Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Tuhan

21 Maret 2019   08:24 Diperbarui: 21 Maret 2019   08:37 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Pak Bedah bergegas pergi dan tak menoleh lagi. Tatapan heran dari Pak Lubai yang duduk di sebelah singgasana, pun tak digubrisnya. Penting apa urusan manusia ketimbang urusan dengan Allah? Begitu pikiran Pak Bedah berkecamuk.

* * *

Apa yang ditakutkan Pak Bedah, terjadilah. Manusia memang berkemauan kuat melakukan hal-hal yang menurut hatinya baik. Tapi Allah juga yang memiliki hak atas tubuh dan takdir hambanya. 

Begitulah, penyakit bengek Pak Bedah semakin menjadi. Hanya saja, dia berjuang semampunya sekadar mengumandangkan azan dan shalat fardhu---terkadang sendirian---di masjid. Konon, Asmir yang paling setia mematut setiap gerakan shalat Pak Bedah, pun terhalang oleh tugas di kantornya. Asmir dipekerjakan sementara di luar kota.

Berurai pula air mata Pak bedah, beradu-padu dengan air kesedihan yang menetes di nuraninya. Untuk apalah coba berpayah-payah membangun masjid beragam-rupa, bermegah-megah, kalau tak ada yang mau memakmurkannya. Alih-alih mendapat ridho dari Allah, hasil yang didapat hanyalah murka. Dan Pak Bedah paling tak mau dimurkai kalau soal memakmurkan masjid.

Pernah dengan langkah terseret dan mata berkunang, Pak Bedah berjuang menjangkau masjid. Tak ada yang melihatnya berpayah-payah di malam gulita. Semua terlalu sibuk dengan mimpi dan kasur empuk. 

Hingga di titik nadir kekuatan seorang hamba, Allah membuat Pak bedah lunglai. Ibarat daun tua yang layu diterbangkan angin.

Pak Bedah dilarikan ke rumah sakit setelah tak hanya bengek yang mendiami rongga tubuhya. Tapi penyakit darah tinggi menyusul seperti mata pedang. Apa yang bisa dilakukan lelaki itu, hanya menatap nanar segala sesuatu di sekelilingnya. Kemudian berakhir tatap kosong setelah dia mendiami ruangan kelas tiga.

Bu Bedah hanya bisa menangis ketika tak lebih hitungan jari tangan, dokter yang menangani suaminya itu angkat tangan. Menyerah karena tak sanggup menolak takdir Allah. Bahkan mata jarum infuspun tak bisa menembus arteri radialis pada pergelangan tangan lelaki malang itu.

Apa hal yang mendiami rongga dada Pak Bedah, hanyalah teringat masjid itu. Siapa lagi yang memakmurkannya? Apakah dia akan menjadi Rumah Allah, atau telah menjadi rumah tuhan, atau menjadi rumah han...? Oh, tidak! Mata Pak Bedah melotot. Bertitik air mata bergulir dari setiap sudut matanya.

"Sudah tiga kali napasnya berhenti, Asmir," kata Bu Bedah. Pak Rudin mengelus-elus dagu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun