Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kartu Pak Haji

24 April 2019   17:14 Diperbarui: 24 April 2019   17:35 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Setelah pulang dari Mekah sekian bulan lalu, aku berharap ayah menjadi haji mabrur. Betapa bangganya aku melihat dia turun dari pesawat dan melambai-lambai kepada kami yang merubung di antara para penjemput. Itu ayahku! Batinku kala itu. Dia kelihatan terhormat dengan balutan pakaian putih bersih.

Harapanku agar ayah menjadi haji mabrur, memang tak muluk-muluk. Meskipun sebenarnya dia bukanlah orang alim beberapa tahun lampau, sebelum pensiun dari perusahaan negara itu. Kuingat bagaimana setiap akhir Minggu, dia selalu disibukkan para tamu dengan berbagai buah tangan yang kerap memenuhi ruang depan rumah.

Ayah bukanlah orang terpandang. Juga bukan pejabat teras di perusahaan negara itu. Dia hanya ketua panitia lelang yang berkuasa penuh menentukan siapa pemenang lelang setiap tender berlangsung. Tentu mafhum adanya jika dia selalu menerima benda-benda sogokan itu

Setelah pensiun, dan berjanji akan segera menunaikan ibadah haji, ayah praktis berubah. Setiap hari dia menunaikan shalat berjamaah di musholla berjarak selemparan batu dari rumah kami. Dia pun rajin mengaji---meski terbata-bata---usai shalat Maghrib. Ah, hati siapa yang tak senang. Terutama bagiku yang jebolan sarjana agama. Aku tak merasa berdosa lagi karena dia telah berubah tanpa aku berusaha menegurnya. 

Bagaimanapun aku belum pernah memberi komentar tentang perbuatan-perbuatan ayah yang menentang agama saat dia masih pegawai aktif. Ayah orang yang keras. Dia tak mau mendengar wejangan dari orang lain, apalagi posisi orang itu lebih rendah darinya dilihat dari segi umur.

Rasa banggaku semakin mengembang manakala ayah mulai fasih bercerita tentang agama. Beberapa kali dia menjadi pembawa acara setiap kali ada kegiatan keagamaan maupun kegiatan semi resmi lainnya di kampung kami. 

"Saya mengundang Pak Haji ke acara walimatul 'urus putri saya. Sekalian Pak Haji menjadi pembawa acaranya. Ini bukannya memaksa lho, Pak. Hanya meminta" Pak Sofuan yang tinggal berseberangan RT dari RT kami, menemui ayah suatu hari.

"Tak apa-apa. Saya Insya Allah datang."

Apa yang terjadi selanjutnya? Ayah mendapat amplop berisi uang dua ratus ribu rupiah dari Pak Sofuan. Kata ayah, "Aku tak memintanya. Dia yang memaksa dan menyelipkannya ke saku bajuku." Kami sekeluarga menanggapinya sambil tersenyum senang.

Begitulah, dari waktu ke waktu ayah semakin sering dipanggil orang menjadi pembawa acara. Sekali dua dia mengadakan majelis taqlim di musholla dekat rumah. 

"Mungkin ayahmu memperoleh haji mabrur." Bu Bedah menyenggol rusukku ketika kami sama-sama membeli ikan teri di kedai sampah Bu Ainun.

"Alhamdulillah, Bu!" jawabku tersipu. Tak terasa hidungku mengembang karena bangga.

Tapi lima bulan lalu, di malam sebelum acara pesta pernikahan Rafii---kebetulan rumah kami bersebelahan---iseng-iseng Pak Sukarlan, Marijon, Pak Naf, mengajak ayah bermain kartu remi. Kulihat ayah ingin menampik. Berhubung sesama tetangga, dia tak enak hati untuk menolaknya. Maka, di teras rumah, mereka kemudian menggelar permainan itu.

"Hanya sekali ini saja!" kaya ayah ketika emak yang sudah tiga tahun mengidap diabetes, sengaja menegurnya.

"Takutnya, sekali-sekali, jadi keterusan." Emak tertunduk. Selalu saja dia tak dapat menentang mata ayah ketika berusaha menyadarkan suaminya itu. Emak memegang prinsip bahwa penguasa rumah tangga adalah suami. Untuk mengatakan yang benar kepadanya, emak terlihat sangat hati-hati.

Apakah teras kami sepi di malam besok harinya? Sama sekali tak! Dengan alasan telah selesai membereskan perangkat pesta pernikahan Rafii, para lelaki tanpa permisi-permisi lagi, menggelar permainan kartu remi di teras rumah kami. Awalnya ayah tak ingin ikut. Berhubung tertarik melihat permainan yang seru, dia pun tak dapat menolak ajakan Pak Sukarlan untuk menggantikan Marijon yang sakit perut.

Entah merasa tak ada kegiatan lain, atau atas desakan teman-temannya, selepas shalat Isya berjamaah di musholla,  ayah selalu ikhlas membiarkan permainan kartu remi digelar di teras rumah kami. Emak sampai menggeleng-geleng kesal. Terlebih-lebih aku. Rasanya malu ketika Misbah, tetangga satu RT denganku, mengatakan ketaksetujuannya terhadap permainan kartu remi itu.

"Hampir setiap malam ada orang bermain kartu di rumahmu ya, Mien?"

Aku merapikan jilbab yang ditiup angin. 

"Iya!"

"Apakah kau tak menegur mereka? Tak enak lho, Mien. Masa' teras rumah Pak Haji dijadikan ajang perbuatan yang sia-sia! Aku dengar selentingan juga, banyak warga yang berdekatan rumah denganmu, mulai tak senang dengan kegiatan itu. Mereka tak nyaman istirahat. Selalu saja ada tawa lepas, atau perdebatan kecil yang membuat mereka tersentak."

Aku menatap keluar jendela bis kota. Hatiku tak nyaman. Sebagai orang yang sudah kapalan masalah agama, seharusnya aku tak boleh berpangku tangan melihat kesia-siaan yang terjadi di sekelilingku. Apalagi di antara mereka itu bercokol seorang ayah yang sudah berpredikat haji. Bukannya menjadi contoh teladan, dia malahan terpengaruh dan terjebak kemaksiatan.

"Bolehkah Mien berbicara empat mata dengan Ayah?" Aku menemui ayah setelah teman-temannya yang bermain kartu remi itu pulang ke rumah masing-masing.

"Lho, biasanya jam dua pagi begini, kau sudah tertidur lelap." Dia seolah ingin mengalihkan perbincangan.

"Mien tak senang melihat ayah keranjingan main kartu terus."

Ayah duduk di sofa. Dia mengorek-ngorek lobang telinga. Mungkin dia menganggap perkataanku sepele. Atau dia malahan menganggap diriku yang sepele.

"Untuk apa kau mengurusiku? Kami sekadar main. Lagi pula itu perlu mengakrabkan warga. Apa kau pikir selama ini kami duitan? Kau salah besar!"

"Tapi bukanlah lebih baik kumpul-kumpulnya membicarakan agama?" Aku tertunduk melihat tatapan ayah yang tajam. "Beberapa tetangga kita juga mulai tak nyaman melihat kegiatan itu. Apa kata mereka? Hei, rumah Pak Haji jadi tempat permainan kartu remi! Aku malu, Pak!"

Dia menepuk sofa. "Kau mulai seperti ibumu. Kerjanya mengasih nasihat terus. Teguran terus. Urus diri dulu, baru mengurus diri orang lain."

Aku terdiam. Aku tahu maksud ayah. Sampai berusia tiga puluh tahun lebih begini, aku belum menemukan jodoh. Tak ingin sindirannya semakin tajam, aku memilih masuk ke kamar. Aku hanya bisa berharap semoga Allah membukakan pintu hati ayah yang tertutup rapat.

Entah ingin menunjukkan kekuasaan sosok ayah, dia semakin menggilai kartu remi. Bahkan pernah beberapa malam, ayah baru menutup pintu gerbang teras, saat jam menunjukkan pukul empat pagi. 

Lebih parah lagi, berbilang malam berkutnya, mereka mulai bermain kartu remi memakai duit. Sekali-dua aku mengintip dari sela pintu, bagaimana sumringahnya wajah-wajah mereka yang memperoleh kemenangan. Bagaimana kusutnya wajah-wajah yang mendapat kekalahan. Bahkan di antara mereka sering terjadi pertengkaran kecil. 

"Ayah bermainnya duitan, ya?" tegurku ketika dia hendak melaksanakan shalat Shubuh.

"Kecil-kecilan saja."

"Astagfirullah! Ayah, sadar, Yah!"

"Diam!"

Ayah selalu menunjukkan muka masam kepadaku setelah pertengkaran kecil itu. Bahkan mengajakku berbicara, pun kalau ada yang sangat penting untuk dibincangkan. Sementara hati ini semakin merana. Selain tak kuasa melihat perbuatan ayah, aku juga malu mendengar selentingan warga yang semakin santer. Pak RT pun pernah menegur perbuatan ayah melalui aku.

* * *

Malam hitam pekat sepekat kopi yang terhidang di meja teras rumah. Hujan barangkali akan turun sebentar lagi. Ayah dan beberapa temannya masih memirit kartu. Terdengar sesekali suara sengau atau tawa terbahak-bahak. Antara sadar dan tidak, mataku masih menelesuri lembaran jawaban para siswa tempatku mengajar.

Tiba-tiba aku mendengar suara ribut-ribut di teras rumah. Ah, paling-paling hanya perdebatan sengit antar pemain kartu. Tapi ketika aku mendengar suara ayah meminta ampun, aku bergegas keluar rumah disusul ibu yang berjalan terseok-seok.

Aku terbelalak melihat kondisi di luar rumah. Ada empat polisi di situ berdiri sangar. Sementara orang yang bermain kartu remi sudah mendekam di bak mobil pick up. Ayah termasuk di antaranya. Dia menatap ke arahku dan ibu seperti merasa bersalah. 

Perlahan ayah melepaskan peci dari kepalanya, kemudian meremas-remasnya. Seiring mobil pick-up berjalan perlahan, aku melihat orang-orang menatapku seolah menghina. Aku merasa sangat malu. Sedemikian malu.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun