Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Tuhan

21 Maret 2019   08:24 Diperbarui: 21 Maret 2019   08:37 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Betapa! Warga menyemut dengan peluh mengalir. Cahaya matahari yang pecah di ubun, tak membuat senyum mereka surut. Bahkan buar wangi kopi susu dan teh manis, berbaur wangi nasi pulen dan lauk-pauk menggoda, tak mampu mengalihkan mata mereka demi menatap bangunan megah dengan kubah berkilau-kilau itu.

Selesai sudah apa yang mereka impikan selama ini. Sebuah masjid! Ya, sebuah masjid di perkampungan kumuh itu. Bagaimanapun, warga telah lama menanggung malu. Telah lebih sepuluh tahun rumah-rumah tumbuh di situ. Padahal mayoritas warga yang mendiami adalah muslim. Lalu, kenapa  mereka harus berjalan jauh-jauh hanya untuk melaksanakan shalat jum'at, misalnya? 

"Ini harus kita wujudkan!" Itu ucapan Pak Rudin, tetua kampung, di hadapan warga, lima tahun lalu.

Tertatihlah mereka mencari dana ke sana-ke mari untuk membebaskan lahan. Tersaruk-saruk mencari tambahan membeli material dan membayar upah tukang. O, betapa beratnya. Betapa terkadang harus malu menjadi peminta-peminta untuk sebuah masjid. Betapa harus bersabar menerima penolakan orang, apalagi dibumbui kata-kata tak sedap.

"Bagaimana Pak Rudin?" Samleha, ibu rt 37, menyikut rusuk Pak Rudin. Lelaki itu tersenyum puas. 

"Ya, apalagi? Sekarang kita sudah berhasil membangun masjid. Tinggal kita mengisinya dengan beragam ibadah keagamaan," balasnya.

"Tentu tak lupa harus berterima kasih kepada Pak Musanif yang agung." Irul, petugas dari kelurahan, menimpali.

Pak Rudin tersenyum. Pak Musanif yang digadang-gadangkan menjadi calon walikota , cukup banyak menyumbang, hingga berdiri bangunan yang lumayan megah itu.

Setelah Pak Musanif menggunting pita tanda peresmian masjid, warga mulai berebut makan. Warga mengucapkan Allahu Akbar berkali-kali. 

* * *

Alhamdulillah, masjid itu selalu ramai diisi ibadah keagamaan. Tapi sekian hari terlewati, terlewat pula masjid itu diisi jamaah. Beragam alasan ditimpalkan. Terkadang karena urusan pekerjaan, urusan rumah tangga, sampai faktok uzur yang lainnya.

"Hari ini masjid ramai, Pak?" tanya Bu Bedah kepada lakinya yang tahun ini umurnya mencapai enam puluh tiga tahun.

Pak Bedah membuka kancing baju atasnya. Dia duduk mengaso di kursi rotan. Dikibas-kibaskannya peci hitam sekadar mengundang angin mendinginkan gerah.

"Hanya ada aku, Asmir dan dua anak kecil. Di belakang, ada Ibu Zainab. Sudah itu tak ada lagi," keluh lelaki itu. 

"Mungkin karena shalat lohor, Pak. Kan kalau maghrib dan isya, ramai!" Bu Bedah berdiri karena sudah selesai menampih beras.

"Ya, maghrib dan isya, jadilah. Ada lebih sepuluh jamaah. Tapi kalau lohor, ashar, apalagi shubuh, aku terkadang sampai takut kalau tak ada jamaah yang datang. Maka itu, meskipun bengekku sedang kambuh, aku tetap berusaha hadir di masjid sebelum waktu shalat tiba. Coba, kalau tak ada yang azan di situ? Coba kalau tak ada yang shalat berjamaah? Apa masjid itu layak disebut Rumah Allah? Rumah tuhan, mungkin iya. Agama apa saja bisa mengakui kalau masjid itu rumah tuhan mereka. Kan tak ada yang azan dan shalat berjamaah di situ."

"Husss! Bapak ini ngomong apa! Kan masih ada yang azan dan shalat berjamaah di situ!"

"Sampai kapan? Kalau Asmir ada uzur, bagaimana?"

"Ya, Bapak bisa shalat sendirian, kan? Yang penting ada azan!"

Pak Bedah berjalan mengikut istrinya ke dapur. Lalu, katanya, "Lha, kalau aku uzur, bagaimana?"

Istrinya diam.

"Kalau aku mati? Apakah masjid itu harus ikut mati dan menjadi rumah tuhan?"

"Husss!" Istrinya melotot.

"Atau menjadi rumah han...."

"Kuwalat, Pak!"

Keadaan hening. Pak Bedah terseok menuju kamar. Bengeknya tambah parah saja.

* * *

Pesta kawinan di rumah Pak Lubai benar-benar ramai. Ada tanggapan organ tunggal dan penari jaipongan dari Jawa. Jam tangan Pak Bedah menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Matanya berubah jelalatan.

"Kenapa mata Pak Bedah ini seperti tukang copet?" Harun menggodanya.

"Waktu shalat lohor hampir tiba, Run! Siapa yang azan di masjid?" Pak Bedah berdiri.

"Ah, sabar dulu, Pak Bedah. Organ tunggalnya lagi mantap-mantapnya. Lagian, soal azan kan bisa nanti."

Pak Bedah melotot. "Tempat itu masjid, Run. Bukan musholla apalagi langgar."

"Lha, makan dulu."

Pak Bedah bergegas pergi dan tak menoleh lagi. Tatapan heran dari Pak Lubai yang duduk di sebelah singgasana, pun tak digubrisnya. Penting apa urusan manusia ketimbang urusan dengan Allah? Begitu pikiran Pak Bedah berkecamuk.

* * *

Apa yang ditakutkan Pak Bedah, terjadilah. Manusia memang berkemauan kuat melakukan hal-hal yang menurut hatinya baik. Tapi Allah juga yang memiliki hak atas tubuh dan takdir hambanya. 

Begitulah, penyakit bengek Pak Bedah semakin menjadi. Hanya saja, dia berjuang semampunya sekadar mengumandangkan azan dan shalat fardhu---terkadang sendirian---di masjid. Konon, Asmir yang paling setia mematut setiap gerakan shalat Pak Bedah, pun terhalang oleh tugas di kantornya. Asmir dipekerjakan sementara di luar kota.

Berurai pula air mata Pak bedah, beradu-padu dengan air kesedihan yang menetes di nuraninya. Untuk apalah coba berpayah-payah membangun masjid beragam-rupa, bermegah-megah, kalau tak ada yang mau memakmurkannya. Alih-alih mendapat ridho dari Allah, hasil yang didapat hanyalah murka. Dan Pak Bedah paling tak mau dimurkai kalau soal memakmurkan masjid.

Pernah dengan langkah terseret dan mata berkunang, Pak Bedah berjuang menjangkau masjid. Tak ada yang melihatnya berpayah-payah di malam gulita. Semua terlalu sibuk dengan mimpi dan kasur empuk. 

Hingga di titik nadir kekuatan seorang hamba, Allah membuat Pak bedah lunglai. Ibarat daun tua yang layu diterbangkan angin.

Pak Bedah dilarikan ke rumah sakit setelah tak hanya bengek yang mendiami rongga tubuhya. Tapi penyakit darah tinggi menyusul seperti mata pedang. Apa yang bisa dilakukan lelaki itu, hanya menatap nanar segala sesuatu di sekelilingnya. Kemudian berakhir tatap kosong setelah dia mendiami ruangan kelas tiga.

Bu Bedah hanya bisa menangis ketika tak lebih hitungan jari tangan, dokter yang menangani suaminya itu angkat tangan. Menyerah karena tak sanggup menolak takdir Allah. Bahkan mata jarum infuspun tak bisa menembus arteri radialis pada pergelangan tangan lelaki malang itu.

Apa hal yang mendiami rongga dada Pak Bedah, hanyalah teringat masjid itu. Siapa lagi yang memakmurkannya? Apakah dia akan menjadi Rumah Allah, atau telah menjadi rumah tuhan, atau menjadi rumah han...? Oh, tidak! Mata Pak Bedah melotot. Bertitik air mata bergulir dari setiap sudut matanya.

"Sudah tiga kali napasnya berhenti, Asmir," kata Bu Bedah. Pak Rudin mengelus-elus dagu.

"Maaf Bu Bedah. Saya bukannya ingin menuduh yang bukan-bukan. Kira-kira, apakah sebelumnya Pak Bedah punya simpanan?" Pak Rudin mencoba menyela pembicaraan. Mata Bu Bedah kontan setengah melotot. Bibirnya mendesis.

Pak Rudin salah-tingkah. "Maaf, maksud saya simpanan amalan yang menyalahi agama. Berguru ilmu-ilmu hitam, mungkin."

Bu Bedah meringis. "Setahu saya Pak Rudin, untuk hal-hal yang begituan, Pak Bedah bersih sama sekali. Lagipula, dia sangat taat menjalankan ibadah agama. Bukannya ria lho, Pak."

Pak Rudin tersipu.

Tiba-tiba Pak Bedah melambai ke arah Asmir. Semua orang terkejut. Asmir buru-buru mendekatkan telinganya ke mulut Pak Bedah.

"Asmir, siapa yang azan di masjid kita?" Pelan sekali lelaki itu berbicara.

Asmir tersentak. Kemarin sore, sepulang dari luar kota, Asmir sempat mampir ke masjid. Tapi pintunya terkunci. Tampak dari jendela kaca, lantai di dalam berdebu. Halaman masjid gersang dan berserakan daun. Ketika dia bertanya kepada Pak Rudin tentang kondisi masjid itu, jawaban yang didapat sangat meluluhkan hati. Tak ada orang azan di sana setelah Pak Bedah di rumah sakit. Apalagi sampai melaksanakan shalat. Pasal pintunya dikunci, karena warga takut peralatan elektronik di dalam masjid dimaling orang.

"Tak ada kan Asmir?" Pak Bedah menarik napas sangat berat. "Aku menitipkan masjid itu untuk kau makmurkan. Ajak warga, Pak Rudin, untuk jangan hanya pandai membangun masjid, tapi lebih dari itu bisa memakmurkannya." Ajaib, suara yang keluar dari mulut lelaki sekarat itu begitu lancar dan cenderung jelas. Wajah Pak Rudin sedikit memerah karena namanya disentil Pak Bedah. 

"Tak lama lagi shalat ashar tiba. Ajaklah warga shalat berjamaah." Hanya itu. Kemudian Pak Bedah diam.

Asmir, kemudian disusul Pak Rudin, pulang duluan demi melaksanakan keinginan Pak Bedah. Asmir buru-buru membuka pintu masjid, kemudian mengumandangkan azan ashar. Pak Rudin yang ngotot memaksa warga shalat berjamaah di masjid, akhirnya sedikit tersenyum lega. Ada sekitar dua puluh jamaah yang hadir. 

Sementara nun lima kilometer lebih dari masjid, Pak Bedah bisa bernapas lega. Seolah mendengar suara azan dari mulut Asmir, dia menikmatinya sambil memejamkan mata dan tersenyum. Bu Bedah dan beberapa orang yang ada di ruangan itu juga ikut tersenyum. Mereka tak tahu kalau senyuman Pak Bedah adalah senyuman untuk yang terakhir kalinya.

----sekian----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun