Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mudik Tak Mudik

17 April 2019   23:30 Diperbarui: 17 April 2019   23:39 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

"Ini, Mas Rul. Ah, jadi tak enak nih. Saya butuh uang mendadak. Bapak saya menjadi korban tabrak lari."

"Innalilahiwainnailaihi rojiun." Aku mengusap wajah saking terkejutnya. "Kapan kejadiannya?" 

"Sekitar tiga jam lalu. Dan kaki bapak harus segera diamputasi. Pihak rumah sakit meminta uang muka." Dia mengusap-usap punggung tangan kanannya. "Sebenarnya saya dan istri mempunyai simpanan dua juta. Tapi masih kurang satu juta lima ratus lagi. Bagaimana, Mas? Kalau bisa, saya tolong dipinjami. Pokoknya dalam waktu dekat akan saya ganti."

"Baiklah! Saya kompromi dulu dengan Ira." Aku menoleh ke wajah istriku yang semakin masam. "Nanti saya akan ke rumah, Mas Jai."

Perdebatan pun meledak di rumah setelah Mas Jai permisi pulang. Ira, istriku, ngotot mempertahankan pendapatnya. Satu juta lima ratus itu sama dengan total ongkos mudik kami pulang-pergi. Apa jadinya bila uang itu kupinjamkan kepada Mas Jai? Mimpi  Ira akan hancur berkeping-keping. Begitu juga mimpi anak-anak. Apakah aku tega membuat mereka kecewa setelah harapan itu dibangun sejak sembilan bulan lalu?

Tapi Mas Jai itu teman akrabku. Dia paling sering membantuku merapikan lapak ketika aku buru-buru tutup. Dia juga mau menjualkan ikanku ketika aku harus mengantar anak-anak ke sekolah. Dan semuanya dia lakukan tanpa pamrih. Mengapa saat dia kesusahan aku seolah menutup mata? Mudik bisa dilakukan kapan saja, tapi bila bapaknya akhirnya kalah bertaruh dengan maut, siapa yang bisa mengganti nyawa?

Aku memang selalu tegas, cenderung sedikit keras dalam mempertahankan prinsip dan keinginan. Ira terpaksa menyerah ketika uang untuk membeli tiket bis kuambil dari lemari. Anak-anak menatapku kecewa. Mereka pura-pura asyik bermain halma di atas lantai. 

Aku sejenak meyakinkan mereka, bahwa membantu sesama lebih penting daripada mementingkan keinginan diri sendiri. Bagaimanapun, hal yang sama bisa terjadi kepada kami. Bagaimana seandainya saat kami kesusahan tanpa seorang pun mau membantu? Kan sakit rasanya di dada!

Ira dan anak-anaku mencoba maklum. Namun itu hanya kepura-puraan. Usai aku mengantarkan uang pinjaman kepada Mas Jai, orang-orang terdekatku itu seolah menjadi orang asing di rumahku sendiri. Kami seperti saling tak kenal. Tak ada perbincangan. Tak ada tegur sapa kecuali terpaksa. Aku telah diboikot! Ya, terpaksalah diri ini mengelus dada. Berbuat kebaikan terkadang hanya membahagiakan pihak yang diberi kebaikan itu, sebaliknya orang-orang terdekat yang memberi kebaikan malahan benci. 

Hanya saja aku yakin Allah senang. Aku santai saja menjalani waktu yang bergulir cepat. Rencanaku tak membuka lapak ikan akibat kami akan mudik, terpaksa dipatahkan. Aku bosan di rumah menghadapi orang-orang berwajah masam dan dingin. Lebih baik mencari nafkah. Selain pikiran berkembang, emosi tentu tak melulu terbakar.

Tiba-tiba Ira datang menyusulku ke pasar. Jantungku berdebar. Aku telah siap menerima konsekuensi perbuatanku. Bisa jadi dia dan anak-anak ngotot mudik tanpaku. Bisa jadi dia telah berhutang kepada sesiapa, sekadar mendapatkan uang pembeli tiket mudik pulang-pergi. Ya, Allah, aku telah dikalahkan keluarga sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun