Istriku mesam-mesem. "Dari istri Pak Wil."
"Oh, aku mau minum air putih saja." Aku bergegas ke dapur.
"Paaak!"
Aku masuk ke kakus dan merenung.
* * *
Senja itu aku merasa beroleh rejeki lumayan. Pembeli menumpuk. Barang pecah-belah bersisa sedikit. Sengaja aku membagi keuntungan kepada keluargaku di rumah. Di kedai martabak Haji Samiun, aku berhenti. Empat bungkus martabak telor kuah kari langsung kubeli. Dua untukku dan istri, satu untuk anakku dan satu untuk ibu mertua.
Aku berharap istriku melupakan Pak Wil. Tentang harta-hartanya, juga jabatannya. Aku mungkin bisa diserang penyakit jantung karena stress diteror masalah Pak Wil terus. Pagi hari saat sarapan, Pak Wil yang keluar dari mulutnya. Senja hari saat makan malam, Pak Wil hadir di antara nasi dan lauk sekadarnya. Bahkan saat di peraduan, Pak Wil hadir di antara kami. Akibatnya istriku lebih sering memunggungiku. Hingga aku mencoba membuntal kehadiran nama Pak Wil, dan membuangnya ke tong sampah.Â
Ehm, tapi istriku kelihatan seperti lain dari biasanya. Dia menyambutku dengan wajah super lecek. Ada masalah apa? Apakah ibu mertua merajuk lagi, lalu minggat ke rumah menantunya yang lain? Apakah anak kami berbuat ulah memukul anak orang lain, atau bibirnya yang berdarah karena dikeroyok teman-temannya?Â
"Ayo, kita makan martabak telor!" Prasangkaku tak berjawab. Ibu mertua muncul dari kamar dengan mulut penuh pujian. Aku menantu yang baik karena bisa menebak seleranya. Anakku tengah mengerjakan pe-er, dan langsung mengejar sebungkus martabak telor itu.
Ketika ruang dapur telah dibekap aroma kuah kari, aku baru sadar istriku masih di ruang tengah. Sengaja kubiarkan ibu mertua dan anakku bersantap. Aku kemudian mendekati istriku. Aku ingin mengatakan bersedia mendekati Pak Wil agar istriku puas. Aku akan meminta Pak Wil dengan sangat hormat, mempertemukanku dengan bupati.Â
Ya, mungkin istriku benar dengan segala impiannya yang menggebu. Mungkin aku yang salah tak mau merubah pola pikir. Idealis memang perlu, tapi jangan sampai menyengsarakan diri.