Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bika Ambon

15 Maret 2019   11:37 Diperbarui: 15 Maret 2019   12:22 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pukul delapan, tak lama setelah adzan isya, mata Inong berat. Berat sangat, hingga dia memilih rebahan di sofa. Ajakan ibu melaksanakan shalat isya, dijawab dengan kuap yang lebar. Dia kemudian mengelus-elus kepala putrinya itu sambil mengatakan, Tuhan bisa saja menambah sakit giginya karena malas melaksanakan shalat. Apakah dia mau acara makan bika ambon batal? Mendengar itu, bergegas dia ke kamar mandi. Lupa sudah dia dengan kantuk.

Pukul sembilan tepat, Ibu mematikan televisi. Hujan cukup deras mengguyur bumi. Inong menanyakan lagi pasal ayah kapan kembali. Ibu tak tega, buru-buru menelepon ayah. Kata ayah, bus baru saja selesai diperbaiki. Sekarang mereka sedang makan malam yang sangat terlambat. Barangkali lima atau enam jam lagi  dia baru tiba di rumah. Itu artinya pukul dua atau tiga dini hari.

***

Bus merangkak sangat lambat. Hujan deras dan rapat. Hampir sebulan ini hujan turun setiap hari. Zulkifli mengusap  wajah.  Lancang sangat bila dia merutuk hujan. Biarlah dia ucapkan rasa syukur atas rahmat ini. 

Lelaki yang duduk di sebelah Zulkifli menggeliat. Matanya membuka. Terlihat samar mata itu memerah. Dia mungkin kecapekan, berjibaku di kolong bus. Merayu agar bus mereka itu berbaik hati, kembali bisa melanjutkan perjalanan. Dan alhamdulillah berhasil juga.

"Ada rokok?" tanya lelaki itu. Tubuhnya bau oli gemuk. Dia kenek bus.


"Aku tak merokok. Kalau mau  bika ambon, biar aku ambilkan." Zulkifli berdiri, meraba-raba bagasi di atas kepala mereka.

"Tak apalah, aku sudah kenyang!" Dia menatap ke luar jendela. Tak ada cahaya sama sekali. "Setiap bulan Desember, aku selalu ingat sesuatu," lanjutnya. Persis seperti keluhan.

Zulkifli mengerti arah tujuan pembicaraan kenek itu. Dua belas tahun lalu, dia juga merasakan kemalangan itu. Dia kehilangan orang yang dia sayang, Keumala, perempuan berambut mayang. Ombak laut menariknya, dan tak menyerahkannya kembali. Dia juga kehilangan orang yang paling dia sayang, Cut Me, ibu yang sangat dia kasihi. Perempuan itu dilahap lumpur dan bangunan rubuh. Kalau saja tak kuat iman, dia bisa gila atau bahkan bunuh diri. Dia hanya mempunyai satu keluarga lagi, si Salasa yang menjadi pemborong di Medan. Setelah itu, tak adalah lagi. 

Beruntung Tuhan mempertemukannya dengan Aisyah, perempuan berjilbab berwajah ayu. Mereka menikah sembilan tahun lalu dan dikarunia Tuhan seorang anak, Inong, yang kini berharap sangat pada bika ambon.

Zulkifli selalu ketakutan setiap bulan Desember tiba. Seolah bagi negeri mereka, Desember  tak hanya berpisahnya  tahun yang lama dengan tahun yang baru. Tapi terkadang berpisahnya seseorang dengan kerabatnya, oleh kejamnya pedang bencana memutus kasih sayang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun