"Biaya bisa dicicil. Gilanya juga dicicil. Seperempat gila, setengah gila, tiga perempat gila, gila penuh."
"Deal!"
Sejak hari itu otomatis rumah saya pindah dari Jalan Warasasih ke rumah sakit jiwa. Si Tionghoa itu masih beberapa kali menelepon istri saya. Mendengar kata-kata gila, dia akhirnya menyerah.
Perlahan saya bersosialisasi dengan pasien lain. Saya sering baku-hantam karena dianggap gila. Terkadang saya bermain sepak bola di halama rumah sakit jiwa. Saya senang, tertawa-tawa dengan pasien lain.
Istri dan anak saya sekali seminggu menjenguk saya. Setelah itu sebulan sekali. Genap lima bulan, istri saya tak menjenguk lagi, hanya anak saya. Tujuh bulan kemudian, anak saya pun tak datang.
Setahun lamanya, tiba-tiba mereka menjengukku, bertiga. Ada Sofiah istriku, Biko, anakku, dan Faridsong. Faridsong? Bukankah dia?
"Mas Usik, saya permisi memboyong istri dan anak anda. Minggu depan kami akan menikah."
Saya ingin marah, meledak-ledak. Tapi, saya mencoba tersenyum. Setelah mereka pergi, saya menangis.Â
Malam hari, dokter Salamon menemui saya, "Selamat, Pak Usik. Anda sudah gila penuh. Jadi, ke depan tak perlu keluar uang untuk dirawat di sini. Dia menepuk-nepuk pundak saya. Dan saya semakin sering tersenyum.
---sekian---