Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mudik Tak Mudik

17 April 2019   23:30 Diperbarui: 17 April 2019   23:39 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Tiga hari lagi lebaran. Rumah benar-benar kacau. Kardus, bungkus kemplang, tas jinjing dan koper besar menghiasi ruang tamu yang sempit. Begitupun wajah istriku dan anak-anak terlihat sumringah. Mereka seperti ingin hari ini cepat berlalu. Besok sore tinggal duduk manis di dalam bis menikmati hembusan angin dan pemandangan pinggir jalan yang saling berkejaran ke huluan.

"Semua sudah siap. Tinggal besok pagi mengambil pesanan pempek di warung Cik Romlah." Tawa istriku berderai.

Kami memang sudah hampir tiga lebaran tak mudik ke rumah mertua. Alasannya klise. Selain seluruh sanak saudara dari pihakku berdomisili di Palembang, masalah ongkos dan segala kebutuhan di perjalanan maupun di kampung istriku, menjadi kendala. Ya, maklum saja, aku hanya seorang penjual ikan laut di lapak pasar pagi. 

"Hahaha, hatimu pasti sangat senang," timpalku sambil merapikan buku-buku yang berserakan di meja. Meskipun lebaran tahun ini kami mudik, rumah harus tetap rapi. Panganan sudah disiapkan lima toples, juga dua botol sirop markisa.

Aku sejenak membayangkan betapa beratnya perjuangan kami meluluskan niat mudik ini. Keuntungan dari berjualan ikan, selalu disisihkan sebagian oleh istriku untuk ditabung. Hal tersebut dia lakukan setelah keinginannya mudik mendesak-desak dada sembilan bulan lalu. Dia kangen berat kepada ibunya, sekalian ingin berziarah ke makam mendiang ayahnya. 

Itulah yang membuat kami ekstra mengencangkan ikat pinggang. Tak ada lagi jalan-jalan ke mall atau kebun binatang. Tak ada lagi uang jajan untuk anak-anak di sekolah. Istriku sengaja memberikan mereka bontot berisi pempek atau makanan gorengan lainnya, plus botol plastik berisi air minum. 

Ya, rasanya senang juga melihat wajah istriku yang cerah. Anak-anak pun girang bukan main membayangkan mandi-mandi di sungai berair jernih di belakang rumah neneknya. Belum lagi kegiatan memancing di kolam. Belum lagi berpelesir naik beca bermotor bersama anak-anak kampung sambil bersenjatakan senapan air. Ya, ya. Empat tahun lalu kami sempat mudik, dan dua anakku itu sudah duduk di bangku esde.

***

Senja hari ketika aku dan istriku bersantai di depan televisi, tiba-tiba Mas Jai muncul di ambang pintu. Tak lazim wajahnya kusut dan matanya berkaca-kaca begitu. Biasanya dia selalu ceria. Dia suka berkelakar. Kami sesama penyewa lapak di pasar pagi, bahkan menyebutnya lumbung humor. Ajaib kalau suatu ketika wajahnya kusut. Apalagi dengan mata berkaca-kaca.

"Selamat sore, Mas Rul. Maaf mengganggu. Sudah hampir buka, nih." Mas Jai kelihatan kikuk. Istriku langsung memasang wajah sedikit masam. Dia mungkin menebak kedatangan Mas Jai ada apa-apanya, menjurus menyusahkan keluarga kami.

"Oh, tak apa-apa, Mas Jai. Bukanya masih lama kok. Mari silahkan duduk." Aku menggeser kursi ke dekatnya. Mas Jai menarik napas sebentar. Kemudian dia duduk sambil menundukkan kepala. "Ada apa, Mas? Kok susah amat kelihatannya?" lanjutku.

"Ini, Mas Rul. Ah, jadi tak enak nih. Saya butuh uang mendadak. Bapak saya menjadi korban tabrak lari."

"Innalilahiwainnailaihi rojiun." Aku mengusap wajah saking terkejutnya. "Kapan kejadiannya?" 

"Sekitar tiga jam lalu. Dan kaki bapak harus segera diamputasi. Pihak rumah sakit meminta uang muka." Dia mengusap-usap punggung tangan kanannya. "Sebenarnya saya dan istri mempunyai simpanan dua juta. Tapi masih kurang satu juta lima ratus lagi. Bagaimana, Mas? Kalau bisa, saya tolong dipinjami. Pokoknya dalam waktu dekat akan saya ganti."

"Baiklah! Saya kompromi dulu dengan Ira." Aku menoleh ke wajah istriku yang semakin masam. "Nanti saya akan ke rumah, Mas Jai."

Perdebatan pun meledak di rumah setelah Mas Jai permisi pulang. Ira, istriku, ngotot mempertahankan pendapatnya. Satu juta lima ratus itu sama dengan total ongkos mudik kami pulang-pergi. Apa jadinya bila uang itu kupinjamkan kepada Mas Jai? Mimpi  Ira akan hancur berkeping-keping. Begitu juga mimpi anak-anak. Apakah aku tega membuat mereka kecewa setelah harapan itu dibangun sejak sembilan bulan lalu?

Tapi Mas Jai itu teman akrabku. Dia paling sering membantuku merapikan lapak ketika aku buru-buru tutup. Dia juga mau menjualkan ikanku ketika aku harus mengantar anak-anak ke sekolah. Dan semuanya dia lakukan tanpa pamrih. Mengapa saat dia kesusahan aku seolah menutup mata? Mudik bisa dilakukan kapan saja, tapi bila bapaknya akhirnya kalah bertaruh dengan maut, siapa yang bisa mengganti nyawa?

Aku memang selalu tegas, cenderung sedikit keras dalam mempertahankan prinsip dan keinginan. Ira terpaksa menyerah ketika uang untuk membeli tiket bis kuambil dari lemari. Anak-anak menatapku kecewa. Mereka pura-pura asyik bermain halma di atas lantai. 

Aku sejenak meyakinkan mereka, bahwa membantu sesama lebih penting daripada mementingkan keinginan diri sendiri. Bagaimanapun, hal yang sama bisa terjadi kepada kami. Bagaimana seandainya saat kami kesusahan tanpa seorang pun mau membantu? Kan sakit rasanya di dada!

Ira dan anak-anaku mencoba maklum. Namun itu hanya kepura-puraan. Usai aku mengantarkan uang pinjaman kepada Mas Jai, orang-orang terdekatku itu seolah menjadi orang asing di rumahku sendiri. Kami seperti saling tak kenal. Tak ada perbincangan. Tak ada tegur sapa kecuali terpaksa. Aku telah diboikot! Ya, terpaksalah diri ini mengelus dada. Berbuat kebaikan terkadang hanya membahagiakan pihak yang diberi kebaikan itu, sebaliknya orang-orang terdekat yang memberi kebaikan malahan benci. 

Hanya saja aku yakin Allah senang. Aku santai saja menjalani waktu yang bergulir cepat. Rencanaku tak membuka lapak ikan akibat kami akan mudik, terpaksa dipatahkan. Aku bosan di rumah menghadapi orang-orang berwajah masam dan dingin. Lebih baik mencari nafkah. Selain pikiran berkembang, emosi tentu tak melulu terbakar.

Tiba-tiba Ira datang menyusulku ke pasar. Jantungku berdebar. Aku telah siap menerima konsekuensi perbuatanku. Bisa jadi dia dan anak-anak ngotot mudik tanpaku. Bisa jadi dia telah berhutang kepada sesiapa, sekadar mendapatkan uang pembeli tiket mudik pulang-pergi. Ya, Allah, aku telah dikalahkan keluarga sendiri.

"Mas!" Anehnya dia mesem-mesem, bukan masam-masam. Aku sedikit curiga.

"Ada apa?" Aku acuh tak acuh.

"Kita berangkat hari ini ke kampung. Tutuplah lapaknya."

"Kau meminjam uang pembeli tiket, ya? Kepada siapa? Rentenir itu?" Amarahku hampir meledak. Tapi kutekan sebisanya, mengingat aku sedang puasa.

Dia mendadak seperti perempuan yang malu-malu menemui calon suaminya. Dia memegang tanganku. "Maafkan aku dan anak-anak ya, Mas. Kami sempat memboikot Mas hanya karena rencana mudik, Mas gagalkan. Tapi perbuatan Mas mendapat restu dari Allah. Tadi aku menerima kiriman wessel dari sebuah perusahaan."

"Kiriman wessel? Maksudmu?"

"Ya, kita menjadi salah seorang penerima hadiah thr dari perusahaan itu, karena dua bulan lalu aku iseng-iseng ikut menjadi peserta undian dengan mengirimkan kotak bekas teh ke alamat perusahaan itu."

"Kau serius?"

"Dua rius!" Dia tertawa. Aku menatap langit. Allah benar-benar pemurah. Maha pemurah.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun