melenceng dari kenyataan. Saya kalah telak. Hanya dua puluh suara yang menepi. Selebihnya dibagi dengan Sopuan, Matdirin, Marlepen dan teman-teman.

"Bapak Usik bin Asik." Perempuan berwajah kulit jeruk purut, berkaca mata pantat botol, dan bergigi tak utuh, memanggil saya. Dia mengarahkan saya ke dalam ruangan lain. Ada lelaki berkepala plontos di belakang meja. Saya melihat namanya tertempel di dinding; dokter Salamon. Saya sebentar teringat minyak ikan yang menjadi campuran tonik itu.

"Silakan duduk, Pak Musik," ucapnya dengan wajah sinis.

"Usik, Pak. Bukan Musik."

"Ya, apa keluhan anda, Pak Usil?" 

"Begini, Dokter Salmon."

Dia meralat, "Bukan Salmon, tapi SALAMON." Saya tersenyum dalam hati.

"Apa keluhan anda?"

"Belakangan ini saya sering tersenyum dan merasa gila." Dokter Salamon berdiri. Dia memeriksa mata, lobang hidung dan lobang mulut saya.

"Ah, tak apa-apa. Anda sehat-sehat saja, Pak Usin."

Prettt! Salah ucap lagi dokter ini. "Tapi, saya tetap merasa gila, Dokter Salting."

"SALAMON."

"Ya, itu yang benar." Saya terdiam sejenak. "Tolong, Dok. Beri saya rekomendasi gila. Rawat saya di rumah sakit ini."

Dokter itu menggeleng. "Anda sehat-sehat saja, Pak."

"Tolong, Dok."

"Anda caleg?" Saya mengangguk. "Mau menjadi gila itu butuh biaya." Dia menyebutkan nominal yang membuat saya terbelalak. Tapi, dibanding dengan hutang saya kepada Tionghoa itu, masih lumayan. 

"Biaya bisa dicicil. Gilanya juga dicicil. Seperempat gila, setengah gila, tiga perempat gila, gila penuh."

"Deal!"

Sejak hari itu otomatis rumah saya pindah dari Jalan Warasasih ke rumah sakit jiwa. Si Tionghoa itu masih beberapa kali menelepon istri saya. Mendengar kata-kata gila, dia akhirnya menyerah.

Perlahan saya bersosialisasi dengan pasien lain. Saya sering baku-hantam karena dianggap gila. Terkadang saya bermain sepak bola di halama rumah sakit jiwa. Saya senang, tertawa-tawa dengan pasien lain.

Istri dan anak saya sekali seminggu menjenguk saya. Setelah itu sebulan sekali. Genap lima bulan, istri saya tak menjenguk lagi, hanya anak saya. Tujuh bulan kemudian, anak saya pun tak datang.

Setahun lamanya, tiba-tiba mereka menjengukku, bertiga. Ada Sofiah istriku, Biko, anakku, dan Faridsong. Faridsong? Bukankah dia?

"Mas Usik, saya permisi memboyong istri dan anak anda. Minggu depan kami akan menikah."

Saya ingin marah, meledak-ledak. Tapi, saya mencoba tersenyum. Setelah mereka pergi, saya menangis. 

Malam hari, dokter Salamon menemui saya, "Selamat, Pak Usik. Anda sudah gila penuh. Jadi, ke depan tak perlu keluar uang untuk dirawat di sini. Dia menepuk-nepuk pundak saya. Dan saya semakin sering tersenyum.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun