Biasanya istriku dan para mantu langsung tertawa. Aku menanggapinya dengan senyuman. Ah, kalau sudah tua begini, apa-apa saja harus dipantangkan. Tak boleh makan makanan berlemak, yang asin-asin, yang pedas-pedas, yang keras-keras dan segala makanan yang sesungguhnya amat kuharapkan. Coba siapa yang tak kesal ketika melihat para anak-menantu-lah yang menghabiskan panganan oleh-oleh mereka itu. Hingga tak jarang aku nyeletuk, "Orang yang membawakan oleh-oleh kepada seseorang, tak boleh ikut memakan atau menggunakan oleh-oleh itu. Nanti lututnya sakit." Sindiran itu selalu diucapkan ibu-ibu di kampungku sekian puluh tahun lalu.
Jawaban mereka pasti; "Takhayul!"
Tapi sungguh, kekesalanku tak akan berlangsung lama. Biasanya setelah mereka pulang ke rumah masing-masing, istriku akan mengeluarkan sisa oleh-oleh yang berhasil dia sembunyikan. Oya, sebelum lupa, oleh-oleh yang diijinkan para anak-menantu untuk kucicipi berdua istri hanyalah obat-obatan, buah, Â juga jamu-jamuan.
Seperti sore ini, sepeninggal para anak-menantu, istriku langsung mengeluarkan seperempat loyang kue dari lemari. Lalu dia membuat segelas susu untuknya dan secangkir kopi untukku. Kemudian kami menikmati lalu-lalang kendaraan di jalanan sambil bercerita ngalor-ngidul.
Tatkala sedang asyik bercerita, tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah berhenti di halaman rumah. Aku dan istri kelabakan. Bergegas kami menyembunyikan kue dan minuman-minuman itu. Siapa tahu yang ada di dalam mobil itu adalah anak-menantu kami, kan bisa berabe!
Tapi ternyata kami salah besar. Yang keluar dari dalam adalah seorang lelaki tampan dan perempuan rupawan. Di belakang mereka seorang tua berjalan sambil memegang tongkat. Dan dua orang bocah kembar lucu berlari menuju teras.
"Siapa ya, Dek?" tanyaku.
"Kurang tahu, Mas. Tapi lelaki tua itu seperti kukenal. Seperti...."
"Saya Brip, Pak, Bu. Dan ini bapak saya; Mang Del. Ini istri dan mereka anak kembar saya."
"Brip?" Aku dan istri takjub bukan kepalang. Segera kami salami mereka dengan akrab.
Brip dan Mang Del akhirnya mengulang kenangan silam. Bagaimana mereka diusir dari tanah sendiri dan merantau sebagai gelandangan ke kota berbeda. Tapi Tuhan berkehendak lain. Setahun luntang-lantung, Mang Del akhirnya mendapat pekerjaan juru tulis di sebuah pabrik kayu. Dia memang seorang tamatan SMA yang berotak encer.