Setelah pulang dari Mekah sekian bulan lalu, aku berharap ayah menjadi haji mabrur. Betapa bangganya aku melihat dia turun dari pesawat dan melambai-lambai kepada kami yang merubung di antara para penjemput. Itu ayahku! Batinku kala itu. Dia kelihatan terhormat dengan balutan pakaian putih bersih.
Harapanku agar ayah menjadi haji mabrur, memang tak muluk-muluk. Meskipun sebenarnya dia bukanlah orang alim beberapa tahun lampau, sebelum pensiun dari perusahaan negara itu. Kuingat bagaimana setiap akhir Minggu, dia selalu disibukkan para tamu dengan berbagai buah tangan yang kerap memenuhi ruang depan rumah.
Ayah bukanlah orang terpandang. Juga bukan pejabat teras di perusahaan negara itu. Dia hanya ketua panitia lelang yang berkuasa penuh menentukan siapa pemenang lelang setiap tender berlangsung. Tentu mafhum adanya jika dia selalu menerima benda-benda sogokan itu
Setelah pensiun, dan berjanji akan segera menunaikan ibadah haji, ayah praktis berubah. Setiap hari dia menunaikan shalat berjamaah di musholla berjarak selemparan batu dari rumah kami. Dia pun rajin mengaji---meski terbata-bata---usai shalat Maghrib. Ah, hati siapa yang tak senang. Terutama bagiku yang jebolan sarjana agama. Aku tak merasa berdosa lagi karena dia telah berubah tanpa aku berusaha menegurnya.Â
Bagaimanapun aku belum pernah memberi komentar tentang perbuatan-perbuatan ayah yang menentang agama saat dia masih pegawai aktif. Ayah orang yang keras. Dia tak mau mendengar wejangan dari orang lain, apalagi posisi orang itu lebih rendah darinya dilihat dari segi umur.
Rasa banggaku semakin mengembang manakala ayah mulai fasih bercerita tentang agama. Beberapa kali dia menjadi pembawa acara setiap kali ada kegiatan keagamaan maupun kegiatan semi resmi lainnya di kampung kami.Â
"Saya mengundang Pak Haji ke acara walimatul 'urus putri saya. Sekalian Pak Haji menjadi pembawa acaranya. Ini bukannya memaksa lho, Pak. Hanya meminta" Pak Sofuan yang tinggal berseberangan RT dari RT kami, menemui ayah suatu hari.
"Tak apa-apa. Saya Insya Allah datang."
Apa yang terjadi selanjutnya? Ayah mendapat amplop berisi uang dua ratus ribu rupiah dari Pak Sofuan. Kata ayah, "Aku tak memintanya. Dia yang memaksa dan menyelipkannya ke saku bajuku." Kami sekeluarga menanggapinya sambil tersenyum senang.
Begitulah, dari waktu ke waktu ayah semakin sering dipanggil orang menjadi pembawa acara. Sekali dua dia mengadakan majelis taqlim di musholla dekat rumah.Â
"Mungkin ayahmu memperoleh haji mabrur." Bu Bedah menyenggol rusukku ketika kami sama-sama membeli ikan teri di kedai sampah Bu Ainun.