"Alhamdulillah, Bu!" jawabku tersipu. Tak terasa hidungku mengembang karena bangga.
Tapi lima bulan lalu, di malam sebelum acara pesta pernikahan Rafii---kebetulan rumah kami bersebelahan---iseng-iseng Pak Sukarlan, Marijon, Pak Naf, mengajak ayah bermain kartu remi. Kulihat ayah ingin menampik. Berhubung sesama tetangga, dia tak enak hati untuk menolaknya. Maka, di teras rumah, mereka kemudian menggelar permainan itu.
"Hanya sekali ini saja!" kaya ayah ketika emak yang sudah tiga tahun mengidap diabetes, sengaja menegurnya.
"Takutnya, sekali-sekali, jadi keterusan." Emak tertunduk. Selalu saja dia tak dapat menentang mata ayah ketika berusaha menyadarkan suaminya itu. Emak memegang prinsip bahwa penguasa rumah tangga adalah suami. Untuk mengatakan yang benar kepadanya, emak terlihat sangat hati-hati.
Apakah teras kami sepi di malam besok harinya? Sama sekali tak! Dengan alasan telah selesai membereskan perangkat pesta pernikahan Rafii, para lelaki tanpa permisi-permisi lagi, menggelar permainan kartu remi di teras rumah kami. Awalnya ayah tak ingin ikut. Berhubung tertarik melihat permainan yang seru, dia pun tak dapat menolak ajakan Pak Sukarlan untuk menggantikan Marijon yang sakit perut.
Entah merasa tak ada kegiatan lain, atau atas desakan teman-temannya, selepas shalat Isya berjamaah di musholla, Â ayah selalu ikhlas membiarkan permainan kartu remi digelar di teras rumah kami. Emak sampai menggeleng-geleng kesal. Terlebih-lebih aku. Rasanya malu ketika Misbah, tetangga satu RT denganku, mengatakan ketaksetujuannya terhadap permainan kartu remi itu.
"Hampir setiap malam ada orang bermain kartu di rumahmu ya, Mien?"
Aku merapikan jilbab yang ditiup angin.Â
"Iya!"
"Apakah kau tak menegur mereka? Tak enak lho, Mien. Masa' teras rumah Pak Haji dijadikan ajang perbuatan yang sia-sia! Aku dengar selentingan juga, banyak warga yang berdekatan rumah denganmu, mulai tak senang dengan kegiatan itu. Mereka tak nyaman istirahat. Selalu saja ada tawa lepas, atau perdebatan kecil yang membuat mereka tersentak."
Aku menatap keluar jendela bis kota. Hatiku tak nyaman. Sebagai orang yang sudah kapalan masalah agama, seharusnya aku tak boleh berpangku tangan melihat kesia-siaan yang terjadi di sekelilingku. Apalagi di antara mereka itu bercokol seorang ayah yang sudah berpredikat haji. Bukannya menjadi contoh teladan, dia malahan terpengaruh dan terjebak kemaksiatan.