Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penari Ronggeng

6 Maret 2019   21:44 Diperbarui: 7 Maret 2019   06:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bunyi nangnegnong gamelan sudah berhenti. Obor yang terpacak di sekeliling gamelan telah padam. Beberapa lelaki-perempuan, dari penabuh gamelan sampai penari, pun menghilang entah ke mana. Mungkin terlelap di barak belakang. Atau, bisa jadi sepasang-dua tengah memadu kasih di pinggir-pinggir lapangan, beradu rerimbun perdu dan kunang-kunang. Ach..., suatu malam yang indah nan susah diceritakan. Apalagi bagi diriku yang telah mempersunting Dara, perempuan berdagu lancip yang hampir sepuluh bulan kukejar. Perempuan serupa merpati, yang jinak didekati, tapi amat susah ditangkap. Tentu tidak  malam ini. Dia sekarang sudah berada di dalam kerangkeng, dan hanya bisa mengertap-ngertapkan sayap.

Dara kulai di kasur setelah  berburu dalam tumpah keringat. Rambutnya masai. Mulutnya mengering. Aku tak melihat sumringah memancar di wajahnya, usai aku mencoba memberi kepuasan duniawi kepadanya. Dia hanya mirip seekor merpati, kuyu tersiram hujan yang membadai. Tatapnya mengambang. Dia bagai menyesal kutenggelamkan ke dalam madat cinta.

"Kau masih tak senang kuperistri, Dara?" Aku menatap bebas ke luar jendela yang menganga. Angin tipis berhembus, menggapai-gapai dingin ke tubuh Dara. Perempuan yang kucintai setengah mati itu, langsung menarik selimut sampai sebatas pundak. Dia duduk di atas kasur sambil menegakkan kedua belah kaki, mengintipkan dua lutut pualam dari sela selimut.

"Tuan tahu bahwa saya memang tak bisa menduakan cinta. Tuan tahu, kalau saya adalah seekor merpati yang patah sayapnya. Tuan memanah merpati jantan saya." Dia seolah menggerutukan kekesalan hatinya.

"Kau masih ingat Parmin?! Lelaki buduk berwajah badak itu?" Aku mendengus. Mengucapkan nama lelaki itu saja, membuat mulutku seperti memamah pasir. Apalagi sampai melihat wajahnya, mungkin mataku bagai ditusuk ribuan jarum ilalang. 

Ach, aku sungguh heran. Kenapa lelaki berkulit gelap dan badak itu sangat dicintai Dara? Padahal dibandingkan aku, dia hanyalah seekor pungguk yang merindukan bulan. Aku seorang juragan tanah yang memiliki harta berlimpah. Seluruh perempuan selalu mengelu-ngelukanku, karena selain kaya, sisa-sisa ketampananku masih kelihatan. Bahkan aku sudah menikahi tiga orang perempuan dari lautan perempuan. Dara adalah sosok yang keempat, tapi paling sulit kubekap. Kalaupun sekarang aku berhasil memperistrinya di tengah pagelaran pesta cukup meriah, namun aku telah mempergunakan tangan besi demi mendapatkannya

Bapaknya, Si Kasirun itu, adalah seorang anak buahku. Sebelum mengenal Dara---kemungkinan karena dia masih bau kencur---aku hanya menganggap Kasirun angin lalu. Dia selayaknya anak buahku yang lain, kuletakkan di telapak kaki. Katakanlah jongos, atau apalah. Sungguh, tak seorang pun yang berusaha menentangku. Sekali menentang, tentulah kubuang. Mereka pasti kelabakan mencari pekerjaan lain, sebab hampir semua tanah desa kukuasai. Paling-paling mereka berjibaku ke kota, menjadi orang sukses, meskipun sebagian besar tetap menjadi jongos, bahkan pengemis.

Nah, ketika Dara mulai berdada mengkal, aku mulai menggilainya. Kasirun, yang memang termasuk melarat hidupnya, langsung kususui dengan hutang-hutang, juga hadiah-hadiah. Dia, termasuk seluruh keluarganya, tentulah kesenangan. Dia tak paham aku memiliki tujuan lain dari kebaikanku. Maka kubiarkan saja dia terlena tiga-empat tahun. Ketika dada Dara benar-benar masak, barulah aku bergerilya mendekati putrinya itu.

Cukup sulit! Akan tetapi, berhubung merasa berhutang budi kepadaku, Kasirun manut saja. Malahan dia kesenangan bukan kepalang. Jangankan dijadikan pacar, dibuat menjadi gundik atau istri keseratus sekalian, dia ikhlas merelakan Dara ke pangkuanku. Maka itu, ketika kutahu Dara menjadi kekasih Parmin, tukang sol sepatu itu, hatiku menggelegak. Nafsu yang menjalar di hati ini kepada Dara, akhirnya menjadi cinta yang menggila. Aku berhasrat mendapatkan perempuan itu bukan pada tubuhnya saja, melainkan termasuk hatinya yang pualam. Coba, bagaimana mungkin Parmin yang busuk itu bisa mengalahkan kekayaanku?

Namun, cinta tetaplah tak bisa dikalahkan kekuatan apapun. Meski aku memberikan berlaksa hadiah kepada Dara, tetap saja dia menganggap dan memanggilku paman. Baginya, aku lebih pantas disanjung dan dihormati. Untuk dicintai sepenuh syahwat, mustahil. "Sudah alot!" Begitu suatu kali Dara mencoba mencandaiku. Hanya saja, manakala melihat api kemarahan di mataku, dia langsung terbirit masuk ke bilik rumahnya. Membiarkan Kasirun tertunduk-tunduk demi memohon maafku.

Begitupun, malam ini aku telah menguasai jasad Dara secara utuh, tetap saja perempuan itu tak mau memberikan secuil hatinya untukku. Hingga aku meradang. Aku seperti menyetubuhi batang pisang yang dingin dan kaku. Aku serupa berhalusinasi sendiri. Ejakulasi sendiri. Seperti orang gila yang memuaskan nafsunya di kamar mandi; lajang tanggung yang tak mempunyai uang demi menebus keinginan magma di bawah perutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun